Heroisme KH. M. Yahya dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda

Selasa, 15 Ags 2023, 23:47 WIB
Heroisme KH. M. Yahya dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda
Almarhum Almaghfurlah Romo KH. M. Yahya

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan pertempuran sejenis di berbagai kota tidak mampu menghalangi masuknya tentara sekutu dan NICA Belanda di wilayah Indonesia yang baru seumur jagung merdeka. Tak butuh waktu lama, hampir semua kota di Indonesia akhirnya dikuasai oleh Belanda melalui Agresi Militer I, tahun 1947 dan Agresi Militer II, tahun 1948. Sejarah mencatat, keberhasilan kedua agresi militer itu dikarenakan Belanda secara licik mengkhianati perjanjian Renville dan Linggarjati.

Tak terpaut jauh dari Surabaya, di wilayah Malang pasukan-pasukan kompi di bawah SWK-1 melakukan perlawanan mati-matian dan perjuangan gerilya dibantu masyarakat di desa-desa. Kompi Mayor Sullam Syamsun - yang lebih dikenal dengan kompi Garuda Merah-melakukan perang gerilya dengan memindah markas di Jalan Arjuno ke Desa Sumberbendo. Desa Sumberbendo berlokasi kira-kira 10 kilometer dari pusat Kota Malang ke arah barat daya. Terletak di lereng pegunungan Kawi yang cukup strategis, dari markas di Desa Sumberbendo posisi dan pergerakan tentara Belanda dapat terus dipantau dari desa di dataran tinggi itu.

Selama pendudukan Belanda di Malang, Mayor Sullam memikul tugas yang sangat berat. Jatuhnya kota Malang akibat agresi militer ini adalah tanggung jawabnya. Untuk itu, Mayor Sullam bersama batalionnya mempunyai tugas merebut kembali Kota Malang dengan menyiapkan strategi perang gerilya dari Markas Sumberbendo. Semua kekuatan dan potensi dikerahkan, termasuk potensi dan kharisma KH. M. Yahya. Ada empat tugas khusus dari Mayor Sullam yang dibebankan kepada Kyai Yahya yakni tugas motivator, tugas Intelijen dan pekabaran atau penghubung (PHB), tugas logistik dan amunisi, serta tugas teritorial.

Keempat tugas tersebut dijalankan dengan tanggung jawab dan ikhlas, meskipun tergolong berat. Dalam menjalankan tugas, Kyai Yahya melibatkan masyarakat sekitar dan para santri di Pesantren Gading. Kendati dalam situasi perang, terdapat sekitar 35 santri yang tetap aktif mengaji di pondok. Selain itu Kyai Yahya dikenal ahli dalam strategi dan mobilisasi yang lihai, istiqamah, berani, tegas dan cerdas.

Berperan sebagai seorang intelijen dan penghubung, Kyai Yahya merupakan sosok pejuang yang sangat piawai. Misalnya, beliau menciptakan sandi-sandi rahasia yang hanya dimengerti prajurit republik. Bila ada pasukan Belanda yang hendak menyerang pos tertentu, maka penduduk desa akan menurunkan burung perkutut yang sedang 'dipanggung'. Sandi ini akan diteruskan secara berantai sampai markas gerilyawan di Desa Sumberbendo. Sehingga, pasukan Mayor Sullam dapat mengantisipasi kedatangan pasukan Belanda.

Sementara untuk mengatur arus komunikasi antar markas, Kyai Yahya menyulap Pondok Gading menjadi 'Kantor Pos' yang menerima dan mengirimkan surat atau instruksi militer termasuk pesan lewat radio. Pada masa itu, radio yang digunakan masih berupa radio mekanik sehingga Kyai Yahya menugaskan seorang santri untuk mancal (memutar motor radio dengan cara mengayuh). Kyai Yahya juga menunjuk beberapa santri untuk menjadi kurir khusus yang membawa surat ke markas, atau mengirim surat dari markas ke luar kota. Guna menghindari kecurigaan Belanda, tidak jarang Kyai Yahya merangkum surat dan pesan-pesan rahasia itu lalu ditulis kembali di sebuah kertas menggunakan aksara Arab pego untuk kemudian dibawa oleh kurir ke Mayor Sullam.

Kepiawaian Kyai Yahya dalam menyusun strategi juga nampak ketika beliau menjalankan tugas sebagai distributor logistik dan amunisi. Ada saja cara yang ditempuh KyainYahya untuk mengirimkan makanan dan senjata ke markas gerilyawan di Desa Sumberbendo. Ketika hendak diadakan penyerbuan ke Kota Malang, dibutuhkan pengiriman senjata dari daerah barat sungai ke timur sungai yang melintasi Kota Malang. Padahal, Kota Malang dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Untuk mengelabui tentara Belanda, Kyai Yahya memasukkan puluhan senjata dan amunisinya ke dalam kathil (keranda mayat) dan ditutup kain keranda lengkap dengan payungnya. Benar-benar persis seperti sedang memikul mayat yang akan dikubur. Kyai Yahya lantas menyuruh santri dan para penduduk untuk memikul mayat dan membuat iring-iringan di belakangnya sambil membaca tahlil melintas kota yang penuh dengan tentara Belanda menuju ke timur. Benar saja, taktik ini berjalan mulus tanpa ada kecurigaan sedikitpun dari tentara musuh.

Perjuangan KH. M. Yahya dalam membebaskan Kota Malang dari penjajah berlangsung selama kurun 1945 – 1949. Tepat pada 27 Desember 1949, kedaulatan Kota Malang secara resmi diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua pasukan gerilyawan yang bermarkas di Desa Sumberbendo berbondong-bondong turun gunung menuju pusat kota. Sementara dari Pondok Gading, Kyai Yahya dengan langkah ikhlas dan penuh rasa syukur mengantar Mayor Sullam Syamsun dan seluruh pasukannya sampai di Jalan Sarangan, Kecamatan Blimbing. Di ruas jalan ini pula Kyai Yahya berhenti untuk melepas semua tentara pejuang menuju markas besarnya semula sebagaimana beliau melepas tugas militer yang selama empat tahun diemban. Sekembalinya Kyai Yahya ke Pesantren Gading, beliau kembali mengajar dan mengasuh santri. Atas jasa-jasa beliau selama berjuang membebaskan Kota Malang dari penjajah, Mayor Sullam Syamsun memberikan penghargaan militer Garuda Merah kepada Kyai Yahya.

*Artikel ini merupakan bagian dari buku Peran KH. M. Yachya Dalam Membebaskan Kota Malang dari Penjajah yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan PP. Miftahul Huda (LP3MH) pada tahun 2014.

Santri Pesantren Gading Malang  Pondok Pesantren Miftahul Huda  Pondok Pesantren Gading  Pondok Gading  Mayor Sullam Syamsun  KH. Muhammad Yahya  KH Yahya  Kemerdekaan Indonesia 
Mochammad Syaifulloh

Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)

Bagikan