Ghazali dari Timur: Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes, Kediri

Ahad, 26 Des 2021, 12:06 WIB
Ghazali dari Timur: Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes, Kediri
Syekh Ihsan Jampes dan Kitab Sirajut Thalibin (Sumberwacana.com)

Kemasyhuran kitab Sirajut Thalibin telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain. Menurut Ketua PBNU (2010-2021) KH Said Aqil Siradj, kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Hingga saat ini, Syekh Ahmad Hajin-seorang ulama ilmu hadis di Al-Azhar masih istiqamah mengkaji kitab tersebut dalam majelis beliau yang bisa dijumpai pada kanal youtube. Kitab ini merupakan karya monumental seorang ulama dari Dusun Jampes, Desa Putih, Gampengrejo, Kediri. Beliaulah Syekh Ihsan bin Dahlan yang digelari ulama Timur-Tengah sebagai Ghazali dari Timur.

Syekh Ihsan dilahirkan pada tahun 1318 H / 1901 di Jampes Kediri dan diberi nama Bakri.  Beliau  merupakan  putra  dari  pasangan KH.   Dahlan  dan   Nyai   Artimah.   Nasab dari jalur ayah, KH. Dahlan adalah putra KH. Sholeh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon. Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syekh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syekh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra Kiai Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syekh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.

Bakri kecil  hidup  di  lingkungan  yang  sangat  menjunjung  penuh  ajaran agama  Islam,  yaitu  di  komunitas  lingkungan Pesantren Jampes. Kedua   orang   tuanya   mengajari   Bakri   dasar-dasar   agama   Islam, mengajarinya  dengan  membaca  Al-Qur’an dan sejumlahkitab-kitab dasar.  Setelah  dinyatakan  lulus  belajar  kepada  orang  tuanya,  Bakri mengembara  ke  beberapa  pesantren  di  Jawa  untuk  mendalami  ilmu yang  sudah  dipelajarinya  bersama  orang  tuanya.  Tujuan  pertama Bakri  belajar  kepada  pamannya,  yaitu  KH.  Khozin  di Pesantren Bendo  Pare  Kediri.  Setelah  itu  bertolak  ke  Jawa  Tengah,  disana Bakri  belajar  di  berbagai pesantren, di  antaranya pesantren  yang diasuh oleh KH. Ahmad Dahlan yang berada di Mangkang Semarang, belajar  juga  di pesantrennya  KH.  Sholeh  Darat  di  Semarang,  selain itu juga belajar di Pesantren Pondoh Magelang kepada KH. Ma’sum yang  terkenal  dengan  ke-walian-nya.  Selanjutnya  menuntut  ilmu  di Pesantren  Jamseran  Solo.  Tidak  puas  terhadap  ilmu  yang  sudah diperolehnya,  Bakri  muda  melanjutkan  menimba  ilmu  kepada  adik dari  Syekh  Mahfudz  Termas,  KH.  Dimyati  di Pesantren  Termas Pacitan.      Di Pesantren Gondang   Legi   Nganjuk,   serta   belajar   kitab Alfiyah Ibnu Malik di Pesantren Bangkalan  yang  diasuh  oleh  maha  guru para ulama,  KH.  Muhammad Kholil.

Selama    mondok    di    berbagai    pesantren, Bakri    selalu mengedepankan  sikap  rendah  hati  atau  tawadu’. Dia  tidak  suka menampakkan jati dirinya sebagai seorang putra kiai besar di Kediri. Bakri  berusaha  untuk  menutup  identitas  aslinya  selama  belajar. Ketika identitas aslinya terungkap, ia segera mengundurkan diri dari pesantren   tersebut.   Hal itumenjadi   sebab   dibalik   singkatnya menetap   di   sebuah   pesantren. Namun, penguasaanya   terhadap literatur    klasik    sangat    mumpuni,    mungkin    disebabkan    oleh kesungguhan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, dengan selalu membaca,       menghapal,       mengulang-ulang,       dan mutala’ah pelajarannya,  serta  belajar  secara  otodidak.

Dalam buku biografi yang disusun KH Busyro Karim yang juga cucu beliau, disebutkan bahwa Syekh Ihsan adalah pribadi yang sangat    mencintai    ilmu pengetahuan,   hari-harinya selalu   diisi   dengan   membaca   kitab, majalah,  dan  koran.  Kecintaannya  terhadap  ilmu  pengetahuan  itu semenjak masih dini hingga hari wafatnya. Dari hobi membaca kitab, tumbuhlah  bakat  (malakah)  menulis  bahasa  Arab  dengan fusha. Bakat menulis fushabeliau setara dengan ulama-ulama timur tengah, sangat bagus dan sesuai dengan kaidah bahasa Arabpadahal SyekhIhsan tidak  pernah  belajar  di  Timur  Tengah  dalam  waktu  lama seperti  ulama-ulama  jawa  lain. Penguasaan Syekh  Ihsan terhadap literatur turats|sangatmumpuni dan mendalam, hingga mampu untuk menyusun  karya  kitab  yang  monumental  dalam  berbagai  fan  ilmu pengetahuan.  Itu  semua  karena  luas  dan  dalamnya  pengetahuannya. Hampir  segala  fan  ilmu Syekh Ihsan kuasai  dengan  matang, tapi penguasaan  terhadap  Ilmu  Tasawuf  lebih  dominan.  

Pada  tahun  1926  M,  Bakri  melaksanakan  rukun  Islam  ke-5, Haji.   Pada   pelaksanaan   Haji   inilah   nama   Bakri   resmi   berubah menjadi “Ihsan”.   Selanjutnya Syekh Ihsan  menjadi pengasuh  utama Pesantren Jampes  pada  tahun  1932.  Selama  diasuh olehnya, Pesantren Jampes  berkembang  sangat  pesat,  banyak  santri dari  berbagai  daerah  datang  menimba  ilmu  di Pesantren Jampes. M. Solahudin dalam bukunya Ulama Internasional dari Pesantren menulis bahwa pada era KH Dahlan jumlah santri berkisar 150 orang. Namun pada kepengasuhan Syekh Ihsan, jumlahnya berlipat menjadi sekitar 1000 santri. Inilah kemudian yang melatarbelakangi Syekh Ihsan mendirikan  Madrasah “Mafatihul  Huda” pada tahun 1942.

Seraya mengasuh pesantren, Syekh Ihsan menulis kitab Sirajut Thalibin. Dalam kolofon kitab, didapati keterangan jika karya agung ini diselesaikan di Kampung Jampes, Kediri, pada siang hari Selasa, 29 Sya’ban tahun 1351 Hijri. Data ini bertepatan dengan 28 Desember 1932 Masehi. Keterangan dalam kolofon sekaligus memberikan informasi lain yang sangat mencengangkan, yaitu kitab syarh setebal lebih 1000 halaman ini diselesaikan oleh Syekh Ihsan Jampes hanya kurang dalam jangka masa delapan bulan lamanya.


Kitab Sirajut Thalibin menawarkan model amaliah tasawuf zaman ini. Hal tersebut dituturkan KH Abidurrahman Masrukhin yang mengampu kajian kitab Sirajut Thalibin di lingkungan pesantren Al-Ihsan Jampes. Misalnya ajaran tentang uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Lazimnya zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.

Banyak  para cendekiawan   muslim   di   zaman Syekh Ihsan,   maupun   di   era   setelahnya mengakui otoritas keilmuan Syekh Ihsan. Diantara cendekiawan  yang memberikan taqrid atas  kitab Sirajut Thalibin adalah pendiri  Nahdlatul  Ulama,  KH.  Hasyim  Asy’ari  Tebuireng,  KH. ‘Abdurrahman  bin  Abdul  Karim  Nganjuk,  dan  KH.  Muhammad Yunus  bin  Abdullah  Kediri. Syekh Ihsan juga  menyodorkan  kitab tersebut    kepada    beberapa    cendekiawan    untuk    diperiksa    dan dikoreksi, di antaranya: guru beliau sendiri KH. Khozin bin Sholeh Pare Kediri, KH. Muhammad Ma’ruf bin ‘Abdul Majid Kedonglo Kediri, dan  KH.  Abdul  Karim  Lirboyo.  KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa  beliau  sebagai  ilmuan  ulung (al-‘Allamah), dan  sastrawan. Sedangkan Arifin   dan   Asif  dalam artikel Penafsiran  Al-Qur‘an Syekh Ihsan Jampes dalam Studi Intertekstualitas  Dalam Kitab Siraj Al-Ṭālibīn  menyebut Syekh Ihsan sebagai   Mufasir   yang kompeten.   Barizi   dalam artikelnya bertajuk  Harakah al Fikriyah ‘Inda Syekh Ihsan Jampes Kediri menyebut Syekh Ihsan tergolong di   antara cendikiawan  pesantren    yang  berhasil  menulis  karya-karya  agung. Di antara karya beliau yang sudah diterbitkan adalah: Siraj Al-Talibin Syarh ‘ala Minhaj Al-Abidin, Manahij al-‘Imdad syarh ‘ala ‘Irsyad al-‘Ibad, Irsyad al-Ikhwan  fi  Bayan Syrub Qahwa wa Dukhan, sertaTasrih}al-‘Ibarat.

Kitab  yang  monumental  itu  telah  membawa  nama  harum Syekh Ihsan Jampes di pergulatan wacana ilmiaah global. Kitab itu sudah   tersebar   diberbagai   perpustakaan   di   dunia,   banyak   dari pemeharti  tasawuf  yang  mengkajinya.  Bahkan  di  Universitas  Al-Azhar Mesir pada fakultas Usul ad-Din, kitab itu sebagai mata kuliah wajib. Hingga raja Mesir, Raja Faruq mengirim utusan guna meminta Syekh Ihsan agar bersedia menjadi dosen istimewa. Namun,Syekh Ihsan dengan halus menolaknya, beliau lebih suka mengamalkan dan menyebarkan ilmunya di tanah airnya sendiri, untuk mencerdaskan anak bangsa. Syekh Ihsan wafat  pada  hari  senin,  25  Dzul  Hijjah  1371  H bertepatan dengan 15 September 1952, di umur 52 tahun. Banyak santri beliau yang menjadi kiai berpengaruh di masyarakat sekaligus mendirikan pondok pesantren. Diantaranya adalah KH Ali Shodiq (Ngunut, TUlungagung). KH Zubaidi (Mantenan, Blitar), KH Dimyati (Kaliwungu, Kendal), KH Busyairi (Sampang, Madura), dan KH Yahya (PP Mifathul Huda, Gadingkasri, Malang).

Baca Juga Biografi Ulama Indonesia yang Mendunia
Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Syekh Mahfudz at-Tarmasi
Syekh Yasin al-Fadani

Ulama Nusantara  Ulama Internasional  Ulama Indonesia  Ulama Dunia dari Pesantren  Ulama Dunia  Ulama  Syekh Ihsan al-Jampasi  syekh ihsan  sirajut thalibin  Nahdlatul Ulama  Kisah Ulama  Biografi Ulama 
Mochammad Syaifulloh

Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)

Bagikan