Dua Nasehat KH. Lutfil Hakim Saat Haul Syekh Abdul Qodir Al-Jilani dan Dua Kisah dalam Menyikapi Polemik Nasab Ba’alawi

Kamis, 31 Okt 2024, 19:37 WIB
Dua Nasehat KH. Lutfil Hakim Saat Haul Syekh Abdul Qodir Al-Jilani dan Dua Kisah dalam Menyikapi Polemik Nasab Ba’alawi
KH. Lutfil Hakim bin KH. Abdul Adhim Aminulloh Yahya

Pada acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW & Haul dan Manaqib Kubro Syeikh Abdul Qodir Al-Jilani RA (27/10), KH. Lutfil Hakim bin KH Abdul ‘Adhim Aminulloh Yahya memberikan sambutan mewakili selaku sohibul bait keluarga besar Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading menggantikan KH. M. Baidlowi Muslich. Selepas menyampaikan terimakasih atas kehadiran jamaah dan muhibbin juga permohonan maaf bila terdapat kekurangan dalam menggelar acara, KH. Lutfil Hakim turut memberikan mauidhah hasanah singkat yang mendalam.

Ada dua nasehat pokok yang disampaikan oleh KH. Lutfil Hakim. Pertama mengenai pentingnya berbahagia ketika mendapat anugerah dan rahmat Allah SWT. Kedua tentang pengambilan sikap dalam polemik nasab Ba’alawi yang kini sedang santer diperbincangkan khalayak luas.

Mula-mula KH. Lutfil Hakim menukil Quran Surat Yunus ayat 58 yakni:

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Arab-Latin: Qul bifaḍlillāhi wa biraḥmatihī fa biżālika falyafraḥụ, huwa khairum mimmā yajma'ụn

Artinya: Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

“Pagi ini kita harus berbahagia karena kelahiran nabi dan karena memperingati maulid nabi. Tentu tidak cukup sampai di situ saja, bahagiakan pula nabi dan anak cucunya. Jangan membenci nabi dengan cara membenci anak cucu nabi sebab mana ada kakek yang rela bila anak cucunya dibenci dan disakiti?” tutur beliau.

Usai menguraikan QS. Yunus ayat 58, KH. Lutfil Hakim lantas menukil sepotong kisah yang pernah dituturkan oleh Habib Umar bin Hafidz, Yaman. Pada suatu kesempatan, Habib Umar bin Hafidz mengisahkan seorang ustad yang bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Nahas, dalam mimpi tersebut Si Ustad dipukul oleh nabi. Tatkala terbangun, Si Ustad menjadi sangat risau lalu memutuskan untuk sowan ke seorang syekh guna menceritakan mimpinya. Mendapati kisah Si Ustad, Sang Syekh lantas bertanya apakah Si Ustad memiliki murid yang anak cucunya nabi? Benar saja, dengan berat hati, Si Ustad membuat pengakuan bahwa ia telah memukul salah satu muridnya karena sangat susah memahami pelajaran. Malangnya, murid itu adalah cucu nabi. Mendengar pengakuan itu, Sang Syekh spontan berujar “Itulah penyebabnya. Bila cucunya dipukul, tentu Sang Kakek tak rela. Tentu Sang Kakek marah”.

Tak cukup dengan satu kisah, KH. Lutfil Hakim menyambung dengan cerita serupa namun kali ini berasal dari khazanah kisah teladan Ulama Nusantara.

“Kyai Hasan Saifur Rijal” ujar KH. Lutfil Hakim “adalah Pengasuh Pondok Pesantren Genggong, Probolinggo yang dikenal sebagai ulama kharismatik dan sangat mencintai Kitab Hikam yang disusun oleh Syekh Ibnu Athoillah As-Sakandari. Beliau memiliki keistimewaan yaitu setiap malam bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Suatu waktu, Kyai Hasan kerawuhan habib muda yang sedang mabuk. Sontak Kyai Hasan sangat marah lalu berujar “Sampean iki putune nabi kok mendem. Ojo ngunu Bib! Nggak ilok (Anda ini cucunya nabi kok mabuk. Jangan begitu Bib! Tak patut)” Tak disangka, usai kejadian itu Kyai Hasan tak lagi bermimpi bertemu nabi. Tentu saja beliau menjadi sangat gelisah dan memutuskan sowan pada Kyai Hamid, Pasuruan. Tatkala Kyai Hasan menghadap Kyai Hamid, belum sampai bibir beliau melepas satu kata pun, Kyai Hamid langsung bertutur “Kalau hati cucunya disakiti, kakeknya juga sakit”

“Jadi bahagiakanlah nabi dengan membahagiakan anak cucunya. Jangan sebaliknya!” pesan KH. Lutfil Hakim. Lebih lanjut, beliau lantas mengutip sebait kasidah yang termaktub dalam Kitab Maulid Ad-Diba’i yakni:

أَهْلُ بَيْتِ الْمُصْطَفَى الطُّهُرِ ۰۞۰ هُمْ أَمَانُ الْأَرْضِ فَادَّكِرِ

Arab-Latin: Ahlu baitil Mushthofath-thuhuri, hum amanul ardhi faddakiri

Artinya: Ahli rumah (keturunan) nabi pilihan yang disucikan. Mereka itu pengaman bumi, maka ingatlah.

“Jelas bahwa ahlul bait adalah pengaman bumi. Kok sekarang ada yang menuduh bahwa habaib itu bukan ahlul bait nabi, sungguh saya tak rela” sambung KH. Lutfil Hakim dengan suara bergetar sebab menahan air mata.

Pada akhir sambutan, KH. Lutfil Hakim mengajak seluruh santri Pondok Miftahul Huda, Gading juga semua alumni, jamaah, dan muhibbin Pondok Gading agar mengikuti dawuh para sesepuh Pondok Gading yakni jangan sesekali berani kepada habaib. KH. Abdul ‘Adhim Aminulloh Yahya bernah berujar pada KH. Lutfil Hakim “aku ngga iso solat lek ngga ono habaib (aku tidak bisa (mengerti) salat andai tidak ada habaib)”.

Secara khusus, KH. Lutfil Hakim selaku mursyid Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah berpesan kepada hadirin mengenai pentingnya berselawat kepada Nabi Muhammad SAW guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau mengutip dawuh Syeikh Abdul Aziz Ali Al-Makki Al-Zamzami dalam Kitab Fathul Mubin fi Madhi Syafi’il Mudznibiin yakni

الصلاة على سيد السادات من أهم المهمات في جميع الأوقات لمن يريد القرب من رب الأرضين والسموات

Arab-Latin: Assolatu ala sayyidi sadaat min ahammil muhimmat fi jami’il auqot liman yuridul qurba min robbil aradina was samawat.

Artinya: Selawat kepada Sayyidi Sadaat (Nabi Muhammad SAW) sangat penting diamalkan setiap waktu bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada tuhan bumi dan langit (Allah SWT).

“Salah satu keinginan utama jamaah thoriqoh adalah dekat dengan Allah dan hal paling penting adalah membaca selawat setiap waktu. Tak heran bila kemudian wirid thoriqoh selalu diiringi dengan selawat” pungkas KH. Lutfil Hakim dalam mengakhiri sambutan beliau.

Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah  Syaikh Abdul Qodir al-Jilani  Santri Pesantren Gading Malang  Santri Gading  Pondok Pesantren Miftahul Huda  Pondok Pesantren Gading  Pondok Gading  Haul Syekh Abdul Qador Al-Jilani  Haul SAQ  Haul Pondok Gading 
Mochammad Syaifulloh

Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)

Bagikan