ثُمَّ أَوْرَثْنَا ٱلْكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِۦ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِٱلْخَيْرَٰتِ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْكَبِيرُ
Artinya: Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (Q.S. Fathir: 32)
Seringkali kita mendengar beberapa anomali ayat yang dilontarkan dari beberapa pendakwah populer dalam konteks keseharian. Secara ringkas, mereka menguraikan bahwa dalam dinamika kehidupan, manusia terbentuk dan terbagi menjadi tiga golongan yaitu dzolim linafsih, muqtashid, dan saabiq bil-khoirot.
Keterangan ayat ke-32 dari Surat Fathir ini dapat dijadikan sebagai parameter untuk menilai sejauh mana kesungguhan kita dalam mengimplementasikan kriteria yang terkandung dalam konsep tiga golongan tersebut. Pertimbangan terhadap posisi pribadi sebagai dzolim linafsih, muqtashid, atau saabiq bil-khoirot menjadi landasan evaluasi untuk menentukan sejauh mana kualitas individu dalam tingkah spiritual dan moral.
Secara umum, ayat di atas menguraikan tentang tiga kelompok manusia terpilih yang Allah mempercayakan pewarisan Al-Kitab kepada Nabi Muhammad. Kemudian, Allah melanjutkan warisan tersebut kepada tiga kelompok manusia terpilih yang juga mewarisi Al-Kitab, yang dalam konteks ini diidentifikasi sebagai Al-Qur'an oleh para mufassir[1].
Ketiga kelompok tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, kelompok yang melakukan dosa terhadap diri mereka sendiri, dikenal sebagai "dzalimun li nafsih," yang meskipun berdosa, namun tidak berarti mereka jatuh ke dalam jurang dosa yang tidak dapat diampuni oleh Allah. Kedua, kelompok "muqtashid", yakni merujuk pada individu yang meniti jalan moderat atau tengah (moderasi) dalam menjalani kehidupan. Terakhir, kelompok "saabiq bil-khairat", yakni mereka yang selalu berusaha mendahului dalam mencapai kebaikan.
Adapun indikasi topik yang dibahas adalah penggunaan analogi oleh beberapa muballigh untuk menjelaskan ketiga golongan tersebut. Mereka mengaitkan golongan dzalim linafsih dengan setan, golongan muqtashid dengan manusia, dan golongan saabiq bil-khoirot dengan malaikat. Sebenarnya, para muballigh memberikan pemaparan sebagai analogi metaforis untuk menjelaskan karakteristik golongan dengan memanfaatkan representasi figur setan, manusia, dan malaikat sebagai perbandingan kompleksitas terkait tafsiran mereka terhadap ayat muqtashid ini.
Wacana mengenai keterkaitan manusia dengan golongan muqtashid menjadi subjek yang menarik atensi, mengingat golongan ini ditempatkan di antara dzalim linafsih dan saabiq bil-khoirot. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kadang-kadang manusia dengan mudah dikategorikan sebagai golongan tengah, padahal manusia juga memiliki potensi untuk melakukan kebaikan yang jauh melampaui standar golongan muqtashid. Sebaliknya, manusia juga dapat melakukan perbuatan keji layaknya setan, sehingga tergolong dalam kriteria dzalim linafsih. Selain itu, manusia juga mampu menunjukkan perilaku luhur yang mendekati sifat malaikat, sehingga layak dianggap sebagai saabiq bil-khoirot.
Faktanya, manusia memiliki dasar perilaku yang sangat dinamis, mampu bervariasi dari perilaku yang paling negatif hingga yang paling positif. Hal ini menjadikan manusia sebagai entitas yang kompleks dan multifaset. Meskipun kategorisasi dalam golongan muqtashid mungkin merujuk pada ketengah-tengahan, potensi manusia untuk melibatkan diri dalam perbuatan baik yang luar biasa atau sebaliknya, menyoroti kompleksitas moral dan etika manusia.
Analisis ini menekankan pada kemampuan manusia untuk bergerak di sepanjang spektrum perilaku, dari yang merugikan hingga yang memberikan manfaat, dengan merinci potensi manusia untuk melibatkan diri dalam tingkah laku yang mencerminkan sifat setan, manusia, atau bahkan malaikat. Maka dengan itu, pendekatan ini mempertimbangkan realitas manusia sebagai entitas moral yang fleksibel dan mampu beradaptasi dengan konteks dan situasi tertentu.
Al-Maraghi memberikan penafsiran bahwa golongan yang disebut dzalimun linafsih adalah mereka yang mufarrit (berlebih-lebihan) dalam melaksanakan sebagian kewajiban dan melakukan sejumlah dosa atau perkara yang diharamkan Allah. Sementara itu, golongan "muqtashid" diidentifikasi sebagai mereka yang memenuhi kewajiban-kewajiban yang diamanahkan dan menjauhi larangan Allah. Meskipun demikian, pada beberapa kesempatan, mereka mungkin juga melakukan tindakan yang dilarang (al-hafwat) dan terkadang mengabaikan sebagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Sedangkan sabiq bil-khairat adalah mereka yang selalu istiqamah dalam melakukan kewajiban dan hal yang baik serta meninggalkan yang diharamkan juga termasuk hal-hal yang dimakruhkan[2].
Prof. Shihab, dalam tafsirnya, memberikan penjelasan terbatas terkait golongan muqtashid. Beliau memfokuskan pada etimologi kata muqtashid, yang berasal dari al-qasdu, dengan artian seseorang yang mengambil jalan pertengahan. Pada penutupannya, Al-Maraghi menyimpulkan bahwa muqtashid adalah individu yang berada dalam kondisi mutaraddid, ketika mereka fluktuatif antara melaksanakan amal dan meninggalkannya. Dalam kontrast, dzalimun linafsih ialah memiliki sedikit amal dan banyak melakukan kesalahan terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, sabiq bil-khairat didefinisikan sebagai mereka yang selalu memimpin dalam pelaksanaan kebaikan. Pemikiran Al-Maraghi ini dengan jelas menunjukkan bahwa muqtashid berada di tengah—antara dua kelompok ekstrem, berada di antara dzalimun linafsih (ashabul masyamah) dan sabiq bil-khairat (ashabul maimanah).
Imam Asy-Syaukani menyajikan penjelasan terbatas mengenai tafsir muqtashid dalam karyanya, Fath Al-Qadir[3]. Dalam keterangan tersebut, ia menyebutkan bahwa golongan yang diwarisi Al-Kitab terbagi menjadi tiga afwaj atau kelompok. Pertama, dzalimun li nafsih, yang diidentifikasi sebagai individu yang melakukan dosa dan kezaliman terhadap dirinya sendiri. Kedua, muqtashid, yang akan dihisab oleh Allah dengan hisab yang ringan. Ketiga, saabiq bil-khairat, yaitu mereka yang memperoleh surga tanpa menjalani hisab dan tanpa mendapat siksa.
Di dalam penjelasan tersebut, Imam Syaukani menunjukkan bahwa fokus utamanya adalah eksistensi ketiga golongan pada babakan akhirat. Terdapat kesulitan dalam memberikan makna rinci terkait dengan dzalimun linafsih, dengan pertanyaan apakah hal ini merujuk pada konsep kekufuran. Jika diartikan orang yang dzalim terhadap dirinya sebagai bentuk kekufuran, maka terdapat kerancuan tentang bagaimana mungkin golongan ini dipilih oleh Allah untuk mewarisi Al-Kitab (Al-Quran). Beberapa mufassir cenderung memaknai dzalimun li nafsih sebagai kelompok yang pada dasarnya memang bersalah, tetapi karena ampunan Allah dan syafa'at Nabi Muhammad, mereka akhirnya dimasukkan ke dalam surga.
Adapun muqtashid, Imam Asy-Syaukani memberikan tafsiran terkait keberadaan mereka di hari kiamat, masuk ke dalam surga dengan rahmat Allah SWT. Tafsiran lain menyebutkan bahwa muqtashid adalah mereka yang mengikuti jejak para sahabat dan mengamalkan seperti amal generasi awal Islam. Dalam bentuk lain, muqtashid juga disebut sebagai ashab al-yamin atau ashab al-maimanah. Penjelasan ini memberikan perspektif yang lebih mendalam terhadap pemahaman Asy-Syaukani terkait ketiga kelompok tersebut dalam konteks eskatologis dan penggambaran variasi interpretasi pada tradisi tafsir.
Selanjutnya, muqtashid dapat diintegrasikan dalam pemaknaan “ulama”, sebagaimana yang tercermin dari ketiga kriteria ayat 32 surat Fathir. Dalam menguraikan hal ini, pertama-tama kita harus memahami ulama dzalim linafsih, baik dalam konsepnya maupun dalam praktiknya. Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan ulama menjadi dua kelompok: ulama akhirat dan ulama dunia. Ulama akhirat adalah mereka yang khasyah (takut) kepada Allah SWT dan menjalani hidup dengan kezuhudan. Sementara ulama dunia adalah mereka yang menjual ayat-ayat Allah (yastabdil bi ayaatillah) demi kepentingan dunia. Mereka dinamakan ulama Su’. Jika digambarkan pada konteks saat ini, ulama Su’ adalah mereka yang menyembunyikan ilmu, kurang peduli pada isu sosial, dan enggan menjelaskan persoalan agama yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ulama dzalim li nafsih (menganiaya diri sendiri) sesuai dengan pandangan Al-Ghazali tentang ulama Su’, yaitu ulama yang tidak mengamalkan ilmu mereka dan memiliki karakter yang jauh dari akhlak Rasulullah SAW.[4]
Dalam usaha menggali makna kata "muqtasid" sejumlah mufassir menyampaikan pandangan mereka, termasuk Imam Ibn Katsir, yang menginterpretasikan sebagai kelompok yang melaksanakan kewajiban, meninggalkan yang haram, namun masih meninggalkan sebagian sunnah, dan melaksanakan hal-hal yang makruh[5]. Alternatifnya, golongan ini dapat diidentifikasi sebagai mereka yang hanya melakukan amal sebatas memenuhi kewajiban atau bahkan mengabaikannya.
Dari eksposisi sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa ulama muqtasid adalah individu yang berada pada taraf pertengahan dalam pelaksanaan amal, tidak terjerumus pada ekstrem berlebihan atau menyiksa diri sendiri. Kelompok ulama ini mungkin kurang relevan dalam konteks perkembangan dunia modern, karena terlihat egosentris. Pada era global ini, ulama diharapkan untuk menjaga kredibilitas pribadi mereka demi kemaslahatan umat, dengan keyakinan bahwa kebaikan sejati tumbuh seiring dengan tindakan yang dilakukan. Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan ketika seorang alim ulama melakukan kesalahan, bahkan sekali pun, pandangan masyarakat terhadapnya berubah, dan dianggap bahwa ia ternyata cenderung melakukan kesalahan, baik dengan sengaja maupun tidak. Perspektif ini mungkin sering disalahpahami oleh banyak orang, mengingat manusia juga sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan berbuat salah dan lupa.
Kategori ulama yang ketiga adalah saabiq bil-khairat. Kata "sabiq" memiliki makna mendahului, sedangkan kata "al-Khairat" merujuk pada seluruh kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT dan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan syariat-Nya. Menurut Sayyid Qutub (ulama’ mesir), saabiq bil-khairat merujuk kepada ulama yang melaksanakan wajib dan sunnah, serta menjauhi yang haram dan makruh[6]. Maka, golongan ini lebih dekat di sisi Allah SWT.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa golongan ulama saabiq bil-khairat adalah mereka yang tindakan baiknya mendominasi kehidupannya, sementara mereka meminimalisir perbuatan dosa dan pelanggaran. Kategori ulama ini sangat penting bagi umat pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Maka, golongan ini layak disebut sebagai pewaris para nabi (warotsatul anbiya’), karena amal kebaikan mereka mencirikan kehidupan mereka dan membawa manfaat yang besar bagi masyarakat. Waalahu A’lam bish-showab.
[1] Tafsir Jalalain, Surat Fathir: 32
[2] Tarigan, A. A. (2012). Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Sebuah Eksplorasi Melalui Kata-Kata Kunci Dalam Al-Qur’an.
[3] فتح القدير، الجامع بين فني الرواية والدراية من علم التفسير
[4] فمنهم ظالم لنفسه بفعل المحرمات وترك الواجبات (المختصر في التفسير : شرح المعنى باختصار)
[5] ومنهم مقتصد بفعل الواجبات وترك المحرمات، مع ترك بعض المستحبات وفعل بعض المكروهات
[6] ومنهم سابق بالخيرات بإذن الله، وذلك بفعل الواجبات والمستحبات وترك المحرمات والمكروهات، ذلك المذكو
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang