Sistem kalender merupakan salah satu tonggak penting dalam peradaban. Ia tidak hanya mengatur waktu, tetapi juga menjadi dasar untuk menyusun administrasi pemerintahan, ibadah, dan kehidupan sosial umat manusia. Umat Islam memiliki sistem kalender sendiri yang dikenal sebagai kalender Hijriyah, yang secara resmi perhitungan penanggalannya dimulai dari tahun peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah.
Namun, kalender ini tidak ditetapkan pada masa Rasulullah ﷺ. Penetapan kalender hijriyah secara sistematis baru disusun pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab RA. Meskipun peristiwa hijrah terjadi pada 622 M, launching pengumuman resmi bahwa umat Islam telah memiliki kalender tersendiri baru diumumkan oleh Sayyidina Umar pada musim haji tahun ke-17 Hijriyah, dimana tahun pertama (ke-1) hijriyah-nya adalah terhitung sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ.
Awal Mula: Surat yang Menggugah Kesadaran Administratif
Peristiwa yang memicu lahirnya kalender Hijriyah bermula dari kejadian administratif. Suatu ketika Sayyidina Umar RA mengirim surat kepada gubernur Basrah, Abu Musa Al-Asy’ari RA. Surat itu penting, namun tidak mencantumkan tanggal dan tahunnya. Abu Musa pun bertanya balik kepada Sayyidina Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apakah surat ini berlaku untuk tahun ini, tahun lalu, atau tahun yang akan datang?”
Pertanyaan ini memukul tajam kesadaran para sahabat bahwa umat Islam belum memiliki sistem penanggalan tersendiri secara resmi, sementara kebutuhan terhadapnya semakin mendesak. Sayyidina Umar kemudian mengumpulkan para pembesar sahabat untuk bermusyawarah, sebagai pelaksanaan dari perintah Allah dalam QS. Ali 'Imran: 159 tentang pentingnya musyawarah.
وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ….
“…dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Musyawarah: Kecerdasan Para Sahabat dalam Memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi
Dalam musyawarah itu, hadir sahabat-sahabat besar seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan lainnya. Lalu muncul lah pertanyaan, kalender Isam mau dimulai dari kapan? Beberapa usulan disampaikan. Ada yang mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun wafat Rasulullah ﷺ, namun ditolak karena akan mengingatkan kesedihan. Ada lagi yang mengusulkan dimulai dari tahun kelahiran Nabi, namun juga ditolak karena terlalu mulia. Akhirnya, disepakati bahwa kalender Islam dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ ke Madinah.
Sementara itu, bulan Muharram dipilih sebagai bulan pertama karena jamaah haji telah kembali dan menjadi waktu administratif yang strategis. Menurut Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menerangkan bahwa bulan Muharram dijadikan sebagai awal tahun Hijriyah karena pada bulan inilah umat Islam mulai meneguhkan niat untuk berhijrah ke Madinah. Sementara itu, kesepakatan untuk melaksanakan hijrah sebenarnya terjadi pada pertengahan Dzulhijjah, yang menandai awal mula proses hijrah. Adapun bulan Muharram merupakan waktu ketika hilal pertama terlihat setelah kesepakatan dan tekad hijrah tersebut, sehingga bulan Muharram akhirnya dijadikan sebagai awal tahun dalam kalender Islam.
Para sahabat kemudian mengusulkan penetapan kalender Islam mengacu dan berbasis pada perputaran bulan (qomariyah). Berbeda dengan kalender Masehi yang mengacu pada perputaran matahari, para sahabat meyakini kalender Islam didasarkan pada peredaran bulan (qamariyah), sebagaimana petunjuk dalam QS. Yunus: 5. Dalam sistem ini, waktu diukur berdasarkan tampaknya hilal.
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمْسَ ضِيَآءً وَٱلْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُۥ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا۟ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan / hisab (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan penciptaan matahari dan bulan serta peran keduanya dalam sistem penanggalan. Matahari digambarkan sebagai sumber cahaya (ضِيَاءً), sementara bulan disebut bercahaya (نُورًا), karena memantulkan cahaya matahari. Perbedaan ini sejalan dengan ilmu astronomi modern yang menyatakan bahwa matahari adalah bintang yang memancarkan cahayanya sendiri, sedangkan bulan hanya memantulkan cahaya tersebut ke bumi.
Ayat ini juga menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan manzilah-manzilah bagi bulan. Istilah manzilah merujuk pada tahapan atau fase perjalanan bulan di langit, mulai dari munculnya bulan sabit (hilal), menjadi purnama, dan kemudian menghilang kembali. Penetapan fase-fase bulan ini memiliki tujuan utama agar manusia dapat mengetahui hitungan tahun dan perhitungan waktu. Di sinilah ayat ini menjadi dasar utama bagi sistem kalender Islam yang bersifat lunar, yakni didasarkan pada siklus bulan, bukan matahari.
Sementara itu, penafsiran para ulama terhadap ayat ini, seperti yang dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maraghi, dan Al-Muyassar, juga menguatkan bahwa ayat ini menunjukkan kebijaksanaan Allah dalam menciptakan sistem waktu yang teratur dan dapat dikenali manusia melalui pengamatan alam, khususnya bulan. Oleh karena itu, QS. Yunus:5 menjadi landasan penting dalam menjelaskan bahwa penanggalan Islam memang berakar dari ketetapan Ilahi yang didasarkan pada pengamatan fase bulan, khususnya munculnya hilal.
Ketetapan acuan kalender Islam berbasis bulan (qomariyyah) ini merupakan hasil ijtihad dan ijma’ para sahabat dari diskusi-dialektika saat berumusyawarah. Mereka juga memiliki landasan dasar nash yang kuat berdasarkan petunjuk dalam QS. Al-Kahfi: 25, tentang kisah Ashabul Kahfi:
وَلَبِثُوا۟ فِى كَهْفِهِمْ ثَلَٰثَ مِا۟ئَةٍ سِنِينَ وَٱزْدَادُوا۟ تِسْعًا
Artinya: “Dan mereka tinggal dalam gua mereka selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan”.
Menariknya, Al-Qur’an dalam ayat ini idak menyebutkan '309 tahun' secara langsung, melainkan memisah antara 300 dan ditambah 9 tahun. Dan ajibnya, hal itu dapat dipahami dengan baik oleh para sahabat yang saking cerdas dan hebatnya mereka dalam bermusyawarah.
Jika kita ulas lebih jauh ayat tersebut, secara linguistik, Al-Qur’an bisa saja menyebutkan langsung dengan frasa ثَلَاثَ مِائَةٍ وَتِسْعَ سِنِينَ : “Tiga ratus sembilan tahun”. Namun mengapa Allah memilih menyampaikannya dalam dua frasa secara terpisah: ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِين (Tiga ratus tahun) dan kemudian وَازْدَادُوا تِسْعًا (dan mereka ditambah sembila tahun). Ada rahasia apa dibalik itu semua?
Ulama tafsir seperti Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa struktur ini bukan sekadar gaya bahasa, melainkan memiliki muatan tafsir epistemik. Pemisahan ini menunjukkan dua sistem penghitungan tahun yang berbeda. “Tiga ratus tahun” mengacu pada kalender syamsiyah (matahari), sedangkan “ditambah sembilan” adalah konversi tambahan waktu jika dihitung dengan kalender qamariyah (bulan).
Menurut catatan sejarah, Ashabul Kahfi memang hidup pada masa sebelum Nabi Isa dan sistem waktu yang umum dipakai pada masa itu, khususnya di wilayah Romawi Timur dan Byzantium adalah sistem kalender syamsiyah (seperti Julian calendar) yang berbasis pada revolusi bumi terhadap matahari: ±365,25 hari per tahun.
Dengan perhitungan astronomi modern 1 tahun Masehi (syamsiyah) = 365,25 hari. Sementara 1 tahun qamariyah = 354,36 hari, dan selisih per tahun = 10,89 hari, maka dalam 300 tahun Masehi: 300 × 10,89 hari = 3.267 hari. Artinya 3.267 hari ÷ 354,36 = ± 9,22 tahun qamariyah, maka 300 tahun Masehi (syamsiyah) = 309 tahun qamariyah. Perbedaan ini secara presisi telah dikonfirmasi secara ilmiah oleh ayat Qur’an, sekaligus menjadi validasi astronomis terhadap akurasi ilahiyyah dalam Al-Qur’an.
Dalam tafsir-tafsir klasik dan kontemporer juga banyak yang menegaskan bahwa ayat ini juga berfungsi sebagai “tamhid” (pembuka jalan) bagi sistem kalender yang akan digunakan umat Islam. Allah tidak menyebut waktu itu langsung dengan frasa “309 tahun” karena ingin mengisyaratkan bahwa Ashabul Kahfi hidup di masa penanggalan masehi yang berbasis syamsiyah. Bahwa Al-Qur’an juga ingin mengarahkan pembaca agar memahami selisih jika dihitung secara qamariyah. Dan juga bahwa penanggalan Islam kelak akan berbasis bulan (qomariyyah), bukan matahari (syamsyiyah).
Al-Qur’an dalam surat Kahfi: 25 secara halus ingin menunjukkan bahwa sistem waktu Islam menggunakan qamariyah yang setiap tahunnya lebih pendek sekitar 10–11 hari dari kalender syamsiyah. Maka, 300 tahun syamsiyah setara dengan sekitar 309 tahun qamariyah yang mana dalam Al-Qur’an disebutkan 300 ditambah 9.
Kisah Ashabul Kahfi ternyata bukan hanya sekedar cerita spiritual dan keajaiban iman. Ia juga menyimpan isyarat ilmiah tentang sistem waktu, dan menjadi argumentasi linguistik serta astronomis terhadap validitas kalender qamariyah, perbedaan dengan kalender masehi, penetapan jumlah hari dalam bulan Islam, dan peran bulan dalam struktur ibadah umat Islam.
Dengan demikian, jumlah hari dalam satu tahun Hijriyah adalah 354 atau 355 hari, dimana jumlah bulannya terdiri dari dua belas bulan sebagaimana disebut dalam QS. At-Taubah: 36.
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Kemduian diskusi-musyawarah para sahabat berlanjut dengan pertanyaan berapa banyak jumlah hari dalam 1 bulan kalender Islam?. Mereka tidak mengikuti hitungan sebagaimana penanggalan masehi yang memiliki jumlah hari antara 30 atau 31, maupun 28 atau 29 khusus di Februari dalam tahun kabisat. Setelah kajian ilmiah para sahabat dalam memahami petunjuk dari Al-Qur’an untuk mengacu pada siklus bulan (moon based), maka mereka menetapkan bahwa dalam kalender Islam terdapat 29 atau 30 hari selama 1 bulan. Argumentasi mereka diperkuat dengan petunjuk sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih tentang sabda Rasulullah ﷺ
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
”Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalang (melihatnya), maka sempurnakanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh.” (HR. Bukhari dan Muslim).
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ، فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
"Bulan itu adalah 29 hari. Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Jika tertutup atas kalian, maka genapkanlah menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari).
Kedua hadits ini memberikan penguatan pada perhitugan jumlah tanggal dalam 1 bulan kalender Islam adalah 29 atau 30. Perintah dalam hadits ini lebih dari sekadar praktik ibadah, namun juga memberikan isyaroh ilmiah tentang bagaimana sistem penanggalan dalam Islam.
Secara perhitungan matematis, penetapan bulan sebagai dasar kalender Islam memiliki akurasi yang tinggi. Siklus sinodis bulan (bulan baru ke bulan baru) adalah sekitar 29,53 hari. Oleh karena itu, satu bulan Islam bisa 29 hari (ketika hilal tidak tampak dan bulan lebih cepat mengelilingi bumi), dan juga bisa 30 hari (ketika bulan membutuhkan waktu lebih panjang dalam revolusinya).
Saking hebat dan cerdasnya para sahabat Nabi, petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi dapat dipahami dengan baik dalam musyawarah pembentukan kalender hijriyah sebagai penanggalan resmi dalam Islam.
Dengan demikian, penetapan bahwa satu bulan Islam terdiri dari 29 atau 30 hari dan perhitungan kalender Islam berdasarkan acuan bulan (qomariyyah) dimana bulannya dimulai dari bulan Muharrom dan berakhir pada bulan Dzulhijjah adalah hasil perpaduan epik antara isyarat kebahasaan Al-Qur’an dan Hadits dalam kajian ilmiah-historis, serta observasi astronomis.
Penutup: Merawat Warisan, Menyambut Masa Depan
Kalender Hijriyah adalah hasil ijtihad peradaban yang menggabungkan wahyu, hadits Nabi, musyawarah, dan kebutuhan umat. Ia menjadi simbol jati diri Islam. Penanggalan Hijriyah dalam Islam sangat erat kaitannya dengan ibadah, seperti perhitungan ilmu hisab untuk penentuan awal ramadhan dan hari raya, penetapan waktu haji (Dzulhijjah), perhitungan iddah perempuan, perhitungan haid, perhitungan haul zakat serta pelbagai macam dasar perhitungan dalam fiqih Islam.
Semua ini bergantung pada perhitungan bulan hijriyah, bukan masehi. Maka sistem penanggalan Islam bukan hanya administratif, tapi juga mengandung nilai ibadaniah dan hukmiah. Dengan memahami sejarah dan dasarnya, kita semakin dapat menghargai warisan peradaban Islam dan mengambil hikmah dari cara Al-Qur’an yang luar biasa dalam mengisyaratkan perbedaan sistem waktu dengan bijaksana dan ilmiah.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita tidak hanya menjaga dan merawat warisan ini sebagai peninggalan sejarah, tetapi juga menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk kebanggaan dan komitmen terhadap identitas keislaman kita.
Begitu pula, suda seyogyanya bagi kita sebagai seorang Muslim dalam mengenal bulan-bulan hijriyah mulai dari Muharrom, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dst hingga Dzulhijjah dapat lebih menghafal dan lebih bangga dari pada sekedar menghafal Januari, Februari, Maret, hingga Desember. Dengan semangat tahun baru hijriyah, mari kita songsong masa depan yang cerah. Yakni masa di mana nilai-nilai Islam tetap menjadi pedoman utama, dan warisan intelektual seperti kalender Hijriyah akan terus memberi arah dalam membangun peradaban yang berkeadilan, berilmu, dan berakhlak mulia.