
Imu adalah nilai luhur yang mengangkat martabat manusia dan menjadikan hidupnya bermanfaat, baik secara moral maupun materi, untuk kepentingan dunia maupun akhirat. Dalam Islam, ilmu menjadi pintu keimanan dan pendorong lahirnya amal saleh. Melalui ilmu pula manusia diberi mandat oleh Allah sebagai khalifah di bumi, karena dengannya ia mampu membedakan antara yang benar dan salah, halal dan haram, serta perkara terpuji dan tercela, baik dalam ibadah maupun muamalah. Kesempurnaan fungsi ilmu bagi manusia ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Allah SWT mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur”. (Q.S An-Nahl: 78)
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim mengutip Wahab bin Munabbih bahwa ilmu memberikan banyak manfaat, mengangkat derajat seseorang meski ia berasal dari kalangan biasa, membuatnya mulia meski pernah diremehkan, menjadikannya dekat di hati umat walau tinggal jauh, memberi kekayaan makna meski hartanya sedikit, serta menghadirkan wibawa meski ia seorang yang rendah hati. Dengan demikian, ilmu bukan hanya pengetahuan, tetapi cahaya yang memuliakan kehidupan manusia.
Barokah (berkah) adalah istilah yang sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang melakukan berbagai aktivitas, bekerja, belajar, bahkan beristirahat dengan harapan mendapatkan barokah. Secara bahasa, barokah berarti bertambahnya kebaikan atau manfaat. Para ulama kemudian memaknainya sebagai “pertambahan manfaat dan kebaikan dalam setiap perbuatan dari waktu ke waktu”, bahkan sebagai kepekaan hati untuk selalu memilih tindakan yang baik dan benar. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga menjelaskan bahwa barokah adalah bertambahnya kebaikan yang membawa seseorang semakin dekat kepada Allah SWT, sebuah definisi yang sangat dikenal dan diterima luas oleh para ulama di Indonesia.
Agar ilmu menjadi barokah, hal pertama yang harus dijaga adalah niat. Menuntut ilmu harus dilakukan semata-mata karena Allah SWT, bukan demi harta, jabatan, kedudukan, atau popularitas. Ilmu yang dicari dengan niat ibadah memiliki nilai yang paling tinggi dan paling mulia, karena ia menuntun pemiliknya menuju keikhlasan, kebermanfaatan, dan keberkahan dalam setiap langkah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya:“ Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”(Q.S Adz-Dzaariyat: 56)
Yang kedua adalah kesungguhan. Siapa pun yang ingin memperoleh ilmu barokah harus menempuhnya dengan sungguh-sungguh. Segala daya dan upaya perlu dicurahkan untuk memahami ilmu, karena sebagaimana pepatah Arab mengatakan: “Ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu jika engkau tidak memberikan seluruh dirimu kepadanya.” Artinya, tanpa keseriusan, ilmu tidak akan benar-benar meresap dan memberi manfaat.
Sikap malas tidak hanya menjerumuskan pada kebodohan, tetapi juga menghilangkan keberkahan ilmu. Sebaliknya, ketekunan dalam belajar akan membuka pintu-pintu kebaikan. Kesungguhan menuntut ilmu dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, selama hayat masih dikandung badan. Dan belajar bukan hanya di ruang kelas, mengagumi ciptaan Allah SWT di alam semesta pun merupakan bentuk pembelajaran yang menumbuhkan hikmah dan keberkahan.
Pada akhirnya, ilmu yang barokah adalah ilmu yang lahir dari niat yang ikhlas, dicari dengan kesungguhan, dijaga dengan etika terhadap diri, guru, dan ilmu, serta diamalkan untuk kebaikan. Ilmu yang menambah ketakwaan, memperluas manfaat, dan menghadirkan kemanusiaan itulah yang memberi cahaya dalam hidup. Sebaliknya, ilmu yang tidak diamalkan hanya menjauhkan pemiliknya dari petunjuk Allah SWT. Semoga Allah SWT menjadikan setiap ilmu yang kita pelajari sebagai jalan keberkahan dan kebaikan bagi diri, keluarga, dan umat.
Wallahua’lam’
*Dikutip dari buletin Al-Huda oleh: Zain
Penulis adalah santri Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Malang sekaligus mahasiswa Jurusan Sastra Arab di Universitas Negeri Malang.