Pesantren Hari Ini, Seperti Kata Gus Dur

Rabu, 22 Okt 2025, 15:51 WIB
Pesantren Hari Ini, Seperti Kata Gus Dur
Gus Dur

Institusi pesantren hari ini, sebagaimana dipetakan oleh Gus Dur, harus dimaknai kembali bukan semata sebagai transmisi kitab kuning dan ritual spiritual atau arena politik kiai, melainkan sebagai pusat budaya keilmuan Islam yang mampu mengembangkan kerangka etika sosial dan kerangka kemasyarakatan. Jika lembaga itu gagal menyeimbangkan antara dimensi keilmuan-spiritual, budaya, dan sosial-kemasyarakatan, maka ia berisiko menjadi institusi pendidikan yang kehilangan makna bagi umat dan masyarakat luas.

Pesantren tetaplah menjadi laboratorium nilai sosial, moral, dan kebudayaan Islam yang disublimasikan menjadi cara hidup. Melalui berbagai tulisannya, Gus Dur menegaskan bahwa pesantren merupakan fondasi peradaban Islam Nusantara yang harus dipahami melalui nalar kultural yang melandasinya, bukan sekadar melalui struktur formal kelembagaannya. Setiap perubahan yang terjadi di pesantren selalu berkelindan dengan dinamika sosial masyarakat di sekitarnya. Refleksi-refleksi Gus Dur menghadirkan perspektif baru tentang posisi pesantren dalam menghadapi modernitas, sekaligus mengajak pembaca untuk membaca ulang ideologi, karya tulis, dan narasi lisan yang lahir dari tradisi perjuangan santri. Maka, ihwal santri dengan kepesantrenannya, penelaahan kritis dan reflektif terhadap gagasan Gus Dur menjadi penting untuk memahami arah transformasi pesantren sebagai basis pembentukan kesadaran kultural dan keagamaan masyarakat Indonesia.

Dalam pembacaan Bruinessen (Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat), pesantren ditempatkan sebagai salah satu institusi paling kompleks dalam sejarah Islam di Nusantara. Kompleksitas tersebut memang didasari oleh jaringan sejarah dan sosial yang panjang, yang melibatkan relasi ulama Nusantara dan luar Nusantara, transmisi ilmu, serta adaptasi budaya ke-Islaman dalam konteks lokal. Mulanya, menurut pandangan Gus Dur, kitab kuning berfungsi sebagai fondasi intelektual, sedangkan tarekat menjadi napas spiritual yang menjaga keseimbangan batin. Pandangan ini memperlihatkan bahwa pesantren hidup sebagai organisme budaya yang terus bergerak seiring dinamika masyarakat. Maka, dua unsur tersebut berpadu membentuk struktur keislaman khas Indonesia, yang tumbuh dari pengalaman budaya dan bukan semata dari doktrin teologis.

Gus Dur mengurai posisi kitab kuning sebagai pusat pembentukan pengetahuan. Beliau memahami bahwa teks-teks klasik tidak berhenti pada fungsi pembelajaran, melainkan membuka jalan bagi proses penalaran dan penafsiran yang berlapis. Santri belajar menelusuri logika keagamaan sambil menumbuhkan kemampuan reflektif terhadap realitas. Kitab menjadi ruang perjumpaan antara akal dan iman, antara warisan pemikiran Islam dan persoalan hidup sehari-hari. Melalui proses itulah lahir tradisi intelektual yang menumbuhkan kesabaran berpikir dan keluasan pandang.

Kedalaman nalar yang tumbuh melalui kitab kuning berpadu dengan pengalaman batin yang terbangun lewat tarekat. Gus Dur menempatkan tarekat sebagai dimensi spiritual yang menjaga keseimbangan antara kecerdasan dan kebijaksanaan. Beliau melihat bahwa pendidikan pesantren memperoleh makna penuh ketika pengetahuan bertemu dengan pengendalian diri. Laku dzikir, wirid, dan adab kepada guru menjadi latihan batin yang menumbuhkan kehalusan rasa. Dari sinilah lahir karakter santri yang tidak hanya terlatih dalam berpikir, tetapi juga berkepribadian teduh, sabar, dan mampu menempatkan ilmu dalam kerangka pengabdian. Gagasan Gus Dur sebagaimana pemikiran Bruinessen memunculkan dorongan kepada masyarakat agar kajian tentang pesantren berfokus pada penelusuran yang lebih mendalam terhadap struktur nilai yang menjadi dasar kehidupannya.

Menyoal kedalaman makna pesantren beserta tantangan dan implikasi pemikirannya, Gus Dur mengawali analisisnya dengan menunjukkan kecenderungan pandangan yang menempatkan pesantren hanya dalam dua kerangka utama, yakni pesantren sebagai institusi pendidikan atau sebatas entitas politik. Beliau menyoroti bagaimana figur kiai berperan sebagai penghubung antara otoritas keagamaan dan struktur kekuasaan, yang sering kali menjadikan pesantren bagian dari konfigurasi sosial-politik yang kompleks. Dari titik ini, Gus Dur mengalihkan fokus analisisnya menuju dimensi budaya yang ia anggap lebih fundamental, sebab di sanalah pesantren menemukan daya hidupnya sebagai ruang pembentukan nilai, tradisi, dan kesadaran sosial yang melampaui sekadar fungsi kelembagaan atau kepentingan politik.

Budaya pesantren menurut Gus Dur meliputi cara hidup, pola relasi sosial, struktur institusional, bahkan arsitektur dan simbol-kultural yang tertanam dalam keberadaan pondok. Beliau menulis permisalannya dari studi Hiroko Horikoshi, seorang antropolog muslim Jepang yang meneliti Pesantren Cipari-Garut untuk menegaskan bahwa para kiai bukan sekadar “makelar budaya” dalam pengertian Clifford Geertz, yang pasif menampung budaya baru, melainkan agen aktif pembaharuan budaya. Di dalam analisis Horikoshi, kiai memilih elemen budaya yang diadaptasi atau ditolak oleh komunitas pesantren, dan arsitektur pesantren mencerminkan simbol-kultural yang menghubungkan kehidupan sehari-hari santri dengan makna spiritual dan moral. Gus Dur menyoroti bahwa hal ini menegaskan fungsi budaya pesantren sebagai mekanisme internalisasi nilai dan tidak melulu soal pengajaran formal.

Gus Dur memberi perhatian khusus pada risiko ketika pesantren kehilangan fokus pada fungsi budaya. Beliau menyatakan bahwa ketika fungsi budaya pesantren tergerus oleh politik atau orientasi materialistik, maka pastilah “hak hidup” pesantren akan terancam. Pernyataan ini membuka kerangka kritis untuk menelaah bagaimana modernisasi dan politisasi institusi pesantren dapat mengubah peran kultural mereka. Menurut Gus Dur, kekuatan pesantren justru terletak dalam kemampuannya memelihara warisan budaya keilmuan, etika, dan kebersamaan—fungsi-fungsi yang bersifat jangka panjang dan mendalam, bukan cepat diukur melalui indikator administratif pula.

Dari segi metodologi pemikiran, gagasan Gus Dur mengundang penelitian yang memfokuskan “budaya pesantren” sebagai objek analisis. Beliau selalu menyematkan pesan kepada khalayak untuk merekomendasikan agar kita memahami pesantren lewat praktik sehari-hari, mulai dari bagaimana bangunan pondok diatur, bagaimana santri dan kiai berinteraksi, sampai bagaimana tradisi ritual dan sosial berlangsung. Contoh arsitektur Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang yang disusun oleh KH M Bisri Syansuri dijadikan ilustrasi, pondok dengan masjid di tengah, kamar santri di selatan, yang secara keseluruhan menunjukkan simbolisme perjalanan spiritual santri yang disebut salikun menuju kesempurnaan pandangan (washil) yang dimiliki kiai. Hal semacam ini menandai bahwa orientasi budaya pesantren mengandung dimensi ruang dan simbol yang penting dalam pembentukan subjek keagamaan.

Beralih pada metode dakwah sebagai unsur pokok dalam tradisi pesantren, Gus Dur memandang dakwah sebagai aktivitas yang berpadu dengan kehidupan sosial masyarakat. Dakwah hadir tidak semata sebagai penyampaian ajaran agama, melainkan sebagai proses pembentukan kesadaran bersama dan tanggung jawab sosial yang berkelanjutan. Di dalamnya terkandung dimensi pengetahuan, perasaan, dan tindakan yang menyatu dengan pengalaman hidup umat. Pemikiran tersebut menjadikan dakwah sebagai ruang perjumpaan antara nilai agama dan realitas sosial, tempat ajaran Islam beradaptasi dengan konteks budaya setempat. Hendaknya, melalui humanisasi dakwah menjelma sarana penyadaran yang menyentuh persoalan konkret seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan keterpinggiran.

Dakwah diorientasikan pada penguatan peran sosial pesantren dan lembaga keagamaan agar lebih terlibat dalam pembangunan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, serta penguatan dialog lintas iman. Melalui gerak semacam ini, dakwah menjadi proses pembebasan yang menumbuhkan kemandirian berpikir dan kepekaan terhadap keadilan. Sintesis antara nilai spiritual dan tanggung jawab sosial yang dirumuskan Gus Dur memperlihatkan bagaimana dakwah dapat berfungsi sebagai kekuatan moral yang mempersatukan keberagaman, memperluas kesadaran kebangsaan, dan menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang berkeadilan.

Salah satu esai Gus Dur yang menurut saya menarik diulas adalah tulisan beliau yang berjudul Santri Tanpa Shalat. Esai ini menampilkan refleksi mendalam yang ditujukan kepada masyarakat santri melalui kisah perjumpaannya dengan seorang tokoh lokal, sebut saja “mbah X”. Tokoh tersebut pernah menempuh pendidikan di pesantren ternama, namun dalam perjalanan hidupnya memilih untuk tidak melaksanakan salat. Fenomena ini menghadirkan paradoks, bahwa seseorang yang memiliki kontribusi sosial, moral, dan spiritual signifikan dalam lingkungan pesantren dan masyarakat, tetapi dianggap tidak memenuhi standar keberagamaan yang umum diterima. Melalui kisah ini, Gus Dur menegaskan perlunya meninjau ulang paradigma keberagamaan yang hanya menitikberatkan pada ritual formal. beliau mengajukan pertanyaan reflektif mengenai batasan identitas kesantrian—apakah ketaatan ritual menjadi ukuran tunggal, ataukah terdapat dimensi lain yang tersembunyi dalam praktik sosial dan pengabdian sehari-hari.

Dalam penafsiran Gus Dur, kisah mengenai mbah X menghadirkan dua lapisan pemaknaan yang saling berkaitan. Lapisan pertama bersifat sosial, dengan menampakkan bagaimana mbah X tetap aktif berpartisipasi dalam kehidupan komunitas misal membangun langgar, menghadiri peringatan maulid, serta menjaga hubungan persaudaraan dengan para santri dan masyarakat sekitarnya. Kehadirannya menggambarkan bahwa keterlibatan sosial dan kontribusi terhadap kemaslahatan bersama merupakan unsur esensial dari kehidupan pesantren. Lapisan kedua bersifat etik-spiritual, memperlihatkan bahwa meskipun praktik ritual utama seperti salat tidak dijalankan, nilai-nilai etis seperti kejujuran, pengabdian, dan kesadaran sosial tetap terwujud dalam perilaku sehari-hari. Melalui pembacaan ini, Gus Dur menegaskan bahwa spiritualitas dan moralitas tidak hanya tumbuh dari ketaatan ritual yang terukur, melainkan dari praksis kemanusiaan yang berakar pada kepedulian dan tanggung jawab sosial.

Penafsiran Gus Dur terhadap kisah tersebut mengandung kritik mendasar terhadap paradigma pendidikan pesantren yang cenderung menitikberatkan aspek ritual dan disiplin formal tanpa mengelaborasi makna sosial serta etis di baliknya. Beliau memperlihatkan bahwa ketika pesantren terjebak dalam rutinitas ritual semata, potensi transformasi sosial dan moral yang seharusnya menjadi ruh pendidikan pesantren justru mengalami stagnasi. Melalui pembacaan “santri tanpa salat”, Gus Dur mengungkap bahwa keberagamaan yang hanya diukur berdasarkan praktik ritual dapat kehilangan kedalaman maknanya, sebab manusia pada hakikatnya merupakan makhluk relasional yang hidup dalam jaringan tanggung jawab, penderitaan, dan harapan bersama. Maka, di dalam kerangka demikian, pesantren seharusnya menumbuhkan paradigma pendidikan yang menyatukan dimensi ritual, intelektual, dan etika sosial sebagai satu kesatuan pengalaman spiritual dan kemanusiaan.

Dari sisi metodologis, gagasan Gus Dur juga membuka arah baru bagi penelitian pesantren yang selama ini cenderung bersifat kuantitatif dan normatif. Pendekatan yang hanya menilai capaian ritual—seperti ketepatan waktu salat atau kemampuan hafalan kitab—tidak memadai untuk memahami kedalaman nilai yang hidup di dalam komunitas pesantren. Gus Dur mengajak peneliti untuk menelusuri bagaimana nilai-nilai pesantren bekerja dalam ranah praksis, baik dalam solidaritas sosial, kepedulian terhadap sesama, maupun tindakan yang berlangsung tanpa perlu legitimasi publik. Kisah ini dapat dikatakan menjadi titik ekstrem yang menggugah kesadaran penelitian, sehingga memunculkan pertanyaan tentang dasar pengakuan komunitas. Apa yang menjadikan seseorang tetap diakui sebagai bagian dari pesantren meski melanggar norma ritual? Jawaban yang mungkin ditemukan terletak pada keutuhan nilai—kejujuran, pengabdian, serta komitmen terhadap kemaslahatan bersama—yang menjadi inti dari tradisi pesantren menurut pandangan Gus Dur.

Pada akhirnya, catatan reflektif ini berakar pada pemikiran Gus Dur, seorang ulama dan cendekiawan muslim yang menghadirkan pandangan kritis terhadap cara masyarakat memahami pesantren dan tradisi keagamaannya. Agaknya pula, kita dapat menempatkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, juga sebagai ruang kultural yang menampung dinamika sosial, etika, dan spiritual umat. Melalui berbagai pandangan tersebut, Gus Dur mengajak pembaca untuk memahami pesantren sebagai ekosistem nilai yang hidup, ketika pendidikan berjalan selaku transmisi ilmu agama, juga meluas menjadi proses pembentukan kesadaran kemanusiaan. Keseluruhan refleksi ini memperlihatkan bahwa bagi Gus Dur, keberagamaan yang autentik lahir dari keseimbangan antara pengetahuan, penghayatan spiritual, dan tanggung jawab sosial. Pesantren, dengan demikian, berperan sebagai wahana transformasi manusia—tempat ilmu, iman, dan amal saling berkelindan dalam membangun tatanan moral masyarakat. Selamat Hari Santri 2025, selamat menjadi insan berkebudayaan. Wallahu a'lam

 


Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan