Kiai Abdurrochim Yahya merupakan pengasuh generasi keempat Pondok Pesantren Miftahul Huda, Gading, Malang. Beliau adalah putra keempat KH Muhammad Yahya. Kiai Rochim (sapaan akrab beliau) dilahirkan di Kota Malang, 17 Maret 1942 dan wafat pada 22 Januari 2011 M /18 Safar 1432 H. Digelari sebagai Singa Pondok Gading di antara para ulama, beliau disegani karena tegas dan memiliki pendirian yang teguh. Namun di balik itu, di kalangan para santri Kiai Rochim dianggap sebagai sosok yang penyayang dan pemikir yang bijaksana. Juga, beliau mampu membaur dan akrab dengan masyarakat.
Sekalipun lahir dan menjalani kehidupan di pusat Kota Malang, cara Kiai Rochim berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya tidak seperti orang yang hidup di tengah kota. Dalam lingkungan tetangga, Kiai Rochim dapat bertegur sapa dan berbincang dengan akrab. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang umumnya memiliki kesibukan di tempat kerja sehingga jarang berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Kiai Rochim juga dikenal selalu menghormati tamu layaknya saudara jauh sekalipun tamu-tamu datang dalam rangka konsultasi formal atau wali santri yang hendak mendaftarkan putranya untuk mondok. Kiai Rochim memiliki suara yang paling nyaring di antara adik-adiknya ketika berbicara. Namun hal itu tidak lantas membuat Kiai Rochim terdengar lantang. Pemilihan kata yang baik dan nada bicara yang hangat justru membuat orang yang diajak merasa diakrabi.
Di mata masyarakat dan santri-santri, Kiai Rochim adalah seorang ulama bisa menempatkan diri dalam setiap situasi dan kondisi. Di satu sisi, beliau bisa seperti batu karang yang tidak dapat digoyahkan. Ketika aturan sudah mengatakan begitu, maka harus begitu, tidak bisa dinegosiasi dengan berbagai alasan. Tetapi di sisi lain, Kiai Rochim adalah sosok yang penyayang, yang mana peraturan di Pondok Pesantren Gading dibuat sedemikian rupa agar santri-santri bisa berkembang dengan baik.
Berdasarkan penuturan beberapa orang dekat beliau, KH. Abdurrochim menempuh pendidikan agama berpindah-pindah dari satu pondok ke pondok lainnya. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Maskumambang di Gresik, Ma’hadul Mustarsyidin di Sidoarjo, dan Pondok Pesantren Riyadhotul ‘Uqul yang diasuh KH. Miftahul Makno di Talun, Blitar. Kiai Makno adalah rekan muda dan sahabat dekat KH Muhammad Yahya semasa belajar di Pondok Pesantren Jampes, Kediri yang diasuh oleh KH Ihsan bin Dahlan. Selain mengasuh Pondok Pesantren Riyadhotul Uqul, Kiai Makno pernah aktif dalam organisasi Nahdhotul Ulama hingga menjadi Rais Syuriah MWC NU Talun, Blitar. Di antara guru-guru Kiai Rochim, Kiai Makno-lah yang di-murabbi-kan dan dianggap paling dekat dengan beliau.
Sewaktu muda, Kiai Rochim memiliki kegemaran berolahraga. Ketika berada dalam komunitas para pegiat olahraga, Kiai Rochim mampu membaur tanpa menunjukkan identitas latar belakangnya. Bahkan, waktu itu dalam komunitas tak ada seorangpun yang menyadari bahwa beliau adalah seorang putra Kiai. Hingga suatu saat Kiai Rochim berhenti dari kegiatan keolahragaannya, rekan-rekannya menanyakan dan mencari tahu kabar beliau. Barulah beberapa dari mereka sadar bahwa Kiai Rochim adalah penerus pengasuh Pondok Pesantren Gading.
Kiai Abdurrochim tidak seorang diri dalam berperan sebagai pengasuh generasi keempat Pondok Gading. Dalam perjuangannya, Kiai Abdurrochim ditemani kedua adik laki-laki beliau yakni KH Abdurrohman Yahya dan KH Ahmad Arif Yahya. Muara dari seluruh kebijakan dan pengambilan keputusan adalah Kiai Abdurrochim. Sedangkan Kiai Abdurrohman mempertimbangkan kebijakan dalam bidang kepesantrenan dan Kiai Ahmad Arif, sebagai adik yang paling lama menimba ilmu di beberapa Pondok Pesantren, mengasuh Madrasah Matholiul Huda. Di samping itu, kedua menantu Kiai Yahya yakni KH. Baidhowi Muslich dan KH. M. Shohibul Kahfi juga turut membantu Kiai Abdurrochim dalam mengasuh Pondok Gading. Kiai Baidhowi menyusun dan menjaga relasi antara Pondok Gading dengan lingkungan luar. Sedangkan Kiai Shohibul Kahfi memanajemen organisasi-organisasi internal Pondok Gading.
Hal yang benar-benar dipertahankan oleh Kiai Rochim dari Kiai Yahya dalam mengasuh Pondok Gading adalah dengan melakukan tugas kepengasuhan secara ikhlas. Pondok Gading tidak pernah memungut biaya yang terlalu besar dari santri-santrinya. Biaya yang dikenakan bisa jadi impas hanya untuk biaya listrik dan penerangan saja. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa Pondok Gading adalah lembaga pendidikan yang sama sekali nirlaba; tidak sedikitpun mengambil keuntungan berupa materi. Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading adalah murni lembaga pendidikan dan pembina jiwa, tanpa ada maksud untuk mencari keuntungan material dari sana.
Kebijakan seperti ini dapat diteruskan oleh Kiai Rochim karena tidak lepas dari kepiawaian beliau yang saat itu memiliki sumber penghasilan dari berwirausaha. Di samping memiliki sawah sendiri yang cukup luas, beliau juga menyewa tanah lagi untuk digarap. Selain itu Kiai Rochim berani mencoba bisnis-bisnis baru dan juga menanamkan modal kepada pengusaha-pengusaha. Salah satu contohnya adalah beliau pernah memiliki usaha produksi susu sapi. Beliau memelihara 20 ekor sapi di daerah Pujon yang perawatannya diserahkan kepada beberapa orang pekerja. Susu yang dihasilkan kemudian dijual ke koperasi.
Mempertahankan visi Kiai Yahya, Pondok Gading tidak pula mengajukan bantuan dalam bentuk apapun kepada pemerintah. “Mbangun apa-apa aja ngrépotna pemerintah,” pesan Kiai Yahya semasa hidupnya dulu. Saat itu sebagian besar masyarakat menganggap hal tersebut dilakukan karena beliau berhati-hati dan khawatir bantuan yang akan diterima adalah dana syubhat. Namun sebenarnya itu karena Kiai Yahya berpandangan bahwa pemerintah sudah mengurusi banyak hal lain. Saking tawadu’-nya beliau enggan meminta bantuan pemerintah. Dan juga menjaga keikhlasan dalam mengasuh Pondok Pesantren.
Selama mengasuh Pondok Gading, Kiai Abdurrochim mempertahankan sebagian besar nilai-nilai yang sebelumnya sudah ada sejak masa Kiai Yahya. Namun hal itu tidak berarti pendidikan di Pondok Gading kaku dan statis. Berbagai penyesuaian terus dibuat selama masa kepengasuhan Kiai Rochim 1971-2011; mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan politik yang juga terus berubah.
Kiai Abdurrochim mendidik santri-santrinya dengan disiplin dan tegas. Baik ketika dalam proses pembelajaran maupun ketika santri-santri mengerjakan pekerjaan untuk pondok, beliau selalu menuntut untuk selesai tepat waktu dan mengharapkan hasil yang baik. Beliau mengatakan kepada santri-santrinya adalah bahwa kehidupan di pondok adalah layaknya kehidupan di masyarakat, namun dalam lingkup lebih kecil. Santri-santri selalu dididik dengan disiplin yang ketat agar nantinya dalam masyarakat bisa menjadi orang yang berguna dan menjalankan peran dalam kehidupan dengan baik.
Kiai Abdurrochim mudah akrab dan mengenal santri-santrinya dengan baik. Beliau selalu mengingat nama-nama santri dan daerah asal mereka, sekalipun tidak secara langsung mengajar seluruh santri. Hanya sebagian santri Pondok Gading yang diajar langsung oleh Kiai Rochim. Namun, setiap ada santri-santrinya yang sowan ke Dalem, beliau selalu mengakrabi dengan menanyakan nama, daerah asal, dan kabar mereka. Karena itu, ketika ada seorang santri yang sudah lama tidak bertemu beliau sowan ke Dalem, beliau selalu menanyakan, “kok suwé mbotên sowan?”.
Di samping kebiasaan menghafal nama-nama santri dan asal daerahnya, ada alasan lain mengapa Kiai Rochim bisa begitu dekat dekat dengan santrinya, yakni karena kerap berkunjung silaturahmi ke rumah wali santri. Yang dilakukan Kiai Rochim ini tidak lain karena tanggung jawab beliau sebab diamanahi oleh wali santri untuk mendidik putra-putranya menjadi suri tauladan yang baik. Di sisi lain tindakan beliau ini adalah untuk menjaga hubungan baik antara guru dengan santrinya maupun wali santrinya.
Dalam suatu rentang waktu Kiai Rochim mengajak santri-santri yang tidak sekolah maupun di luar pondok untuk mengadakan pembelajaran tambahan kitab kuning di Dalem pada waktu dhuha. Dengan begitu santri-santri tetap dapat memiliki kegiatan positif sekalipun tidak melanjutkan pendidikan sekolah atau kuliah.
Kiai Rochim juga memperhatikan pendidikan santri di luar Pondok Pesantren. Ketika ada santri-santri yang memiliki masalah di sekolahnya, laporan-laporan selalu sampai kepada Kiai Rochim, entah itu masalah santri yang sering datang terlambat ke sekolah, bolos, atau telat melakukan pembayaran sekolah. Beliau kemudian sering mengutus pengurus-pengurus Pondok Gading untuk membantu santri-santri yang bermasalah tersebut untuk menyelesaikan masalah mereka. Bahkan saat itu sampai ada pengurus yang harus mendatangi sekolah-sekolah si santri untuk memberikan keterangan dan permintaan maaf, di samping mengingatkan kembali kepada santri-santri untuk tidak melupakan pendidikan di luar pondok di samping harus memenuhi kewajiban mereka di Pondok Gading.
Kiai Rochim peduli dan memperhatikan kondusifnya wilayah pendidikan di lingkungan sekitar Pondok Gading. Beliau mengharapkan setidaknya kampung Gading Kasri dan Klampok Kasri bisa menjadi lingkungan yang baik untuk pendidikan santri. Kerap kali KH. Abdurrochim berjalan-jalan mengelilingi kampung, mengamati keadaan masyarakat di kelurahan Gading Kasri dan Klampok Kasri.
Salah satu contohnya adalah ketika di kampung Kiai Rochim menemukan sekumpulan pemuda bermain kartu remi (gaplèk) di pos-pos di kampung, beliau kemudian menghubungi perangkat kelurahan yang berwenang untuk menertibkan. Adanya pemuda warga kampung yang menghabiskan waktu mereka untuk bermain remi berpotensi mengundang sebagian santri untuk turut bergabung. Hal seperti itu harus diantisipasi agar santri-santri tetap fokus kepada pendidikan mereka.
Di samping itu, Kiai Rochim mengantisipasi agar ajaran dan aliran-aliran selain Aswaja NU tidak masuk mempengaruhi lingkungan pondok. Sudah sejak lama aliran-aliran Islam yang cenderung ekstremis maupun liberal eksis dan berusaha menyebarkan pengaruh mereka di Indonesia. Adalah suatu hal yang tidak diinginkan seandainya ada sebagian dari aliran-aliran tersebut berhasil masuk ke Gadingkasri kemudian menyebarkan pengaruhnya dari dalam.
Ada terlalu banyak hal yang dapat dikisahkan dari figur KH Abdurrochim Yahya. Sama halnya ada terlalu banyak teladan yang telah Beliau ajarkan khususnya kepada santri Pondok Gading. Hari ini, 16 September 2023/1 Rabiul Awwal 1445 H bertepatan dengan peringatan haul KH Abdurrochim Yahya yang ke-13. Maka, mari sejenak mengirim doa untuk beliau, Alfatihah!
Tim redaksi website PPMH