Pada era setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat, doktrin-doktrin pokok hukum islam belum dirumuskan secara tertulis dan tersistematis, sehingga satu-satunya referensi tekstual hanyalah al-Quran dan Sunnah. Disusul kemudian fenomena perubahan dan pemalsuan Sunnah yang marak bahkan mendorong golongan ahli kalam seperti Mu’tazilah untuk mengambil sikap skeptis terhadap sunnah secara keseluruhan, terutama hadis-hadis ahad. Gencarnya serangan Mu’tazilah terhadap sunnah tersebut memotivasi Imam Syafii untuk menulis kitab al-Risalah. Karena itulah sang Imam dijuluki sebagai Penolong Sunnah (Nashirussunnah).
Diantara imam madzhab fiqh, Imam Syafi’i memiliki sebuah keistimewaan sebab beliau merupakan seorang Quraisy yang nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada Abdul Manaf. Ayah Imam Syafi’i, Idris, tinggal di tanah Hijaz. Garis keturunan beliau bersambung pada al-Muththalib bin Abdul Manaf. Apabila diperinci, nasab Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdul Manaf. Imam Syafi’i lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan Palestina dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan. Pada usia 2 tahun, Ibunda Imam Syafi’I hijrah dari Gaza menuju Mekah. Sejak saai itu pula Imam Syafi’I mulai bersentuhan dengan khazanah keilmuan islam.
Sejak kecil, kecerdasan Imam Syafi’i kecil telah menunjukkan kelebihan-kelebihan dalam menuntu ilmu. Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah mampu menghafal al-Qur’an. Tidak hanya itu, Imam Syafi’i kecil juga mempelajari sastra Arab dengan cara pergi ke kampung Bani Huzail yang masyhur dengan kehalusan bahasanya. Suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az-Zanji yang menyarankan agar Imam Syafi’i mempelajari ilmu fiqih. Inilah awal mula persinggungan Imam Syafi'I dengan fiqih. Beliau kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Sejarah mencatat bahwa pada usia 10 tahu,n Imam Syafi'I sudah hafal kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik dan 5 tahun kemudian beliau diijinkan oleh Sang Guru untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam Syafi'i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafi'i dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah. Imam Malik menaruh kekaguman pada Imam Syafi’i begitu mengetahui bahwa pemuda yang ingin menjadi muridnya itu telah hafal Al-Qur’an dan hafal kitab Al Muwatta’. Imam Syafi'i kemudian menjadi murid kesayangan Imam Malik dan tinggal seatap dengan Sang Guru. Imam Syafi’i juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada jamaah pengajian Imam Malik. Terbilang waktu setahun, Imam Syafi’i melanjutkan pengembaraan menuntut ilmu ke jantung penyebaran fiqih Imam Abu Hanifah, Irak. Di sana, Imam Syafi'i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (salah satu murid Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf.
Berkisar dua tahun bermukim di Irak dan menyusun pendapat-pendapat ihwal fiqih (qaul qadim), Imam Syafi'i lantas melanjutkan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, dan Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafi'i mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri-negeri Islam, akhirnya Imam Syafi'i kembali ke Madinah. Kedatangan Beliau disambut penuh haru oleh Sang Guru, Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi'i selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu mengajar sampai Sang Guru wafat pada tahun 179 H.
Imam Fakhruddin Ar-Razy dalam Manaqib al-Imam as-Syafi’i menyatakan bahwa Imam Syafi’i menikah pada usia mendekati 30 tahun. Beliau menikahi seorang perempuan mulia yang nasabnya bersambung pada Khalifah Utsman bin Affan. Dialah Hamdah binti Nafi’ bin Anbasah bin Amr bin Utsman bin Affan. Pernikahannya ini dilangsungkan setelah wafatnya Imam Malik bin Anas. Dari pernikahan Imam Syafi’i dan Hamdah binti Nafi, keduanya dikaruniai tiga orang anak, satu putra dan dua putri. Putra pertamanya bernama Abu Utsman Muhammad bin Muhammad bin Idris. Abu Utsman mewarisi kealiman sang ayah sehingga ia pernah diangkat menjadi hakim di Kota Halab (Aleppo) di Syam. Sedangkan putri kedua dan ketiga mereka bernama Fatimah dan Zainab. Selain berumah tangga dengan Hamdah binti Nafi’, Imam Syafi’i juga menikahi seorang budak perempuan. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Abu al-Hasan Muhammad bin Muhammad bin Idris as-Syafi’i.
Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi Gubernur Mesir oleh Kekhalifahan Abbasiyah. Gubernur baru tersebut lantas mengajak Imam Syafi'i ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya dan berguru dengan ulama wanita bernama Sayyidah Nafisah. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafi'i terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai beliau wafat pada malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H/809 M pada usia 52 tahun di Fusthat (Kota Tua Kairo), Mesir.
Sepeninggal Imam Syafi’i, murid-murid beliau dari berbagai penjuru secara berkelanjutan mensyiarkan metode penggalian hukum islam yang dicetuskan Sang Guru, yakni dengan merujuk pada al-Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas, dan Istidlal. Diantara murid-murid Imam Syafi’i adalah Al-Hasan Al-Sabah Al-Za’farani, Al-Husain bin Ali Al-Karabisi, Abu Tsur Al-Kalbi, Ahmad bin Muhammad Al-Asy’ari, Imam Ahmad bin Hanbal, Dawud bin Al-Zahiri, Abu Tsur Al-Bagdadi , Abu Ja’far At-Thabari, Ishaq bin Rohaweh (Ibnu Rohaweh), Abu Bakar Al-Humaidi, Imam Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al Muzani, Abdul Aziz bin Umar, Abu Ya’kub Yusub Ibnu Yahya Al-Buwaithi, dan Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi.
Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan ilmu Ushul Fiqih, melalui kitabnya kitab Ar-Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari al-Quran dan Hadis. Tidak hanya itu, Beliau juga menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men-tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan ke-hujjahan Ijma’, qiyas dsb. Terhadap madzah fiqih yang lain, Imam Syafi'i melakukan penilaian terhadap metode istihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah Imam Malik dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik. Beberapa kitab rujukan dalam bermadzhab yang disusun oleh Imam Syafi’i adalah Kitab Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih. Kitab Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih, Kitab Jami’ul Ilmi. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan. Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah. Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al Auza’y. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan. Kitab Musnad Imam Syafi'i berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi'i
Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)