Imam Laits bin Sa’ad: Sang Mujtahid Mustaqil dan Mazhab Laits yang Telah Pudar

Rabu, 27 Des 2023, 16:20 WIB
Imam Laits bin Sa’ad: Sang Mujtahid Mustaqil dan Mazhab Laits yang Telah Pudar
Imam Laits bin Sa'ad

 

Ada salah satu yang menarik dari bahtsu masa’il bulan kemarin yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Miftahul Huda, Gading. Bukan perihal esensi dari hujjah yang dilontarkan oleh kalangan musyawirin atapun kondisi mencekam saling serang menyampaikan ibarot-nya, akan tetapi ada satu hal yang menarik, manakala musohih ngendikan di akhir acara menutup persoalan yang pertama, “bagi kalangan kita (ahlu sunnah) hujjah dari Imam Laits tidak dipakai untuk berpegangan”. Sebetulnya siapakah Imam Laits itu? Kenapa hujjahnya tidak terpakai di kalangan ahlu sunnah?

Abu Al-Harits Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi, atau biasa panggil dengan nama Imam Laits atau Abu Harist, diberi gelar Al-Fahmi merupakan nisbat dari salah satu kabilah di Irak yang bernama Fahm. Meski keturunan Irak, Imam Laits lahir di Desa Qarqashandah yang berjarak 20 kilometer dari Kota Fustat, Mesir pada bulan Sya’ban tahun 94 H. Selisih 1 tahun lebih dahulu dengan kelahiran Imam Malik bin Anas pendiri Mazhab Maliki yang lahir pada tahun 93 H.

Sedari kecil beliau tumbuh berkembang dan menimba ilmu di negeri Mesir. Ada sederet guru yang mengampu Imam Laits, diantaranya Ubaidillah bin Abu Ja’far, Al-Harits bin Yazid, Ja’far bin Rabi’ah, Yazid bin Abi Habib, dan ulama Mesir lain. Di masa mudanya, Imam Laits sudah terkenal dengan kepintarannya dan kedalaman ilmunya. Ini yang diutarakan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqa menyebutkan “Para guru beliau mengakui keutamaan, kesalehan dan bagusnya agama Imam Laits meski usianya masih muda.”

Pada tahun 113 H, dalam usia dua puluhan, Imam Laits melanjutkan menimba ilmu di  Irak dan Hijaz. Berguru kepada tokoh-tokoh besar di Madinah dan Makkah. Salah satunya adalah Imam Ibnu Syihab al-Zuhri (51-124 H) dan Imam Nafi’ (30-117 H). Kedua tokoh ini adalah gudangnya Hadis. Nama kedua tokoh ini harum termaktub dalam sanad kitab-kitab hadis. Tidak hanya itu, beliau juga berguru kepada Imam Atha bin Abi Rabah yang merupakan Mufti dan Ahli Hukum Makkah. Setelah menimba ilmu di Hijaz, Imam Laits mengabdikan hidupnya di Masjid al-Fusthat. Masjid yang didirikan oleh Sayidina Amr bin al-Ash (43 H). Sahabat yang pertama kali menjadi penguasa di Mesir.

Semasa penyebaran ilmu, Imam Laits dikenal menjadi seorang pakar Fikih di Mesir yang sezaman dengan Imam Malik. Meski begitu, pemahaman Fikih beliau sedikit berbeda dengan Imam Malik yang merupakan ahlulhadits. Imam Laits, selain seorang ahlu al–hadits, juga seorang ahlu al-ra’yi karena pernah belajar di Irak yang merupakan basis mazhab Hanafi. Di masanya, Imam Laits menjadi seorang mujtahid mustaqil yang memiliki pendapat sendiri, baik dari Ushul Fikih dan Fikihnya. Dari situ, banyak murid yang berguru pada beliau, salah satunya Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i atau yang akrab dikenal Imam Syafi’i. Bahkan, Imam Syafi’i memberi komentar bahwa Imam Laits lebih alim dari Imam Malik, seperti yang dikutip Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i, Imam Laits lebih pakar dalam bidang Fikih dari Imam Malik. Hanya saja pengikut beliau tidak melanjutkan pemikiran beliau (melestarikan mazhabnya)”.

Sangat disayangkan mazhab Imam al-Laits harus punah ditelan zaman dan hanya bertahan sekitar 2 abad. Dalam kitab Muhadlarat Dirasat Fiqhiyyah fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i disebutkan ada dua faktor penyebab mazhab Imam Laits tidak bertahan sampai sekarang. Pertama, tidak ada pendokumentasian pola pikir Imam Laits oleh murid-muridnya. Beliau hanya memiliki satu kitab fikih yang membahas sebagian masalah fikih. Selanjutnya, tidak ada pembuatan kitab dari murid beliau sebagai bentuk pelestarian mazhabnya. Kedua, murid beliau lebih sedikit dari murid imam-imam lain di sekitarnya, semasa dengan Imam Malik di Madinah. Pelestarian mazhab Laits pun begitu minim melihat sedikitnya jumlah murid beliau tersebut. Di samping, beliau dinilai terlalu dekat dengan pemimpin dinasti Abbasiyyah saat itu. Hal tersebut membuat para ulama enggan mendekat pada beliau.

Di samping kedalaman ilmunya, Imam Laits juga dikenal sebagai ulama yang kaya raya nan dermawan, penghasilannya dari berdagang mencapai miliaran rupiah jika menggunakan kurs saat ini. Lalu kenapa beliau tidak zakat? Bagaimana beliau mau zakat kalau harta yang dalam genggaman beliau tidak pernah mencapai nishob, hal itu karena seluruh hartanya diinfakkan dan disedekahkan sebelum mencapai 1 tahun (haul).

Imam al-Laits bin Sa’ad wafat pada hari Jumat di pertengahan bulan Sya’ban, pada tahun 175 H, yang berarti beliau wafat di usia sekitar 81 tahun. Khalid bin Abdussalam ash-Shadafi berkata: “Aku bersama ayahku menyaksikan jenazah Al-Laits bin Sa’ad. Belum pernah aku melihat jenazah yang lebih agung darinya. Aku melihat semua manusia bersedih. Mereka saling menghibur di antara mereka sambil menangis”. Aku berkata, “Wahai ayah, seakan semua orang adalah murid dekat jenazah ini.” Ayahku menjawab, “Hai anakku, kamu tidak akan melihat orang seperti dia selamanya.” Terkait wafatnya Imam al-Laits, Imam Syafii pernah berdiri di sisi kuburannya seraya berkata, “Demi Allah, wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang tidak dimiliki ulama lainnya: ilmu, amal, zuhud dan kedermawanan.” (Lihat: Khathib al-Baghdadi, Târîkh al-Baghdâd, 13/3; Adz-Dzahabi, Tadzkirât al-Huffâzh, 1/207).

Ulama Internasional  Ulama Fiqih  Ulama Dunia  Kisah Ulama  Biografi Ulama 
Bagikan