Ekoteologi Pesantren Sederhana

Kamis, 10 Jul 2025, 16:35 WIB
Ekoteologi Pesantren Sederhana
Pesantren Menjadi Tempat Harmoni antara Ibadah, Ruang, dan Makhluk

 

Setiap zaman melahirkan keresahannya sendiri. Ada masa ketika manusia gelisah pada ketertinggalan ilmu, lalu ia memuja akal, mengelu-elukan kekuatan kosmos. Ada pula masa ketika kekuasaan menjadi poros, maka lahirlah doktrin-doktrin besar yang menaklukkan dunia. Kini, kita hidup dalam abad ketika bumi mulai menua dan kelelahan itu terasa. Di udara yang tak lagi bersih, di tanah yang kehilangan hara, di air yang lambat mengalir, kita mendengar desah panjang peradaban yang terlalu lama menolak diam.

Di dalam kebisingan dunia hari ini penuh konferensi iklim, jargon hijau, dan teknologi penyelemat lingkungan. Ada suara lain yang jarang diperhatikan, yakni suara dari tempat sunyi, dari lembaga-lembaga tua yang tak tercatat dalam laporan pembangunan. Di sana, di sebuah pesantren kecil di pinggiran desa, orang-orang masih menimba air dengan tangan, menyalakan lampu secukupnya, dan membaca kehidupan tanpa tergesa. Tidak ada spanduk “selamatkan bumi” di dindingnya. Tidak ada seminar lingkungan. Tapi ada cara hidup yang nyaris tak berubah selama puluhan tahun—dan barangkali, di situlah tersimpan sesuatu yang tak kita duga.

Kesederhanaan selalu mudah disalahpahami. Ia dianggap keterbatasan, kelambanan, bahkan kemunduran. Padahal mungkin justru di sanalah tersimpan sebuah nalar lain, yakni nalar yang tak ditulis dalam buku-buku kiat menaklukkan keseharian, tapi hidup dalam rutinitas adanya, menyapu halaman di pagi hari, makan dari hasil kebun sendiri, dan berdoa sebelum menyalakan api. Apa yang tampak kecil, kadang menyimpan ukuran yang berbeda. Apa yang dianggap tradisional, sering kali tak kalah visioner, hanya saja diam. Walhasil, mungkin dalam diam itulah, kita bisa mulai mendengar ulang pertanyaan yang sudah lama kita jawab terlalu cepat bahwa bagaimana seharusnya manusia hidup di bumi?

Zaman tidak selalu meninggalkan jejaknya dalam bentuk catatan. Ada banyak hal yang justru bertahan karena diturunkan dari kebiasaan, bukan karena dituliskan. Di desa-desa yang tak masuk peta pembangunan nasional, pesantren tumbuh tanpa nama besar, tumbuh tanpa mukjizat yang fantastis, tapi menyimpan kekayaan tata hidup yang jarang disentuh. Kita kerap lupa bahwa sebelum Islam menjadi mata pelajaran, ia adalah cara tinggal. Ia hadir dalam bagaimana manusia duduk di bumi, menakar secukupnya, memberi jarak terhadap apa yang berlebihan, dan menyambut alam bukan sebagai objek, melainkan sebagai sesama ciptaan.

Pesantren-pesantren awal di Nusantara, terutama yang tumbuh sejak abad ke-17 di wilayah Jawa dan Sumatra merupakan ruang tinggal yang menyatukan manusia dengan lingkungan sosial dan ekologisnya. Ketika para pelaut Gujarat, Hadramaut, dan pesisir Malaka menyebarkan Islam lewat dagang dan budaya, mereka datang dengan tradisi sufistik yang halus, yang menghormati bumi sebagaimana mereka menghormati waktu. Tidak mengherankan jika banyak pesantren awal berdiri di kaki gunung, di pinggir sawah, atau dekat sungai. Penempatan geografis itu merupakan konklusi penting bagi kita sebagai ruang kontemplasi bahwa ada bagian dari nalar kosmologis yang melihat alam sebagai tempat bersujud.

Apa yang disebut cara bersujud itu bukan sekadar sikap tubuh kita menunduk lemah maupun menutup pandang, melainkan pemahaman kosmologis yang menyerap ke dalam ruang hidup. Ia mewujud dalam bagaimana lantai dipijak, bagaimana waktu dihargai, dan bagaimana benda-benda kecil diberi tempat. Di banyak pesantren lama, pohon sawo dibiarkan tumbuh di tengah pelataran. Ia tidak ditebang karena dianggap bagian dari keseimbangan halaman, bahkan menjadi tempat santri menyandarkan punggung saat menghafal kitab. Kebun di sudut dapur dirawat tanpa banyak bicara, dan air hujan ditadah dalam gentong, bukan karena hemat, melainkan karena dihargai sebagai limpahan berkah.

Praktik-praktik semacam ini masuk dalam wailayah yang oleh pemikir Muslim kontemporer Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai warisan metafisika tradisional. Menurut pandangan beliau, modernitas telah mengaburkan pandangan sakral terhadap alam, memisahkan antara yang rohani dan yang material, sehingga hubungan manusia dengan bumi menjadi relasi fungsional—tanpa rasa takzim. Melalui karya-karyanya seperti The Encounter of Man and Nature (1968), Nasr menegaskan bahwa spiritualitas Islam sejak awal telah menyematkan makna pada semesta, bahwa setiap makhluk hidup menyimpan jejak Ilahi, dan setiap bentuk adalah pantulan Wujud (the reflection of existence).

Apa yang dijabarkan oleh Nasr dalam bingkai metafisika Islam tradisional sesungguhnya telah lama menjelma dalam kehidupan para kiai sepuh di pesantren-pesantren kecil, jauh sebelum istilah "ekologi" masuk ke ruang-ruang diskusi. Mereka tidak berbicara soal kelestarian, tidak menulis tentang lingkungan, namun memahami—dalam tubuh dan waktu—bagaimana semesta mesti diperlakukan. Ajaran itu menyusup dalam laku sehari-hari yang tampak biasa, namun sarat pertimbangan batin. Di lingkungan pesantren, kepekaan terhadap dunia sekitar hadir dalam isyarat yang halus, bahwa air yang dituang pelan, seolah ada yang dijaga dalam setiap tetesnya; langkah kaki menyesuaikan diri dengan tanah yang basah, bukan sekadar lewat begitu saja; dedaunan yang jatuh tidak buru-buru disingkirkan, melainkan dibiarkan rampung pada waktunya. Bahkan sisa nasi dari nampan para santri pun dialihkan kepada unggas di pekarangan belakang, seolah tak ada yang sungguh-sungguh layak disebut sisa. Setiap benda ditemui dengan rasa, setiap ruang diakrabi dengan kesadaran. Tidak ada yang tergesa, karena segala sesuatu dianggap punya waktunya sendiri untuk selesai.

Di dalam kerangka teologi Islam, sikap semacam itu merujuk pada prinsip mizan dan amanah (the principle of cosmic balance and the trust man’s role as vicegerent). Dalam Surah Ar-Rahman, mizan disebut sebagai hukum yang mengatur semesta, tidak mendominasi kehidupan, justru menjaga keseimbangan yang sudah tersedia. Adapun Amānah menyematkan tanggung jawab eksistensial kepada manusia sebagai penjaga sekaligus perawat, yang melibatkan kepekaan dan kehati-hatian dalam menjaga keberlanjutan hidup.

Nilai-nilai ini merupakan formalisasi kurikulum etos yang hidup dalam pesantren secara turun-temurun. Kitab-kitab kuning yang dibaca berulang, seperti Ihya’ Ulum al-Din, Bidayatul Hidayah, dan Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim, tidak membahas lingkungan secara spesifik. Prinsip-prinsip hikmah yang diajarkan di dalamnya menyemaikan laku hidup yang bersih, tertib, dan penuh rasa cukup. Di dalam pesantren, etika mengatur segalanya, bahkan dalam hal sekecil apapun itu. Walhasil, dari kebiasaan-kebiasaan kecil itulah tumbuh satu pandangan tentang dunia yang menyeluruh, yakni pandangan yang tidak memisah-misahkan antara ibadah, ruang, dan makhluk.

Sejarah pesantren sederhana tidak dapat dilepaskan dari arus besar peradaban Islam yang menelusuri jalur perdagangan laut, menjalin simpul-simpul budaya di sepanjang pesisir Samudra Hindia. Di pelabuhan-pelabuhan kecil—Aceh, Barus, Gresik, Banten, hingga Ternate—agama menyusup bersama rempah dan bahasa, lalu menetap dalam bentuk surau, langgar, dan padepokan. Para penyebarnya datang selain melakukan ekspedisi kekuasaan, mereka menaggalkan status keduniawiannya sebagai pejalan ruhani yang membawa cara hidup yang akrab dengan tanah, angin, dan air. Mereka tinggal, bercocok tanam, menganyam makna dalam perjumpaan harian bersama warga setempat, dan mengajarkan agama lewat cara bertani, cara memberi, cara mendengar. Jejak inilah yang—meski perlahan memudar—masih terasa di pesantren-pesantren sederhana. Di tempat yang masih menggantungkan pakaian dengan matahari, masih menanak nasi dengan kayu, dan masih menjadikan tanah sebagai tempat tidur dan sajadah, warisan ekoteologis itu terus bernapas.

ekologi  ekoteologi  gading pesantren  harmoni kehidupan  Pondok Gading 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan