Salah seorang ulama besar Indonesia yang mendunia adalah Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani. Beliau menjadi salah satu representasi ulama non-Arab yang memiliki intelektual tinggi dan keilmuannya diakui oleh para ulama di Arab dan di dunia Islam pada umumnya. Kitab-kitab karya Beliau terus dikaji hingga kini di berbagai belahan dunia Islam, termasuk di pesantren-pesantren di Indonesia.
Syekh Nawawi al-Bantani lahir dari keluarga agamis di Desa Tanara, Serang, Banten, pada 1813. Beliau adalah putra pertama pasangan K.H Umar dan Nyai Zubaidah. Di Tanara, KH Umar memimpin masjid dan pendidikan Islam (Pesantren). Ayah KH Umar adalah seorang keturunan bangsawan Kesultanan Banten yang silsilahnya sampai kepada Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), Raja Kesultanan Banten yang pertama. Dari garis silsilah ayah, Syekh Nawawi merupakan keturunan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sedangkan dari garis keturunan pihak ibu, Nyai Zubaidah adalah anak Muhammad Singaraja yang silsilahnya juga sampai kepada para bangsawan Kesultanan Banten dan sampai ke Sunan Gunung Jati.
Sejak kecil, Muhammad Nawawi sudah tampak kecerdasan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu agama. Pertama kali ia belajar dari Sang Ayah yakni KH Umar. Dalam buku 20 Tokoh Tasawuf Indonesia dan Dunia (2019), Munawir menuliskan bahwa Muhammad Nawawi kecil belajar bahasa Arab dan dasar-dasar Islam. Muhammad Nawawi kemudian berguru kepada Haji Sahal dan Raden Haji Yusuf. Setelah enam tahun menuntut ilmu, ia pulang dan menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin pesantren di Tanara. Kendati demikian, Muhammad Nawawi hanya bertahan dua tahun mengajar di pesantren. Selanjutnya, ia terinspirasi dari perkataan Imam Syafi'i untuk bepergian menuntut ilmu. Muhammad Nawawi pun bertolak ke Makkah yang masyhur sebagai pusat pengajaran Islam di Masjid Al-Haram.
Snouck Hurgronje memberikan gambaran yang cukup menarik mengenai kehidupan Syaikh Nawawi dalam menuntut ilmu di Makkah. Ia menjelaskan : “Selama 30 tahun tak henti-hentinya Nawawi aktif di Makkah untuk menyempurnakan pengetahuannya sendiri tentang ilmu pengetahuan Islam di setiap jurusan, dan sebagai pemimpin, guna melicinkan jalan belajar bagi orang-orang Jawa” Lebih lanjut Snouck Hurgronje menguraikan: “Mula-mula ia belajar pada tokoh-tokoh besar generasi sebelumnya yaitu Khatib Sambas, Abdulghani Bima, dan lain-lain, tetapi guru-gurunya yang sesungguhnya adalah orang Mesir, Yusuf Sumbulaweni dan Nahrawi, disamping Abdul Hamid Daghestani, yang kuliah-kuliahnya biasa dihadirinya bersama-sama dengan banyak ulama yang lain hingga menjelang akhir hidupnya.”. Nama-nama yang dimaksud Hurgronje tak lain adalah Syekh Sayyid Ahmad Al-Nahrawi,, Syekh Sayyid Ahmad Dimyathi, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali, Syekh Abdulghani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Ad-Daghastani.
Perjalanan panjang dalam menuntut ilmu itu menjadikan Syekh Nawawi begitu mumpuni, alim ulama terkemuka di bidang keislaman. Ia menjadi guru yang disegani penuntut ilmu dari pelbagai penjuru dunia. Terlebih ketika Syekh Nawawi dipercaya mengajar di Masjid Al-Haram selama 10 tahun (1860-1970). Selepas itu, Syekh Nawawi berkonsentrasi menulis sejumlah kitab yang membahas berbagai ilmu keislaman, mulai dari tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid (teologi), tasawuf, sejarah Islam, tata bahasa Arab, hadis, dan akhlak (ajaran moral Islam). Beberapa karya beliau adalah kitab Nihayatuz Zain, Safinatun Naja, Nur ad-Dhalam, Kasyifatus Saja, dan Sulamul Fudhala. Karya Syaikh Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama di Makah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, atau dalam judul lain, Marah Labid Tafsir an-Nawawi. Tafsir ini memiliki 985 halaman yang terbagi menjadi 2 jilid dan diselesaikan pada tahun 1888 (Rabiul Akhir 1305 H). Syekh Nawawi memperlihatkan kitab ini kepada para ulama untuk meneliti dan memberikan komentar terhadap karyanya. Akhirnya, Tafsir al-Munir diterbitkan di Kairo pada akhir tahun 1305 H. Dengan memperhatikan prestasinya di bidang tafsir, para ulama menganugerahkan gelar Sayyid ulama’ al-Hijaz kepada Syekh Nawawi.
Prof. H. Abdurahman Mas’ud, MA, Ph.D, penulis buku Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren berpendapat bahwa Syekh Nawawi mewakili ulama non Arab yang menulis karyanya dalam bahasa Arab dengan sangat indah. Tidak seperti Syekh Muhammad Abduh (wafat 1905), Syekh Nawawi menampilkan a new classical tradisi tafsir, sebuah tafsir yang tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan, namun pada saat yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Sementara Syekh Abduh lebih dipengaruhi oleh pemikiran para ulama Suni abad pertengahan, seperti karya-karya Ibnu Umar Kasir al-Quraisi (lahir 1300 H), Jalaludin al-Mahalli (wafat 864/1460), Jalaluddin as-Syuyuthi (wafat 911/1505) dan yang sejenisnya. Lagi pula, Syekh Muhammad Abduh tampaknya lebih mengembangkan kekuatan analitis, sedangkan Syekh Nawawi lebih bersandar pada Al-Qur’an, hadits, pendapat para sahabat, dan ulama salaf terpercaya.
Dalam ranah dakwah, Syekh Nawawi mengamalkannya melalui pendekatan pendidikan dan kepenulisan. Aktifitas dakwah Beliau melalui pendidikan di Makkah Al-Mukarramah terbukti berhasil karena melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Syekh Mahfudz At-Tarmisi, K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wasith, K.H. Ahmad Dahlan dan lain-lain. Sedangkan keberhasilan dakwah melalui pendekatan kepenulisan dapat dilihat dalam karya-karya Beliau sampai sekarang masih tetap dikaji dan dijadikan referensi bagi banyak santri dan pelajar. Bahkan Dr. Martin van Bruinessen, seorang pengamat Islam dari Belanda, menyatakan bahwa karya-karya Syekh Nawawi masih mendominasi pesantren melebihi karya ulama lainnya. Martin menyatakan hal tersebut berdasarkan pada penelitiannya atas 40 Pesantren di Indonesia.
Setelah mengabdi pada Islam selama 84 tahun, Syekh Nawawi meninggal dunia pada 1897 di Makkah, Arab Saudi. Makam Beliau terletak di Jannatul Mu'alla, bersebelahan dengan makam putri perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu diperingati haul wafatnya Syekh Nawawi di Pondok Pesantren An-Nawawi di Tanara, yang kini diasuh oleh asuhan KH Ma'ruf Amin.
Baca Juga Biografi Ulama Indonesia yang Mendunia
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Syekh Mahfudz at-Tarmasi
Syekh Ihsan al-Jampasi
Syekh Yasin al-Fadani
Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)