Ada satu hal yang kerap melintas di benak saya ketika merenungi proses belajar, yakni keindahan yang lahir dari kesederhanaan. Seporsi nasi padang selepas sekolah, sebatang rokok filter seusai berolahraga, atau satu nampan makanan setelah gotong royong, semua itu seakan membangkitkan rasa kebersamaan antara akal dan jiwa.
Bagi kaum pekerja maupun generasi sandwich, kesederhanaan selayaknya dimaknai sebagai anugerah yang luar biasa, jauh melampaui kesan megah hadiah yang sering ditampilkan di layar gawai. Para santri, bahkan mungkin seluruhnya, sepakat bahwa mereka mampu bertahan berkat kesederhanaan dengan suasana yang mengajarkan rasa syukur di tengah keseharian yang penuh khidmah dan legowo.
Kisah ini mengingatkan saya pada teladan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Beliau dikenal sangat menjaga kemandirian pesantren dan memilih hidup sederhana meskipun memiliki pengaruh besar. Di dalam catatan sejarah, beliau menolak bantuan materi berlebihan dari pemerintah kolonial Belanda, karena khawatir hal itu akan mengikat kebebasan pesantren. Kehidupannya di Tebuireng tetap bersahaja. Makan dengan menu seadanya, mengenakan pakaian yang sama bertahun-tahun, dan mengajar tanpa mengharap imbalan. Kesederhanaan beliau bukan hanya sikap pribadi, melainkan bagian dari strategi menjaga marwah pesantren. Sikap ini sejalan dengan yang saya saksikan di lingkungan santri, mulai dari semangat belajar dan kebersamaan tetap terjaga meski fasilitas terbatas.
Perjumpaan seperti ini layak disebut kebersamaan, social interest, atau wujud masyarakat yang rendah hati. Saya merasakan ketiga jalur itu dengan kegembiraan yang sulit diukur. Ada hidangan besar yang dalam bahasa pesantren dikenal sebagai madhang gedhen atau sebutan serupa; ada peran guru maupun orang tua yang tergambar dalam sosok seorang sahabat; ada pula pengetahuan yang luas dari para pemeran kehidupan yang saya temui.
Di balik kesederhanaan itu, tersimpan renungan bahwa anugerah Allah mengalir pada setiap laku hamba-Nya. Surat Al-Qashash ayat 77 menjadi cermin dari kenyataan tersebut. Saya melihatnya dalam kisah para santri dan asatidz di pesantren—mereka menyantap makanan dari piring berbahan kertas minyak, melangkah ke musala dengan nyeker, menikmati rokok kretek atau tembakau murah-murahan, terlelap di atas karpet tipis, tekun belajar kehidupan, dan melalui berbagai peristiwa kecil lainnya yang menjadi pengingat bagi saya untuk selalu merendahkan hati di hadapan hidup yang sederhana.
Pengalaman-pengalaman ini sejalan dengan ibaroh yang saya temukan dalam Kitab al-Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, karya Syekh al-Zarnuji (w. 591 H). Kitab ini memberikan pedoman bagi para santri dalam menempuh proses belajar. Salah satu nasihat al-Zarnuji adalah agar para pelajar menjalani hidup sederhana, menjaga diri dari rasa kenyang berlebihan, membatasi tidur, serta menghindari pembicaraan yang sia-sia. Beliau juga mengingatkan agar menjauhi makanan yang belum jelas kesuciannya, seperti jajanan atau panganan di pasar.
Bahkan, ada saja alumni yang tiba-tiba nyeletuk ketika menatap halaman pesantren. Kadang mereka hanya bercengkerama ringan dengan saya, tetapi di sela obrolan itu terselip nasihat yang tidak diucapkan secara langsung. Apa yang mereka lihat—atap yang mulai kusam, suara adzan dari masjid kecil, atau langkah para santri menuju kelas—menjadi cermin yang memantulkan kenangan. Di dalam hati mereka, ada bisikan kecil yang ingin kembali. Duduk lagi di asrama, bangun subuh bersama, menunggu giliran mandi, berbagi lauk seadanya. Mengulang momen yang pernah jadi warna hidup dengan takziran, hurmat pada guru, tawa teman seangkatan yang kini entah di mana. Waktu membuat kaki mereka tak bisa lagi melangkah ke kehidupan itu, namun doa mereka tinggal di sini. Mengalir pelan, menyentuh generasi-generasi alim yang sedang tumbuh, seperti air yang membasuh sajadah sebelum dipakai lagi untuk sujud.
Ala kulli haal, segala yang kita peroleh, nikmati, jalani, dan rasakan di pesantren memberi kehidupan pada batin. Kesadaran tumbuh dari hikmah yang lahir di tengah miniatur kehidupan sosial, berakar kuat dan terus memberi manfaat. Kesederhanaan menjadi latihan jiwa untuk mengatur keinginan, menghargai setiap nikmat, dan menempatkan diri selaras dengan lingkungan serta sesama manusia. Pengalaman ini membentuk kecerdasan nalar sekaligus mengasah kepekaan sosial dan spiritual. Hidup di tengah keterbatasan menajamkan empati, mempererat persaudaraan, dan menguatkan keteguhan dalam menghadapi dinamika kehidupan. Setiap perjumpaan, sekecil apa pun, menjadi ruang memperkaya jiwa dan meneguhkan tujuan hidup yang lebih bermakna.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang