Kemasyhuran kitab Sirajut Thalibin telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain. Menurut Ketua PBNU (2010-2021) KH Said Aqil Siradj, kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Hingga saat ini, Syekh Ahmad Hajin-seorang ulama ilmu hadis di Al-Azhar masih istiqamah mengkaji kitab tersebut dalam majelis beliau yang bisa dijumpai pada kanal youtube. Kitab ini merupakan karya monumental seorang ulama dari Dusun Jampes, Desa Putih, Gampengrejo, Kediri. Beliaulah Syekh Ihsan bin Dahlan yang digelari ulama Timur-Tengah sebagai Ghazali dari Timur.
Syekh Ihsan dilahirkan pada tahun 1318 H / 1901 di Jampes Kediri dan diberi nama Bakri. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Nasab dari jalur ayah, KH. Dahlan adalah putra KH. Sholeh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon. Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syekh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syekh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra Kiai Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syekh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Bakri kecil hidup di lingkungan yang sangat menjunjung penuh ajaran agama Islam, yaitu di komunitas lingkungan Pesantren Jampes. Kedua orang tuanya mengajari Bakri dasar-dasar agama Islam, mengajarinya dengan membaca Al-Qur’an dan sejumlahkitab-kitab dasar. Setelah dinyatakan lulus belajar kepada orang tuanya, Bakri mengembara ke beberapa pesantren di Jawa untuk mendalami ilmu yang sudah dipelajarinya bersama orang tuanya. Tujuan pertama Bakri belajar kepada pamannya, yaitu KH. Khozin di Pesantren Bendo Pare Kediri. Setelah itu bertolak ke Jawa Tengah, disana Bakri belajar di berbagai pesantren, di antaranya pesantren yang diasuh oleh KH. Ahmad Dahlan yang berada di Mangkang Semarang, belajar juga di pesantrennya KH. Sholeh Darat di Semarang, selain itu juga belajar di Pesantren Pondoh Magelang kepada KH. Ma’sum yang terkenal dengan ke-walian-nya. Selanjutnya menuntut ilmu di Pesantren Jamseran Solo. Tidak puas terhadap ilmu yang sudah diperolehnya, Bakri muda melanjutkan menimba ilmu kepada adik dari Syekh Mahfudz Termas, KH. Dimyati di Pesantren Termas Pacitan. Di Pesantren Gondang Legi Nganjuk, serta belajar kitab Alfiyah Ibnu Malik di Pesantren Bangkalan yang diasuh oleh maha guru para ulama, KH. Muhammad Kholil.
Selama mondok di berbagai pesantren, Bakri selalu mengedepankan sikap rendah hati atau tawadu’. Dia tidak suka menampakkan jati dirinya sebagai seorang putra kiai besar di Kediri. Bakri berusaha untuk menutup identitas aslinya selama belajar. Ketika identitas aslinya terungkap, ia segera mengundurkan diri dari pesantren tersebut. Hal itumenjadi sebab dibalik singkatnya menetap di sebuah pesantren. Namun, penguasaanya terhadap literatur klasik sangat mumpuni, mungkin disebabkan oleh kesungguhan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, dengan selalu membaca, menghapal, mengulang-ulang, dan mutala’ah pelajarannya, serta belajar secara otodidak.
Dalam buku biografi yang disusun KH Busyro Karim yang juga cucu beliau, disebutkan bahwa Syekh Ihsan adalah pribadi yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, hari-harinya selalu diisi dengan membaca kitab, majalah, dan koran. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan itu semenjak masih dini hingga hari wafatnya. Dari hobi membaca kitab, tumbuhlah bakat (malakah) menulis bahasa Arab dengan fusha. Bakat menulis fushabeliau setara dengan ulama-ulama timur tengah, sangat bagus dan sesuai dengan kaidah bahasa Arabpadahal SyekhIhsan tidak pernah belajar di Timur Tengah dalam waktu lama seperti ulama-ulama jawa lain. Penguasaan Syekh Ihsan terhadap literatur turats|sangatmumpuni dan mendalam, hingga mampu untuk menyusun karya kitab yang monumental dalam berbagai fan ilmu pengetahuan. Itu semua karena luas dan dalamnya pengetahuannya. Hampir segala fan ilmu Syekh Ihsan kuasai dengan matang, tapi penguasaan terhadap Ilmu Tasawuf lebih dominan.
Pada tahun 1926 M, Bakri melaksanakan rukun Islam ke-5, Haji. Pada pelaksanaan Haji inilah nama Bakri resmi berubah menjadi “Ihsan”. Selanjutnya Syekh Ihsan menjadi pengasuh utama Pesantren Jampes pada tahun 1932. Selama diasuh olehnya, Pesantren Jampes berkembang sangat pesat, banyak santri dari berbagai daerah datang menimba ilmu di Pesantren Jampes. M. Solahudin dalam bukunya Ulama Internasional dari Pesantren menulis bahwa pada era KH Dahlan jumlah santri berkisar 150 orang. Namun pada kepengasuhan Syekh Ihsan, jumlahnya berlipat menjadi sekitar 1000 santri. Inilah kemudian yang melatarbelakangi Syekh Ihsan mendirikan Madrasah “Mafatihul Huda” pada tahun 1942.
Seraya mengasuh pesantren, Syekh Ihsan menulis kitab Sirajut Thalibin. Dalam kolofon kitab, didapati keterangan jika karya agung ini diselesaikan di Kampung Jampes, Kediri, pada siang hari Selasa, 29 Sya’ban tahun 1351 Hijri. Data ini bertepatan dengan 28 Desember 1932 Masehi. Keterangan dalam kolofon sekaligus memberikan informasi lain yang sangat mencengangkan, yaitu kitab syarh setebal lebih 1000 halaman ini diselesaikan oleh Syekh Ihsan Jampes hanya kurang dalam jangka masa delapan bulan lamanya.
Kitab Sirajut Thalibin menawarkan model amaliah tasawuf zaman ini. Hal tersebut dituturkan KH Abidurrahman Masrukhin yang mengampu kajian kitab Sirajut Thalibin di lingkungan pesantren Al-Ihsan Jampes. Misalnya ajaran tentang uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Lazimnya zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
Banyak para cendekiawan muslim di zaman Syekh Ihsan, maupun di era setelahnya mengakui otoritas keilmuan Syekh Ihsan. Diantara cendekiawan yang memberikan taqrid atas kitab Sirajut Thalibin adalah pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, KH. ‘Abdurrahman bin Abdul Karim Nganjuk, dan KH. Muhammad Yunus bin Abdullah Kediri. Syekh Ihsan juga menyodorkan kitab tersebut kepada beberapa cendekiawan untuk diperiksa dan dikoreksi, di antaranya: guru beliau sendiri KH. Khozin bin Sholeh Pare Kediri, KH. Muhammad Ma’ruf bin ‘Abdul Majid Kedonglo Kediri, dan KH. Abdul Karim Lirboyo. KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa beliau sebagai ilmuan ulung (al-‘Allamah), dan sastrawan. Sedangkan Arifin dan Asif dalam artikel Penafsiran Al-Qur‘an Syekh Ihsan Jampes dalam Studi Intertekstualitas Dalam Kitab Siraj Al-Ṭālibīn menyebut Syekh Ihsan sebagai Mufasir yang kompeten. Barizi dalam artikelnya bertajuk Harakah al Fikriyah ‘Inda Syekh Ihsan Jampes Kediri menyebut Syekh Ihsan tergolong di antara cendikiawan pesantren yang berhasil menulis karya-karya agung. Di antara karya beliau yang sudah diterbitkan adalah: Siraj Al-Talibin Syarh ‘ala Minhaj Al-Abidin, Manahij al-‘Imdad syarh ‘ala ‘Irsyad al-‘Ibad, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Syrub Qahwa wa Dukhan, sertaTasrih}al-‘Ibarat.
Kitab yang monumental itu telah membawa nama harum Syekh Ihsan Jampes di pergulatan wacana ilmiaah global. Kitab itu sudah tersebar diberbagai perpustakaan di dunia, banyak dari pemeharti tasawuf yang mengkajinya. Bahkan di Universitas Al-Azhar Mesir pada fakultas Usul ad-Din, kitab itu sebagai mata kuliah wajib. Hingga raja Mesir, Raja Faruq mengirim utusan guna meminta Syekh Ihsan agar bersedia menjadi dosen istimewa. Namun,Syekh Ihsan dengan halus menolaknya, beliau lebih suka mengamalkan dan menyebarkan ilmunya di tanah airnya sendiri, untuk mencerdaskan anak bangsa. Syekh Ihsan wafat pada hari senin, 25 Dzul Hijjah 1371 H bertepatan dengan 15 September 1952, di umur 52 tahun. Banyak santri beliau yang menjadi kiai berpengaruh di masyarakat sekaligus mendirikan pondok pesantren. Diantaranya adalah KH Ali Shodiq (Ngunut, TUlungagung). KH Zubaidi (Mantenan, Blitar), KH Dimyati (Kaliwungu, Kendal), KH Busyairi (Sampang, Madura), dan KH Yahya (PP Mifathul Huda, Gadingkasri, Malang).
Baca Juga Biografi Ulama Indonesia yang Mendunia
Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Syekh Mahfudz at-Tarmasi
Syekh Yasin al-Fadani
Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)