Pesantren telah menjadi institusi pendidikan sekaligus pusat transmisi tradisi keilmuan yang berakar kuat pada sanad keilmuan ulama klasik. Dua pilar utama yang menopang keberlangsungan pendidikan di pesantren adalah hifzh al-matan yang dalam hal ini pada umumnya adalah tahfizdhul quran wal hadist wa al-tafaasir dan tafaqquh fiddin melalui pengkajian kitab kuning (turast). Di dalam paradigma maqasid al-ta‘lim, kedua orientasi ini memiliki tujuan fundamental, yakni guna menjaga otentisitas wahyu sekaligus menghidupkan nalar keilmuan yang kritis. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menekankan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menautkan kekuatan hafalan dengan kedalaman makna, dan tidak terjebak pada formalitas belajar yang kering dari hikmah.
Secara historis, kajian kitab kuning di pesantren Nusantara mencakup disiplin luas seperti fikih, tafsir, hadis, nahwu, sharaf, balaghah, tasawuf, dan mantiq. Kitab-kitab seperti Fath al-Qarib, Al-Jurumiyah, Tafsir al-Jalalayn, hingga Ihya’ sendiri menjadi rujukan pokok. Metode pengajarannya meliputi sorogan, bandongan, dan halaqah yang menunjukkan pola pedagogis sekaligus menekankan pemahaman teks secara mendalam. Namun, di tengah perkembangan pesantren kontemporer menghadirkan tantangan, bahwa banyak lembaga yang mengedepankan program tahfidz tanpa bersamaan dengan penguasaan perangkat ilmu alat, sementara di sisi lain terdapat pesantren salaf yang mempertahankan kajian kitab namun kurang pada menguatkan hafalan Qur’an bahkan sebatas tahsinul qiro’ahnya.
Ketegangan ini mengindikasikan adanya krisis orientasi asali pendidikan pesantren. Data Kementerian Agama (2022) menunjukkan tren penurunan intensitas kajian kitab kuning di sebagian pesantren, sementara popularitas pesantren tahfidz meningkat pesat. Fenomena ini menuntut refleksi ulang apakah orientasi pendidikan akan tetap selaras dengan maqasid al-ta‘lim, atau justru bergeser ke arah spesialisasi sempit yang mengorbankan salah satu pilar?
Jika dilihat dari perspektif historis-filosofis, persoalan ini bukan sekadar pilihan teknis-metodis, tetapi sudah menyentuh dimensi epistemologis pendidikan Islam. Maqasid al-ta‘lim yang dirumuskan para ulama klasik mengisyaratkan keterpaduan antara tahqīq al-ma‘nā (pendalaman makna) dan hifzh al-mabnā (penjagaan bentuk/teks). Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah menegaskan bahwa transmisi ilmu dalam peradaban Islam selalu melewati proses bertahap, yakni melalui pembacaan atau penguasaan hafalan dasar, pemahaman gramatikal dan logika teks, kemudian pembacaan kritis yang membuka ruang ijtihad. Jika salah satu tahapan ini diabaikan, maka kualitas lulusan akan timpang sehingga menghasilkan generasi yang hanya menguasai teks secara literal tanpa kemampuan analitis, atau sebaliknya, pandai berdebat namun rapuh dalam otoritas dalil.
Begitu pula dengan orientasi tunggal pada hafalan atau pada kajian turats saja juga berpotensi menggeser pesantren dari fungsi sosialnya sebagai hādhirat al-‘ilm (ruang publik intelektual) yang membentuk ulama sebagai pemegang otoritas keilmuan dan moral. Konsep ini seharusnya menekankan bahwa pesantren berfungsi bukan hanya mencetak individu saleh secara spiritual, tetapi juga menjadi pusat produksi wacana Islam yang responsif terhadap tantangan zaman. Apabila maqasid ini terabaikan, maka pendidikan pesantren akan terjebak dalam pola reproduksi mekanis lantaran mengulang metode lama tanpa memperhatikan relevansi substansialnya dengan kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer.
Sejumlah ulama menekankan bahwa hafalan merupakan pintu awal menuju pemahaman, sebagaimana diisyaratkan dalam pernyataan Imam al-Shafi‘i bahwa “ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat”, yang oleh banyak syarah dimaknai bahwa kesucian hati, ketekunan mengulang hafalan, dan disiplin adab merupakan prasyarat keberhasilan memahami teks. Di sisi lain, penguasaan kitab turats memberi santri perangkat berpikir yang memadai untuk menafsirkan dan mengontekstualkan kandungan wahyu secara tepat.
Fenomena kontemporer menunjukkan adanya kecenderungan pesantren yang memisahkan dua tradisi ini secara tajam—misalnya pesantren tahfidz yang menuntaskan target hafalan tanpa melibatkan perangkat ilmu alat, atau pesantren salaf yang mengkaji turats secara mendalam namun tidak menekankan capaian hafalan Qur’an. Pemisahan ini berpotensi mereduksi maqasid al-ta‘lim menjadi sekadar target administratif atau capaian kuantitatif. Padahal, sejarah pesantren klasik memperlihatkan pola integratif dengan adanya hafalan Al-Qur’an dan matan-matan inti yang dilakukan secara simultan, sementara kajian kitab kuning diposisikan sebagai penguat pemahaman yang tumbuh dari hafalan tersebut.
Sejumlah ulama menekankan pentingnya menghafal Al-Qur’an sejak dini karena faktor daya ingat yang lebih optimal dan urgensi menjaga otentisitas teks wahyu. Namun, pendekatan tersebut dalam tradisi pesantren klasik tidak pernah berdiri sendiri, hafalan selalu diiringi pembacaan syarah, penjelasan asbāb al-nuzūl, dan penerapan kaidah bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas menghafal dalam tahap awal bukan untuk memisahkan santri dari ilmu lain, melainkan membentuk fondasi kokoh agar pengetahuan yang datang kemudian tertaut langsung pada sumber utama Islam.
Di sisi lain, argumentasi yang mengedepankan pembelajaran kitab kuning sebagai pintu awal juga memiliki dasar historis kuat. Tradisi pesantren salaf, terutama di Jawa pada abad ke-19, memperlihatkan bahwa banyak santri mengawali pembelajarannya dari ilmu alat, fikih dasar, atau akidah, sebelum masuk ke tahfiz. Pola ini didorong oleh kesadaran bahwa pemahaman struktur bahasa dan logika fikih akan memperkuat kualitas hafalan Al-Qur’an di kemudian hari. Jika urutan ini diabaikan, hafalan yang terbentuk berisiko menjadi pengulangan fonetis tanpa internalisasi makna.
Persoalan prioritas ini, jika dilihat melalui kerangka maqasid al-ta‘lim, justru mengisyaratkan perlunya desain kurikulum integratif maupun kesadaran kolektif masing-masing individu yang tidak memaksakan dikotomi. Hafalan dan pemahaman teks klasik sebaiknya diposisikan sebagai dua orbit yang saling mengitari, bukan garis lurus yang memisahkan. Apabila ditarik pada kesimpula pada sebuah pertanyaan, maka, manakah yang lebih penting antara menghafal Al-Qur’an atau mendalami fikih/kitab kuning? Di satu sisi, menghafal Al-Qur’an adalah ibadah besar dengan status fardlu kifayah, serupa dengan kewajiban berjamaah yang menjadi tanggung jawab kolektif umat muslim. Namun, kajian fikih yang meliputi hukum ibadah seperti thaharah, shalat, zakat—memiliki status fardlu ‘ain, yakni kewajiban personal yang tidak dapat dikesampingkan. Ketika dua kewajiban bertabrakan, fikih menegaskan bahwa yang hukumnya lebih kuat (’akadu) harus didahulukan. Atas dasar ini, mempelajari fikih fardlu ‘ain patut dijadikan prioritas sebelum memfokuskan diri pada tahfiz, apalagi bila hafalan belum diiringi pemahaman hukum dasar yang dibutuhkan sehari-hari.
Doktrin fiqh al-aulawiyah (fikih prioritas) menekankan pemilihan amalan berdasar urgensi maslahat (kebaikan). Di dalam suatu lingkungan ketika sudah ada penghafal Al-Qur’an, maka menambah jumlah hafiz bukanlah prioritas. Namun sebaliknya, bila masyarakat kekurangan ahli fikih yang memahami hukum praktis, maka mendalami fikih lebih mendesak.
Santri semestinya tidak terjebak dalam dikotomi antara hafalan dan pemahaman, sebab keduanya adalah fondasi yang saling menguatkan dalam membentuk otoritas keilmuan Islam. Hafalan Al-Qur’an memberi legitimasi sumber, sementara penguasaan kitab kuning membekali kemampuan menafsirkan dan mengaplikasikan ajaran secara tepat. Pemisahan keduanya justru menggerus maqasid al-ta‘lim, mengubah pesantren menjadi sekadar pusat produksi hafiz tanpa ulama, atau sebaliknya, pusat wacana tanpa pijakan kuat pada nash. Model integratif bahwa hafalan menjadi pintu, dan kajian kitab yang mengasah daya kritis merupakan satu-satunya jalan untuk melahirkan generasi santri yang berwibawa secara moral, fasih dalam dalil, dan relevan dalam menjawab problem umat.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang