Pengabdian Rahasia: Riwayat Teladan KH. Abdurrochim Yahya 

Sabtu, 24 Ags 2024, 00:03 WIB
Pengabdian Rahasia: Riwayat Teladan KH. Abdurrochim Yahya 
Haul KH Abdurrochim Yahya ke 14

KH. Abdurrochim Yahya adalah sosok yang begitu menghargai ilmu sejak usia muda. Menurut pandangan beliau, rida seorang guru adalah kunci utama yang dapat membuka gerbang keberkahan ilmu. Pemikiran ini terus dipertahankan hingga beliau mengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading selama kurang lebih 40 tahun (1971-2011). Pada banyak kesempatan, KH. Abdurrochim Yahya selalu berpesan kepada para santri agar berkhidmat kepada guru. Tak lain karena keberadaan seorang guru adalah perantara ilmu untuk sampai kepada seorang murid.

Tatkala Kiai Rochim muda menuntut ilmu sebagai santri, beliau kerap dilarang oleh Kiainya untuk membantu berbagai urusan yang berkaitan dengan kerja fisik setelah mengetahui bahwa Kiai Rochim muda adalah putra Kiai Yahya Gading. Bisa disimpulkan bahwa sang Kiai sebenarnya sudah merasa rida dan ikhlas sekalipun Kiai Rochim muda tidak turut andil dalam berbagai urusan untuk membantu sang guru. Sekalipun begitu, Kiai Rochim muda tetap ingin berbakti kepada sang guru karena membantu dan menyenangkan hati gurunya sudah seperti kebutuhan raga bagi beliau. 

Kisah ini didapatkan dari KH. Abdurrochim Yahya melalui salah satu abdi dalem Kiai Rochim ketika dipanggil ke dalem untuk memijat beliau. Sembari dipijat, Kiai Rochim menggambarkan betapa mudah santri-santri pada umumnya saat itu untuk bisa menunjukkan keseriusannya mengabdikan diri kepada Kiai mereka. Beliau kemudian menceritakan pengalaman semasa masih menuntut ilmu sebagai santri (Tahun 1960-an).

“Aku biyen, Le! saking kepingine ngewangi guru,” tutur beliau mengawali cerita. Beliau bercerita betapa dulu setiap nyantri di pondok pesantren pasti tidak diperbolehkan entah menjadi abdi dalem atau sekedar membantu-bantu hal-hal kecil untuk kepentingan pondok pesantren. Dikenal sebagai putra dari Kiai Yahya Pondok Gading, beliau jarang mendapatkan kesempatan untuk mengabdi secara terang-terangan. Tugas-tugas santri untuk menyenangkan hati sang Kiai; entah itu membantu menyapukan lantai, membersihkan rumah, atau memijat, selalu dialihkan kepada santri-santri yang lain.

Suatu hari secara diam-diam Kiai Rochim muda mengamati sumur tempat mandi sang Kiai dari tempat yang tidak terlihat. Sebentar lagi Kiainya akan menuju ke tempat mandi. Kamar mandi zaman dulu belum pakai pompa air, hanya menggunakan sumur timba yang digali di sebelah bilik mandi. Kemudian ada saluran di salah satu sisi bilik mandi untuk mengisi  bak air di dalam. Jika ingin mengisi air di dalam bilik mandi, seseorang harus menimbakan air di sumur galian dari luar bilik.

Kiai Rochim muda mengetahui bahwa air di dalam kamar mandi sedang lowong. Beliau bermaksud menimbakan air untuk Kiainya agar bisa mandi dengan nyaman. Namun beliau tidak segera keluar dan langsung menimba, semata karena khawatir kepergok sang Kiai. Sebab bisa saja  beliau diminta kembali sembari memanggil santri lainnya untuk menimba air. Alhasil, saat itu Kiai Rochim muda menunggu sang Kiai melintas dan masuk ke bilik mandi.

Ketika melihat sang Kiai sudah  masuk ke bilik mandi, Kiai Rochim muda bergegas mengikuti lalu berbelok ke arah sumur. Beliau menimba air dari sumur dan mengalirkannya ke saluran menuju bak mandi, sehingga sang Kiai bisa mandi dengan keadaan air penuh.

“Sinten, nggih?” Kiainya bertanya dari dalam bilik mandi, ingin mengetahui siapa yang sedang membantu mengalirkan air ke dalam bak mandi.

“Kula,” jawab Kiai Rochim muda tanpa menyebut identitas dengan jelas, berpura-pura sebagai santri biasa.

Begitulah Kiai Rochim muda mengabdi sebagai santri semasa masih menuntut ilmu. Jika tidak bisa mengabdi dengan terang-terangan, beliau akan bersikeras melakukannya secara rahasia. Bahkan beliau tidak menghendaki rekan-rekannya sesama santri mengetahui, karena informasi itu mungkin suatu saat bisa bocor kepada sang Kiai dan akhirnya membuat beliau memikirkan ulang cara mengabdi secara sembunyi-sembunyi.

Kisah di atas hanyalah sepenggal cerita saja dari sekian banyak hal yang dapat dikisahkan dari figur KH. Abdurrochim Yahya. Sama halnya ada terlalu banyak teladan yang telah beliau ajarkan khususnya kepada santri Pondok Gading. Hari ini, 24 Agustus 2024/19 Safar 1446 H bertepatan dengan peringatan haul KH. Abdurrochim Yahya yang ke-14. Maka, mari sejenak mengirim doa untuk beliau, Alfatihah!

Baca Juga! Mengenang Figur Teladan KH Abdurrochim Yahya

 

Santri Gading  Pondok Pesantren Miftahul Huda  Pondok Pesantren Gading  Pondok Gading  KH Yahya  KH Abdurrochim Amrullah Yahya  Haul Pondok Gading  Gus Fuad Abdurrochim Yahya 
Wiqoyil Islama

Penulis adalah Santri PPMH yang sedang menempuh studi Strata-2 Sastra Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang juga biasa berkicau di @wiqoyil_islama

Bagikan