Wasiat Terakhir Rasulullah: Pesan Persatuan Umat Islam

Kamis, 19 Jun 2025, 22:23 WIB
Wasiat Terakhir Rasulullah: Pesan Persatuan Umat Islam
https://pin.it/aJUXiyZ8o

Hari Idul Adha kembali hadir di tengah umat Islam, membawa suasana haru dan khidmat dalam naungan bulan Dzulhijjah yang penuh kemuliaan. Ini adalah hari besar, hari yang menghidupkan kembali nilai pengorbanan, keteguhan iman, dan kesalehan sosial sebagaimana dicontohkan oleh para nabi.

Di berbagai penjuru dunia, gema takbir menggema, menyatu dengan semangat ibadah dan kepasrahan kepada Allah SWT. Idul Adha bukan sekadar perayaan, tapi juga momen refleksi, mengingat kembali sejarah agung yang tertulis dalam perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW, termasuk peristiwa penting ketika beliau menyampaikan khutbah terakhirnya di hadapan sahabat.

Hari mulia ini mengingatkan kita pada momen besar, khutbah perpisahan Rasulullah SAW dalam Haji Wada’. Di hari Idul Adha itu, beliau duduk bersama para sahabat di tanah suci Makkah dan berkata, “Dengarkan baik-baik”. Seakan-akan beliau sedang mewasiatkan hal penting sebelum kepergian beliau dari dunia.

Rasulullah SAW bertanya, “Hari apakah ini?” Sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Nabi bersabda, “Bukankah ini hari penyembelihan?” Mereka menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bertanya lagi, “Bulan apakah ini?” – “Dzulhijjah, ya Rasulullah.” – “Negeri apakah ini?” – “Makkah al-Mukarramah, ya Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda tegas:“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram untuk dilanggar, sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini, dan negeri ini. Kalian akan bertemu Tuhan kalian, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas amal kalian. Jangan kembali kafir sepeninggalku, saling membunuh di antara kalian!” Beliau mengulang tiga kali, “Bukankah telah kusampaikan?”. Para sahabat menjawab, “Engkau telah menyampaikan, wahai Rasulullah.”

Setelah menyampaikan wasiat yang agung itu, Rasulullah SAW menengadahkan kedua tangan ke langit, jari-jarinya mengarah ke atas. Di hadapan sahabat yang menyimak dengan penuh haru, beliau berdoa: "Ya Allah, saksikanlah aku telah menyampaikan apa yang wajib aku sampaikan".

Saat itu, suasana hening. Banyak mata yang berkaca-kaca. Mereka tahu, ini bukan sekadar khutbah, tapi pesan terakhir dari manusia paling mulia sebelum beliau wafat. Wasiat yang mengguncang jiwa, tentang kesucian darah, pentingnya persaudaraan, dan amanah menyampaikan kebenaran.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa umat Islam adalah satu tubuh, satu saudara. Karena itu, darah, harta, dan kehormatan sesama Muslim haram untuk dilanggar. Tidak boleh ada pembunuhan, perampasan, atau perendahan martabat di antara kita.

Pesan agung ini disampaikan Nabi pada Haji Wada’, dan diwariskan dari generasi ke generasi, dari sahabat kepada tabi’in, hingga sampai kepada kita hari ini. Wasiat itu terus bergema dalam sabda beliau:"Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram atas satu sama lain".

Lalu Islam mana yang membenarkan pertumpahan darah antar-Muslim? Islam mana yang membolehkan perpecahan dan permusuhan?. Ironisnya, saat ini sebagian umat terpecah karena merasa paling benar dalam berislam, hingga tega menyakiti sesama.

Karenanya, ada tiga hal utama yang Nabi haramkan untuk menjaga persatuan:

Menghilangkan nyawa sesama Muslim tanpa alasan yang dibenarkan.

Allah SWT pun memperingatkan dalam firman-Nya:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Artinya: “Dan barang siapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar.” (Surah an-Nisā’: 93).

Ayat ini menunjukkan betapa besar dosa membunuh seorang Muslim. Tidak hanya mendapatkan siksa neraka, tetapi juga dimurkai, dilaknat, dan dijanjikan azab yang amat pedih. Maka dari itu, menjaga nyawa saudara seiman bukan hanya perintah kemanusiaan, tapi perintah langit yang langsung ditegaskan oleh Allah SWT.

Mengambil harta orang Mukmin dengan cara batil, bahkan jika itu dilakukan dengan sumpah, tipu daya, atau jalan riba. Rasulullah SAW bersabda:

مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ، لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

Artinya: “Barang siapa mengambil harta seorang Muslim tanpa hak, maka ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Artinya: “Siapa yang mengambil harta orang lain dengan niat mengembalikannya, Allah akan membantu membayarnya. Dan siapa yang mengambilnya untuk merusaknya, maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari).

Menjatuhkan martabat seorang Mukmin. Dalam Islam, kehormatan seorang Muslim dijaga dengan baik, bahkan lebih mulia daripada tempat paling suci di muka bumi.

Suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab RA menunaikan ibadah haji. Saat berdiri memandangi Ka'bah yang megah dan mulia, beliau berkata:"Sungguh engkau sangat mulia wahai Ka'bah. Namun demi Allah, kehormatan seorang Mukmin lebih mulia di mataku daripada engkau”. Ucapan ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

لَأَنْ تَهْدِمَ الكَعْبَةَ حَجَرًا حَجَرًا أَهْوَنُ عِندَ اللَّهِ مِنْ أَنْ تُهْدَرَ حُرْمَةُ مُسْلِمٍ

Artinya: “Sungguh, menghancurkan Ka'bah batu demi batu itu lebih ringan di sisi Allah daripada merendahkan kehormatan seorang Muslim.” (HR. al-Bayhaqi dan lainnya). Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah SAW bersabda:

مَن أَذَى مُسْلِمًا بِغَيْرِ حَقٍّ فَكَأَنَّمَا هَدَمَ بَيْتَ اللَّهِ

Artinya: “Barang siapa menyakiti Muslim tanpa hak, laksana ia merobohkan rumah Allah.” (HR.at-Tabrani).

Maka berhati-hatilah, Jangan sampai ucapan, fitnah, atau sikap merendahkan membuat kita mengoyak kehormatan saudara seiman. Sebab melukai hati seorang Mukmin bisa menjadi sebab murka Allah SWT, apalagi jika dilakukan dengan sadar dan sengaja.

Di tengah zaman yang penuh fitnah dan perpecahan, inilah sabda Nabi Muhammad SAW yang patut kita dengarkan dengan saksama, dan kita tanamkan dalam-dalam di hati kita. Wasiat beliau bukan sekadar pesan masa lalu, melainkan cahaya penunjuk arah di saat umat terombang-ambing oleh kebencian, kedengkian, dan kesombongan.

Jangan biarkan wasiat Rasulullah SAW hanya menjadi sejarah. Jadikan ia kompas dalam setiap langkah kita sebagai umatnya. Semoga Allah SWT menjadikan kita bagian dari umat yang menegakkan risalah, bukan yang melanggarnya. Aamiin.

Wallahua’lam’

*Dikutip dari buletin Al-Huda oleh: Habib Jamal Bin Toha Baagil

gading pesantren  khutbah wada'  wasiat nabi 
Moh Rofiq Sholehudin

Penulis adalah santri Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Malang sekaligus mahasiswa Jurusan Sastra Arab di Universitas Negeri Malang.

Bagikan