Tidak Ada Hari Sial dalam Islam: Menyikapi Bulan Shafar dengan Benar

Selasa, 12 Ags 2025, 22:39 WIB
Tidak Ada Hari Sial dalam Islam: Menyikapi Bulan Shafar dengan Benar
https://pin.it/1suT8CQvp

Bulan Shafar kerap dianggap sebagai bulan penuh kesialan dan menakutkan. Anggapan ini muncul di kalangan sebagian masyarakat awam yang meyakini Shafar sebagai bulan sial atau bulan bala’. Padahal, sebagian ulama justru menyebutnya Shofarul Khoir, Shafar yang penuh kebaikan. Julukan ini dimaksudkan agar Shafar tidak lagi dipandang dengan rasa takut, apalagi diyakini membawa petaka. Sesungguhnya, setiap bulan dalam kalender Hijriyah memiliki kekhususan dan keistimewaan tersendiri, termasuk bulan Shafar.

Pada hakikatnya, semua hari dan bulan dalam setahun adalah sama, tidak ada waktu tertentu yang secara intrinsik mendatangkan bahaya atau keberuntungan. Segala bentuk keselamatan maupun musibah sepenuhnya berada di bawah takdir Allah SWT.

Pada masa Jahiliyyah, orang-orang Arab menganggap Shafar sebagai bulan yang buruk, penuh bencana, dan rawan musibah. Keyakinan itu membuat mereka menunda berbagai aktivitas hingga bulan Shafar berlalu, demi menghindari malapetaka. Pandangan serupa juga dapat dijumpai dalam tradisi Jawa (kejawen) yang mengenal perhitungan hari baik dan hari buruk, hari keberuntungan, serta hari kesialan. Lalu bagaimana menurut menurut syari'ah Islam. Dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW meluruskan dan menjelaskan tentang hal-hal itu.

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ

Artinya: "Tidak ada penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal- hal buruk, tidak boleh berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan dalam bulan Shafar." Kemudian ada seorang penduduk Arab bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah bagaimana dengan onta yang semula sehat kemudian berkumpul dengan onta yang kudisan kulitnya, sehingga onta tersebut menjadi kudisan pula?". Kemudian Rasulullah menjawab dengan sebuah pertanyaan. “Lalu, siapa yang menularkan (kudis) pada onta yang pertama ?".

Ungkapan hadits "tidak ada penularan penyakit" itu bermaksud meluruskan i'tikad golongan Jahiliyyah. Pada saat itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir ilahiyah. Oleh sebab itu, untuk meluruskan keyakinan mereka, Rasulullah SAW menjawab pertanyaan mereka dengan pertanyaan, "Jika penyakit kudisnya onta yang sehat berasal dari onta yang sudah kudisan, onta yang kudisan berasal dari yang lain, kemudian siapa yang menularkan penyakit kudis pada onta yang pertama kali terkena penyakit kudis?".

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah SWT. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah SWT. Namun walaupun semuanya kembali kepada Allah SWT, bukan hanya dikarenakan penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah.

Ungkapan hadis tentang tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk menunjukkan bahwa kita sebagai seorang muslim tentu tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal yang bersifat buruk dimasa mendatang. Kita harus yakin bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah SWT, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah SWT yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Seperti halnya dalam hadits riwayat Imam Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak akan mendapat derajat tinggi orang pergi ke dukun, orang bersumpah untuk kepentingan pribadi, atau orang yang kembali atau tidak jadi bepergian karena ramalan."

Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing mempunyai sejarah, keistimewaan dan peristiwa sendiri-sendiri. Jika bulan tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan berarti bulan yang lain merupakan bulan yang buruk, Misalnya, dalam bulan Ramadhan ada peristiwa Nuzulul Qur'an dan Lailatul qadar, dalam bulan Rajab ada Isra' Mi'raj dan dalam bulan Rabi ul Awwal ada peristiwa Maulid atau kelahiran Rasulullah SAW dan lain sebagainya.

Jika ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah bulan, itu bukan berarti bulan tersebut merupakan bulan musibah atau bulan yang penuh kesialan. Namun kita harus pandai-pandai mencari hikmah dibalik peristiwa itu, dan amaliyah apa yang harus dilakukan sehingga terhindar dan selamat dari berbagai musibah.

Sedangkan jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari-hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan (atau yang semacamnya), maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini. (Referensi: Al Fataawa Al Haditsiyyah, kumpulan Fatwa Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami RA).

Kita semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa manusia, bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya bintang tertentu atau karena adanya kematian seseorang. Harus kita yakini bahwa semua yang terjadi di alam ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah SWT. Oleh karenanya hari-hari, bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memberikan manfaat atau madharat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan madharat adalah Allah SWT semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Semua hari adalah baik, dan masing- masing ada keutamaan tersendiri. Hari dimana kita menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sangat menggembirakan. Seperti yang dikatakan oleh Salafus Sholih: "Bahwa hari rayaku adalah hari dimana aku tidak bermaksiat kepada Allah pada hari itu. Dan ini tidak tertentu pada satu hari saja. Tapi bisa terjadi di semua hari".

Wallahua’lam’

*Dikutip dari buletin Al-Huda oleh: Tim Redaksi LP3MH

bulan shafar  gading pesantren 
Moh Rofiq Sholehudin

Penulis adalah santri Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Malang sekaligus mahasiswa Jurusan Sastra Arab di Universitas Negeri Malang.

Bagikan