Di dalam lanskap perdaban kontemporer, dunia menghadapi paradoks epistemologis yang sangat kompleks. Pemahaman dunia tidak lagi ditafsirkan melalui kerangka rasionalitas, melainkan bergeser dalam pusaran hiperrealitas, bahwa batas antara fakta dan non fakta kian menjadi kabur, kebenaran tereduksi menjadi sekadar konsensus algoritmik. Fenomena semacam ini menandai gejala epictemic disorientation, yakni keterasingan subjek terhadap perilaku maupun fondasi pengetahuan yang mutlak adanya. Di saat yang bersamaan, ironisnya, kemajuan teknologi informasi justru beriringan dengan kemunduran daya nalar publik. Hal ini menandakan adanya disfungsi struktural dalam kesadaran kolektif masyarakat.
Istilah Jahiliyyah Modern yang pada mulanya merupakan terminologi teologis kini mengalami perluasan makna menjadi suatu konsepsi sosiologis dan epistemologis yang merujuk pada zaman ketika informasi berlimpah, justru rasionalitas melemah dan daya pikir hanya sebatas sumpah serapah; ketika kebebasan berpikir dijunjung, namun logika dikorbankan atas nama afiliasi ideologis, tribalistik digital, dan ilusi kebenaran mayoritas.
Kekacauan logika publik yang ditandai oleh maraknya argumentasi sesat (logical fallacies), seperti ad hominem, straw man, dan false dilemma, telah menjadi bagian dari diskursus harian, baik di ruang digital maupun sosial.[1] Distorsi nalar publik ini diperparah oleh algoritma media sosial yang secara sistematis menciptakan ruang gema (echo chambers) dan ilusi konsensus. Akibatnya, pertukaran gagasan yang sehat tergantikan oleh polarisasi afektif yang menegasikan prinsip deliberatif dalam komunikasi rasional.
Tidak hanya itu, erosi rasionalitas tidak dapat dilepaskan dari krisis pendidikan kritis dan lemahnya literasi epistemik dalam masyarakat yang dalam hal ini dapat diasosiasikan sebagai trilogi kebodohan. Rasionalitas, sebagaimana ditegaskan oleh Immanuel Kant dalam proyek Aufklärung (pencerahan), merupakan syarat mutlak bagi kebebasan dan kemajuan.[2] Namun, di tengah gelombang post-truth dan relativisme ekstrem, rasionalitas justru direduksi menjadi preferensi subjektif yang rentan dimanipulasi oleh narasi dominan dan struktur kekuasaan simbolik.
Pemahaman ini tercermin melalui beragam fenomena yang beredar di ranah media digital sebagai representasi dari peristiwa-peristiwa aktual dalam realitas sosial. Salah satu teori psikologi kognitif yang menyatakan illusory truth effect menjelaskan bahwa pengulangan klaim—meskipun salah dapat meningkatkan persepsi kebenaran, dan bahkan menembus kendali kesadaran kritis seseorang.[3] Selain itu, prinsip belief perseverance menunjukkan bagaimana keyakinan dapat bertahan walau ditantang bukti kuat, seperti dalam peristiwa kultus dan kegagalan nubuat. Taktik denialisme—memilih dukun data secara selektif, mengandalkan ahli kekeliruan, atau teori konspirasi menunjukkan struktur yang berulang dalam distorsi nalar publik. Terlebih, pemahaman ini dikendalikan oleh jagad post-truth juga erat dikaitkan dengan beberapa mega-tren global. Hal ini dibuktikan dengan adanya penurunan modal sosial, ketimpangan ekonomi yang melebar, fragmentasi media, polarisasi politik, dan melemahnya kepercayaan terhadap ilmu serta lembaga publik.
Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, hingga X (sebelumnya Twitter) telah menjadi ruang ekspresi yang merefleksikan bagaimana pola pikir masyarakat digital mengalami polarisasi, baik melalui arus opini maupun diseminasi pengetahuan yang kerap bersifat normatif. Akun-akun komunitas yang berfokus pada bidang pengetahuan tertentu sering kali menyajikan isu-isu aktual melalui pendekatan tematik dan kontekstual, yang kemudian dikonsumsi publik maya sebagai bentuk informasi edukatif. Dalam hal ini, konten-konten tersebut dapat dilihat sebagai upaya penyajian data empiris, selaras dengan visi dan misi edukatif yang diusung oleh akun-akun tersebut.
Namun demikian, terdapat pula jenis akun media yang lebih menekankan penyajian meme, satire, atau hiburan ringan. Meskipun tampak sederhana, konten semacam ini sering kali berfungsi sebagai medium penggiringan opini atau sekadar menjadi refleksi spontan atas isu-isu kolektif yang tengah berkembang. Sayangnya, penyajian informasi dalam bentuk ini kerap tidak disertai dengan narasi penjelas yang memadai atau takarir kritis yang dapat membantu audiens memahami konteks secara mendalam, sehingga berisiko menimbulkan reduksi makna dan bias persepsi terhadap realitas yang ditampilkan.
Persoalan mendasar dari apa yang dapat disebut sebagai trilogi kebodohan—yakni kekacauan logika, distorsi nalar publik, dan erosi rasionalitas—dapat diklasifikasikan ke dalam dua konsentrasi utama, yaitu aktor sebagai pelaku produksi informasi dan masyarakat sebagai konsumen informasi. Sering kali, problematika ini berakar dari figur-figur publik yang memiliki otoritas simbolik dan tingkat eksposur tinggi di ruang media. Kehadiran mereka dalam ruang digital kerap menjadi pemantik diskursus viral, baik secara personal maupun dalam bentuk konstruksi kolektif masyarakat daring.
Fenomena seperti istilah “Jawa: Hama” misalnya, merupakan manifestasi konkret dari bentuk othering atau peminggiran identitas sosial yang mencerminkan nalar jahiliyyah modern. Istilah ini bukan sekadar ujaran kebencian, melainkan cerminan dari nalar kolektif yang kehilangan prinsip etika, empati, dan rasionalitas. Di balik gejala ini, terdapat berbagai latar belakang sosiokultural, politik identitas, serta algoritma media yang memperparah polarisasi dan sentimen eksklusif. Marak ditemukan konten-konten digital yang secara sistematis mendiskreditkan kelompok tertentu, baik berdasarkan etnisitas, agama, afiliasi politik, maupun kelas sosial. Kelompok tersebut kerap dijadikan kambing hitam atas isu-isu sosial tertentu, tanpa disertai kerangka analisis objektif. Praktik scapegoating ini menandakan kemunduran daya berpikir kritis dan etis dalam komunikasi publik, serta mempertegas krisis kesadaran kolektif yang tengah berlangsung di era Jahiliyyah Digital.
Maraknya perilaku menyimpang dalam komunikasi publik, khususnya yang menyasar tubuh manusia secara destruktif—baik dalam bentuk penghinaan fisik, pelecehan simbolik, maupun ujaran kebencian berbasis SARA—menunjukkan urgensi serius yang tidak dapat diabaikan. Fenomena ini tidak hanya menyentuh kelompok-kelompok marjinal, tetapi telah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, menciptakan ekosistem informasi yang banal dan merusak integritas sosial.
Untuk merespons situasi tersebut, diperlukan suatu upaya pengamatan dan percermatan kritis yang bertumpu pada nilai-nilai keislaman dan ajaran normatif Al-Qur’an sebagai pedoman spiritual sekaligus etis. Pendekatan berbasis nilai epistemik Qur’ani semacam ini menjadi krusial—yakni dengan menghidupkan kembali nalar tauhidi, yakni sebuah paradigma berpikir yang menempatkan akal sebagai instrumen tanggung jawab ilahiyah. Dengan membangun kembali nalar tauhidi di tengah era digital yang penuh disinformasi dan kekacauan logika, diharapkan lahir ruang publik yang lebih rasional, beradab, dan selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Dua Wajah Kebodohan Publik dalam Produksi Industri dan Konsumsi
Kebodohan publik menjelma sebagai produk sistematis dari dua kutub yang saling menopang, yakni industri produksi wacana dan pola konsumsi masyarakat yang permisif. Di dalam ekosistem ini, konten tidak lagi dibangun atas dasar pertimbangan rasional atau urgensi pengetahuan, melainkan disusun untuk memenuhi algoritma keterlibatan, impresi, dan kapitalisasi emosi. Produsen konten—baik secara individu dengan status selebritas maupun korporasi media sering kali menjual sensasi, menormalisasi kebisingan, dan memanen atensi dengan mengorbankan keakuratan serta nalar publik. Sementara itu, konsumen terjebak dalam ritme informasi instan, menyerap wacana tanpa verifikasi, dan menjadikan persepsi sebagai fondasi utama dalam memahami realitas. Pola ini dilihat sebagai suatu sistem yang menghargai reaksi lebih daripada refleksi, serta mendahulukan sirkulasi dibandingkan substansi.
Fenomena produksi dan konsumsi informasi dalam ruang digital tidak lagi berjalan dalam kerangka edukasi formal, melainkan tumbuh subur dalam kultur satir dan meme sebagai bentuk kritik sosial yang halus namun tajam. Dikutip dari akun Instagram @zakicha.a, sejumlah konten dengan gaya satire parodi memperlihatkan bagaimana warga digital sering disindir sebagai "warga+62" yang merespons narasi publik, tokoh-tokoh politik, serta tafsir keagamaan dengan cara yang ironis. Di dalam salah satu unggahan, ditampilkan sindiran terhadap glorifikasi tokoh sejarah seperti Ja’far Al-Manshur yang dilabeli “soft spoken” secara tidak kritis, hingga pernyataan hiperbolik mengenai keterkaitan Nabi Sulaiman dengan pembangunan Candi Borobudur, yang secara historis tidak berdasarkan apa-apa.
Satire merambah ke ranah politik kontemporer, seperti dalam penyisipan kutipan “2+10=12” yang menggemakan pidato publik seorang tokoh nasional, dalam hal ini adalah Prabowo Subianto atau sindiran terhadap wacana kenabian yang disematkan kepada figur politik tertentu (Joko Widodo). Bahkan tema populer seperti “sound horeg” yang kini viral—dibelokkan menjadi objek parodi pseudo-religius.
Penggunaan satir semacam ini mencerminkan gejala khas era post-literacy, ketika kecerdasan tidak lagi diukur dari kelugasan akademik, tetapi dari kemampuan mengabstraksikan kekacauan publik ke dalam format hiburan yang mengandung muatan kritik epistemik. Di dalam konteks inilah, humor menjadi medium resistensi dan meme menjadi senjata epistemik yang tak kalah tajam dibanding argumentasi akademis formal.
Kebodohan dari sisi produksi industri merupakan konsekuensi dari logika kapitalistik yang menempatkan atensisitas sebagai komoditas utama.[4] Di dalam ekosistem ini, produsen konten—baik media arus utama maupun kreator (aktor/figur publik) independen—terkadang abai dan lebih mementingkan volume distribusi dan keterlibatan emosi dibandingkan kualitas intelektual dari pesan yang disampaikan. Logika pasar mendorong mereka untuk terus menciptakan sesuatu yang mudah dicerna, sensasional, dan menggugah insting dasar audiens seperti kemarahan, rasa takut, atau hiburan instan, tanpa memperhatikan kedalaman atau akurasi. Di balik kemasan informasi yang tampak inklusif dan demokratis, sesungguhnya terdapat strategi sistematis yang membentuk selera publik agar terus berada dalam lingkaran konsumsi yang reaktif, bukan reflektif.
Fenomena tagar #peringatandarurat dan #IndonesiaGelap menunjukkan krisis representasi publik ketika arus informasi mengalami kemunduran epistemik dan penetrasi wacana represif.[5] Kemunculan tagar-tagar ini mengindikasikan meningkatnya frustrasi kolektif terhadap figur-figur dominan yang memegang kendali atas arus kebijakan nasional. Mereka, sebagai sentral aktor dalam konfigurasi kuasa, kerap mereproduksi ketimpangan melalui instrumen-instrumen formal negara yang mengabaikan aspirasi konstituen akar rumput. Di dalam konstelasi ini, lanskap diskursif publik bergerak menuju polarisasi antara entitas hegemonik dan subaltern—antara kelas birokrat dengan kaum pekerja, antara penguasa legislatif dan masyarakat sipil yang termarjinalkan.
Berbagai peristiwa aktual seperti pelarangan distribusi gas LPG 3 kg oleh pengecer, penghapusan tunjangan dosen, penggusuran paksa terhadap permukiman rakyat, insiden keracunan MBG, stagnasi pertumbuhan ekonomi, ekspansi fungsi aparat militer dalam ranah sipil, militerisasi yang masif di Papua, eskalasi harga buku yang mempersempit akses literasi publik, penambangan legal, hingga kriminalisasi terhadap ekspresi kritik, merupakan indikator konkret dari disorientasi sistemik dalam pengelolaan negara. Deretan problematika tersebut merefleksikan defisit rasionalitas kebijakan serta abrasi terhadap akal publik, sekaligus memperlihatkan deviasi prinsip-prinsip keadilan sosial yang semestinya menjadi fondasi demokrasi substantif.
Situasi ini melahirkan lanskap sosial di bawah tekanan narasi dominan yang manipulatif dan disfungsional. Rasionalitas publik mengalami disintegrasi karena disesaki oleh kontradiksi antara fakta empirik dan klaim-klaim retoris institusi kekuasaan. Alih-alih mendorong deliberasi dan pembentukan konsensus kritis, ruang publik justru dikonstruksi sebagai arena reproduksi kekacauan makna. Maka, di dalam kerangka ini, kebodohan kolektif menjelma sebagai produk dari rekayasa sosial-politik yang mengedepankan pengendalian persepsi, reduksi wacana, dan minimalisasi kapasitas reflektif masyarakat luas.
Intensitas dan keseriusan wacana publik dalam ruang keseharian merupakan cerminan langsung dari kualitas intelektual suatu kelompok atau kolektif masyarakat. Dalam beberapa waktu terakhir, lanskap media sosial dan kanal pemberitaan dipenuhi oleh perbincangan yang terpusat pada isu-isu personalia bersifat kontroversial—seperti polemik ijazah presiden yang diragukan keabsahannya hingga narasi mengenai kondisi kesehatan Joko Widodo yang dikaitkan dengan strategi digital bersifat gimmick semata.[6] Fenomena ini tidak hanya menunjukkan pergeseran fokus publik dari substansi ke sensasi, tetapi juga menandakan kemunduran daya pikir kritis dalam mengidentifikasi urgensi wacana.
Alih-alih mendorong diskursus yang berbasis pada refleksi kebijakan, agenda strategis negara, atau orientasi pembangunan jangka panjang, ruang publik justru dipenuhi oleh narasi trivial yang terjebak dalam siklus pengulangan isu-isu remeh yang bersifat spekulatif. Situasi ini mengindikasikan terjadinya disorientasi kolektif dalam membedakan antara informasi yang layak ditelaah secara kritis dengan narasi yang bersifat konsumtif dan dangkal. Distorsi nalar tersebut pada akhirnya memperlihatkan ketimpangan antara kapasitas literasi publik dan intensitas arus informasi yang membanjiri ekosistem digital kontemporer. Realitas kebodohan kolektif dan disorientasi nalar publik sebagaimana tergambarkan dalam lanskap sosial-kultural kontemporer sejatinya telah memperoleh perhatian mendalam dalam khazanah epistemologi Al-Qur’an. Salah satu ayat yang relevan untuk membingkai fenomena ini adalah QS. Al-A’raf [7]:179.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ ١٧٩
Artinya: Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.
Para mufassir klasik seperti Ibn Katsir, al-Maraghi menafsirkan bahwa subjek dalam ayat ini bukanlah manusia yang cacat secara indrawi, melainkan mereka yang memiliki potensi, namun enggan mempergunakan potensi tersebut demi pencarian makna esensial, dengan kata lain adalah willful ignorance, yakni ketidaktahuan yang dipelihara dan dilanggengkan secara sadar.[7] Kualifikasi manusia yang lebih ḍall (sesat) dalam ayat ini merupakan bentuk kritik simbolik terhadap antroposentrisme yang gagal menjadikan akal dan qalbu sebagai pusat orientasi etis. Binatang, meskipun tanpa akal, tetap bertindak sesuai fitrahnya. Sebaliknya, manusia yang secara fitrah memiliki qalbi dan hissi (indrawi) justru mengalami regresi nilai dan degradasi spiritual yang lebih dalam.
Ayat ini memotret realitas masyarakat post-literacy yang secara struktural terkungkung dalam kultur hiperrealitas. Gejala seperti penyalahgunaan media digital, konsumsi konten trivial, serta minimnya apresiasi terhadap pengetahuan dan kontemplasi menjadi manifestasi aktual dari ghaflah. Nilai pendidikan yang dapat ditarik dari ayat ini menegaskan urgensi internalisasi spiritual-kognitif. Pertama, anusia dituntut untuk menumbuhkan khauf (rasa takut) terhadap murka Tuhan sebagai kontrol etis terhadap tindakan. Kedua, optimalisasi organ epistemik menjadi prasyarat mutlak bagi transformasi diri. Ketiga, menjaga nilai-nilai kemanusiaan melalui pemanfaatan rasional dan proporsional terhadap potensi internal adalah bentuk autentik dari tanggung jawab moral. Keempat, manusia dianjurkan untuk terus menerus isti‘ādah agar tidak terjerumus dalam stagnasi intelektual dan kelalaian spiritual.
Historia Logis: Genealogi Kesalahan Berpikir dalam Kesadaran Publik
Cara berpikir masyarakat modern dibentuk oleh serangkaian formasi historis yang kompleks, mulai dari pewarisan pola retorika feodal, penetrasi narasi kolonial, hingga domestikasi logika media digital.[8] Kesadaran publik dikonstruksi oleh inferensi yang selain berasal dari pertimbangan rasional, juga dari pengulangan simbol, simplifikasi wacana, dan tekanan psikologis kolektif.[9] Ketika opini disebut sebagai argumentasi, dan persepsi disamakan dengan pengetahuan, lahirkah lanskap sosial yang mengaburkan batas antara kebenaran dan kepercayaan. Sejumlah logika yang beredar hari ini dibagun atas asosiasi emosial. Di dalam medan semacam ini, kesalahan berpikir sepatutnya tidak dianggap keliru secara mutlak, melainkan dianggap sebagai ekspresi kearifan populer meski sesat secara struktural. Maka, dalam hal ini perlu ditelusuri dari mana deformasi penalaran ini bermula, siapa yang memfasilitasinya, dan bagaimana ia direproduksi terus-menerus dalam tubuh masyarakat.
Kesalahan berpikir dalam masyarakat berkembang melalui pola inferensi yang longgar, repetitif, dan seringkali mengabaikan prasyarat nalar dasar. Argumen-argumen yang beredar mengandalkan analogi prematur, generalisasi emosional, dan klaim sepihak yang dibungkus dalam narasi populis. Ketika dikaitkan dengan skema digitalisasi, cara berpikir ini tersebar secara masif melalui format meme, potongan video singkat, serta kutipan-kutipan yang disalahpahami lalu disebarluaskan tanpa proses verifikasi.
Inferensi publik terbentuk dari kedekatan emosional terhadap tokoh, simbol, atau slogan.[10] Argumen ad hominem, logical fallacy, dan post-truth reasoning menjelma sebagai perangkat komunikasi yang diterima tanpa resistensi.[11] Institusi pendidikan kehilangan daya tawarnya dalam membentuk struktur berpikir yang reflektif, sebab ruang belajar dikalahkan oleh ruang viral. Proses berpikir disubtitusi dengan respons yang begitu instan. Kecenderungan untuk menyederhanakan realitas kompleks menjadi hitam-putih menciptakan masyarakat yang cepat menilai, lambat memahami, dan enggan menganalisis. Di dalam ekosistem semacam ini, kesalahan berpikir menjelma kebiasaan kolektif yang nyaris tidak terdeteksi karena sudah dianggap wajar oleh lingkungan sosial yang mendukungnya. Perbaikan nalar publik tidak cukup ditopang oleh literasi formal atau regulasi media, sebab ia hanyalah menuntut revitalisasi kesadaran batiniah yang berakar pada dimensi etik, spirit, dan epistemik. Dalam hal ini, Al-Qur’an memberikan teks normatif sekaligus metodologis untuk mengarahkan manusia pada proses berpikir yang reflektif, kritis, dan berorientasi pada hikmah. Salah satu ayat yang menawarkan orientasi pemikiran tersebut adalah QS. Az-Zumar [39]:9
اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِ الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ٩
Artinya: (Apakah orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dalam keadaan bersujud, berdiri, takut pada (azab) akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.
QS. Az-Zumar ayat 9 memuat distingsi konseptual antara dua tipe manusia, yakni mereka yang qaanit (tekun, tunduk, konsisten) dalam ketaatan, dan ada yang tidak memiliki kesadaran transendental. Ayat ini menjadi dasar dari bangunan tarbiyah yang mencakup integrasi antara aspek spiritual, intelektual, dan moral. Dalam artikel tafsir QS. Az-Zumar ayat 9, Finadatu Wahidah melalui pendekatan tafsir ijmali mengidentifikasi empat aspek fundamental yang merepresentasikan tujuan pendidikan Islam secara transformatif. (1) Ketaatan penuh kepada Allah dan Rasul dalam berbagai situasi, bahkan dalam kesunyian malam; (2) Komitmen terhadap perubahan menuju kualitas diri yang lebih baik; (3) Kesadaran terhadap ancaman akhirat sebagai kontrol etik atas tindakan di dunia; serta (4) Pengharapan akan rahmat Allah sebagai fondasi keikhlasan dalam amal.[12]
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini menggambarkan dua dimensi ibadah, yakni fisikal (saajidan wa qaa’iman) dan non-fisikal (yakhsyal akhirah wa yarju rahmata rabbihi), sebagai representasi dari integrasi akal dan hati.[13] Tafsir Al-Azhar menekankan bahwa ibadah dalam ayat ini adalah proses pembentukan karakter melalui disiplin spiritual, sementara Asy-Syaamil fi Balaghatil Qur’an menjelaskan bahwa struktur kata dalam ayat menempatkan sujud lebih dahulu daripada qiyam karena secara linguistik dan spiritual, sujud merupakan bentuk puncak kerendahan dan kedekatan makhluk pada Tuhan.
Di dalam At-Tahrir wa At-Tanwir, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa penggunaan kata kerja ya‘lamūn (yang mengetahui) bersifat intransitif tanpa objek, yang mengindikasikan kualitas dan kedalaman ilmu, bukan kuantitas.[14] Ini berarti, ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menuntun pada ma‘rifatullah dan transformasi moral, bukan sekadar data atau informasi. Orang yang mengetahui adalah mereka yang memahami kebenaran dan menjadikannya prinsip hidup, sedangkan yang jahil menjalani hidup dalam kerancuan, tanpa arah nilai atau pijakan kognitif. Ketika masyarakat terperosok dalam pola pikir irasional, bias kognitif, dan logika viral, maka absennya figur ulul albab dalam struktur sosial menjadi nyata. Dominasi persepsi menggantikan refleksi, dan pengabaian terhadap ilmu yang bermakna sehingga dapat mengantarkan publik pada kekacauan berpikir. Maka, ayat ini dapat menjadi koreksi terhadap pemahaman radikal atas budaya berpikir instan yang tercerabut dari akal sehat dan kesadaran ilahiyah.
Pemikiran Brutal Masyarakat Jahiliyah Modern
Survei global dari Reuters Institute (2023) mengungkapkan 49 % pengguna X (Twitter) adalah lulusan perguruan tinggi. Ini merupakan angka tertinggi dibanding platform lain, diikuti Instagram (40 %) dan YouTube (39 %). Selain itu, 31 % pengguna X berpendapatan tinggi, mengalahkan Instagram (28 %) dan YouTube (27 %). Profil demografis ini menunjukkan bahwa platform–platform yang dominan di kalangan terdidik dan berpenghasilan tinggi selayaknya menjadi medan wacana berkualitas, reflektif, dan rasional. Namun kenyataan membuktikan sebaliknya.[15]
Meski tersebar di ruang digital berpendidikan tinggi, masyarakat memperlihatkan pola berpikir brutal—ditandai oleh reaksi emosional berlebihan, debat ad hominem, dan kerahajaan popularitas.[16] Data tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan status ekonomi tinggi belum jaminan hadirnya kesadaran kritis. Elit digital, alih-alih menjadi pionir rasionalitas, malah sering terperangkap dalam logika massa yang primitif, yakni adanya opini viral yang menggantikan argumentasi substansial, dan angka pengikut membentuk legitimasi sosial. Realitas ini memicu narasi tajam bahwa modernitas justru melahirkan masyarakat “jahiliyah” baru. Adalah sebuah era kebrutalan berpikir yang cenderung mengedepankan visibilitas, marah, dan dominasi naratif atas refleksi mendalam.
Fenomena ini dapat diamati secara kasat mata dalam ekosistem media sosial Indonesia, khususnya pada platform X dan TikTok yang kerap menjadi ruang ledakan opini publik. Di dalam ruang ini, debat publik kerap kehilangan pijakan argumen. Kritik berubah menjadi serangan personal, narasi dibangun dari potongan-potongan informasi tanpa struktur, dan emosi kolektif lebih menentukan arah perbincangan ketimbang validitas fakta. Kecepatan berbicara melampaui kedalaman berpikir. Bahkan individu dengan latar pendidikan tinggi pun sering kali terlibat dalam diskursus yang tidak menawarkan pencerahan, melainkan reproduksi kemarahan dan penguatan bias kelompok.
Pada sejumlah kanal media, khususnya dalam ruang dialog platform TikTok, muncul wacana kontroversial terkait pengharaman sound horeg yang disuarakan oleh Komisi Fatwa NU dan didukung pernyataan dari MUI Jawa Timur. Polemik ini memicu respons dari berbagai pihak, termasuk pegiat sound yang menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an maupun hadis tidak ditemukan dalil eksplisit yang mengharamkan sound horeg. Tanggapan yang bersifat konfrontatif ini juga diperkuat oleh pernyataan seorang pengusaha sound system di Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, yang secara terbuka menyampaikan keberatan melalui surat penilaian terhadap fatwa tersebut. Ia menilai bahwa fatwa MUI justru menjadi penghambat bagi kemajuan Indonesia, karena ketika negara lain berfokus pada perkembangan teknologi, Indonesia masih terjebak dalam perdebatan seputar legalitas syariat suatu fenomena. Di sisi lain, diskursus mengenai keharaman ini juga mencuat dalam ranah hukum, terutama setelah Kemenkumham Jawa Timur melaporkan adanya revisi terhadap sekitar 10 ribu permohonan hak cipta sebagai implikasi dari pengakuan horeg sebagai ekspresi seni yang dinilai inovatif. Kompleksitas wacana ini menunjukkan perlunya peninjauan ulang terhadap cara publik memformulasikan tafsir keagamaan di tengah perubahan sosial dan budaya kontemporer.
Pendidikan Islam sebagai Nalar Tauhidi
Salah satu strategi utama untuk merespons disorientasi logika publik adalah revitatalisasi pendidikan Islam melalui pendekatan digital yang bersandar pada nilai-nilai maqāṣid al-syarī‘ah. Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada pengajaran hukum-hukum formal, melainkan menyoroti tujuan esensial dari syariat, seperti perlindungan terhadap akal (ḥifẓ al-‘aql), jiwa (ḥifẓ al-nafs), dan kehormatan (ḥifẓ al-‘ird). Ketika wacana keagamaan terdistorsi oleh emosi kolektif atau konsumsi viralitas semata, maka pendekatan maqashidi menjadi pagar epistemik agar fatwa, tafsir, atau pandangan keislaman tidak dipahami secara sempit dan tekstualistik.
Pendidikan Islam digital perlu dioreintasikan sebagai ekosistem pembentukan akhlak berpikir yang tidak sekadar menghasilkan konten dakwal. Upaya ini melibatkan transformasi kurikulum dan metode dakwah agar lebih adaptif terhadap cara berpikir generasi digital yang cepat, visual, dan emotif tanpa mempertimbangkan kedalaman substansi. Maka, di dalam ekosistem dakwah semacam ini, pendidikan islam berfungsi sebagai instrumen penyemaian nalar tauhidi, yakni cara berpikir yang menyatukan antara rasionalitas, spiritualitasm dan tanggung jawab moral di bawah keesaan Tuhan. Adapun prinsip nalar tauhidi melingkupi tabayyun (verifikasi informasi), ta‘aqqul dan tafakkur (penggunaan akal dan perenungan kritis), amanah ‘ilmiyyah (tanggung jawab intelektual), serta qawlan sadīdan (komunikasi lurus dan jujur), yang merupakan nilai-nilai Qur’ani dan harus diinternalisasikan dalam proses pendidikan umat. Prinsip tabayyun, misalnya, ditegaskan dalam QS Al-Ḥujurāt [49]:6.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَافَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ٦
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.
Menurut Mutawalli asy-Sya’rawi, ayat ini menekankan bahwa tabayyun merupakan kewajiban universal untuk semua wacana maupun berita yang masuk, tanpa terkecuali, dan tidak hanya dari orang fasik. Tabayyun menjadi upaya untuk menjaga integritas kolektif, sebab informasi yang salah bisa menjadi akar dari konflik sosial dan kekacauan moral. Senada dengan pendapat tersebut, Prof Quraish Shihab memberikan pendekatan yang lebih kontekstual bahwa tidak semua berita perlu ditabayyun, hanya saja yang penting dan yang berpengaruh besar terhadap hak serta martabat pihak lain, sebab terutama di media sosial, urgensi etika informasi menjadi penting dengan adanya landasan prinsip tanggung jawab dan kehati-hatian (ikhtiyat).[17]
Prinsip kedua adalah bagaimana seseorang dapat menggunakan akal serta memikirkan sesuatu dengan seksama. Dengan begitu kedua konsen ini tidak dapat dipisahkan karena termasuk padanan itifak, ketika satu konsen tidak terpenuhi, maka konsen lainnya tidak tercapai pula. Konsepsi taaqqul dan tafakkur merupakan kewajiban moral yang harus dimiliki seseorang dalam berislam yang baik dan benar. Taaqqul, dengan kemampuan menggunakan nalar untuk memahami perintah Tuhan serta membedakan ssesatu yang hak dan batil. Sedangkan, tafkkur menurut imam Al-Ghazali adalah proses kontemplasi yang melibatkan hati dan akal. Di dalam Al-Qur’an, kata tafakkur dan turunannya disebutkan sebanyak 18 kali, sehingga menunjukkan urgensinya dalam membentuk kesadaran logika dan keimanan. Salah satu ayat kunci adalah QS. Ali ‘Imran [3]:190–191, yang menggambarkan orang-orang berakal sebagai mereka yang senantiasa mengingat Allah sambil merenungkan penciptaan langit dan bumi.[18]
Prinsip ketika yang menopang nalar tauhidi adalah amanah ilmiyah, yakni tanggung jawab moral dan intelektual dalam mengelola, menyampaikan, dan mengamalkan ilmu pengetahuan secara jujur dan proporsional. Di dalam Islam, ilmu merupakan beban tanggung jawab yang amat besar sehingga lebih dari akumulasi informasi ataupun instrumen status sosial.[19] Konsep ini berpijak pada QS. Al-Aḥzāb [33]:72 yang menjelaskan bahwa amanah pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, namun mereka enggan memikulnya karena menyadari beratnya konsekuensi, sementara manusia menerimanya.[20]
Ayat ini mengandung nilai amanah dalam tiga dimensi besar, yakni (1) hubungan manusia dengan Tuhan, (2) hubungan dengan sesama manusia, dan (3) hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Di dalam persoalan hubungan dengan Tuhan, amanah berarti menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta menggunakan potensi akal dan ilmu untuk mendekat pada kebenaran-Nya. Di dalam dimensi sosial, amanah mencakup tanggung jawab menjaga kejujuran, menyampaikan informasi dengan benar, menghindari manipulasi, serta memenuhi tugas profesi, dan kepemimpinan secara adil. Sedangkan dalam relasi dengan diri sendiri, amanah berarti menjaga keputusan, menjaga kesehatan, dan tidak mengabaikan potensi diri.
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ ٧٢
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.
Di dalam nalar tauhidi, amanah ‘ilmiyyah berfungsi sebagai pilar etik yang mengintegrasikan ilmu dan iman. Ia mencegah manusia dari menyalahgunakan pengetahuan, serta menjadikan ilmu sebagai instrumen pembebasan. Maka, ketika ilmu dikapitalisasi untuk menyebarkan kebencian, disinformasi, atau kepentingan politik sesat, pelanggaran terhadap amanah itu menjadi nyata. Ayat ini juga menegaskan bahwa penolakan langit, bumi, dan gunung terhadap amanah adalah simbol kesadaran akan beratnya beban tanggung jawab tersebut—sesuatu yang justru sering disepelekan oleh manusia.[21] Tafsir Al-Marāghī dan Quraish Shihab sepakat bahwa manusia diciptakan dengan potensi rasional dan spiritual untuk menerima amanah ini, namun juga berisiko besar untuk mengkhianatinya. Di sinilah letak paradoks kemanusiaan, bahwa menjadi mulia jika menjaga amanah, menjadi hina pula jika mengabaikannya.
Prinsip keempat dalam kerangka nalar tauhidi adalah qaulan sadiidan, yakni komitmen untuk berkomunikasi secara lurus, jujur, dan etis. Prinsip ini ditegaskan secara eksplisit dalam QS. Al-Aḥzāb [33]:70,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ ٧٠
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.
Kata "sadīd" berasal dari akar kata sadda yang bermakna “menutup celah”, dalam hal ini, menutup potensi kerusakan sosial akibat ujaran yang menyimpang atau manipulatif. Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa “qawlan sadīdan” mengandung tiga aspek penting, yakni isi yang benar, niat yang tulus, dan cara penyampaian yang santun. Artinya, komunikasi ideal dalam Islam tidak hanya menekankan kebenaran secara faktual, tetapi juga integritas moral dan estetika penyampaian.[22] Dengan memperhatikan kata “qawlan” dalam konteks perintah (amr), dan sebagainya dapat diperjelas bahwa kata qawlan terulang sebanyak 19 kali dalam Al-Qur’an. Terdapat 10 ayat yang diketegorikan sebagai ayat Makkiyah dan 9 ayat yang dikategorikan sebagai ayat Madaniyah.6 Dari 19 kata qawlan dalam Al-Qur’an dapat diringkas menjadi enam prinsip etika berkomunikasi, yaitu qawlan sadīdan (QS. [4]: 9) dan (QS. [33]: 70) qawlan balīghan (QS. [4]: 63), qawlan maysūran (QS. [17]: 28), qawlan layyinan (QS. [20]: 44), qawlan karīman (QS. [17]: 23), qawlan ma'rūfan (QS. [4]: 5). Dari 19 kata qawlan tersebut dalam Al-Qur’an dapat dimaknai sebagai etika berkomunikasi
Kesimpulan
Kekacauan logika, distorsi nalar publik, dan erosi rasionalitas yang melanda kesadaran kolektif masyarakat kontemporer menandakan krisis epistemik yang dalam. Era Jahiliyyah Modern ditandai oleh limpahan informasi tanpa adanya kedalaman makna, dominasi opini tanpa kebenaran, dan pengaruh algoritma yang menyingkirkan nalar kritis. Dalam realitas digital seperti ini, nalar publik tergantikan oleh afiliasi emosional, polarisasi afektif, dan serangan ad hominem yang sistematis. Fragmentasi media, rendahnya literasi epistemik, dan kebiasaan konsumsi konten instan semakin memperparah kerusakan struktur berpikir masyarakat. Gejala ini tak hanya membentuk pola pikir yang brutal, tetapi juga menciptakan lanskap sosial yang miskin refleksi, banal dalam narasi, dan abai terhadap integritas ilmu serta nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sebagai respon atas krisis tersebut, diperlukan sebuah paradigma berpikir yang rasional-transenden, yakni nalar tauhidi. Paradigma ini merupakan fondasi berpikir dalam Islam yang menyatukan akal, etika, dan wahyu dalam satu sistem epistemik yang utuh. Di dalam nalar tauhidi, akal terikat oleh nilai ilahiah yang mengarahkan cara berpikir menuju kebenaran yang objektif dan maslahat kolektif. Nalar tauhidi berpijak pada empat prinsip utama, yakni tabayyun sebagai disiplin verifikasi informasi yang menolak impulsivitas digital; ta‘aqqul dan tafakkur sebagai metode berpikir mendalam yang menyatukan rasio dan kontemplasi spiritual; amanah ‘ilmiyyah sebagai tanggung jawab menyampaikan pengetahuan secara jujur, adil, dan bertanggung jawab; serta qawlan sadīdan sebagai standar komunikasi yang benar, santun, dan berkeadilan.
Revitalisasi nalar tauhidi tidak sekadar diperlukan di ruang pendidikan atau akademik, melainkan harus dihidupkan kembali dalam interaksi sosial, media digital, ruang publik, dan setiap percakapan daring yang mempengaruhi persepsi umat. Ketika masyarakat kembali berpikir secara tauhidi—menyatukan nalar dengan nilai dan iman—maka ruang publik dapat dibersihkan dari hoaks, ujaran kebencian, dan narasi palsu yang merusak rasionalitas kolektif.
[1] Hariansyah, H. (2012). Sisi Liar Manusia.
[2] Ramin, M. M. (2017). Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab. Anak Hebat Indonesia.
[3] Jatmiko, M. I. (2019). Post-truth, media sosial, dan misinformasi: pergolakan wacana politik pemilihan presiden indonesia tahun 2019. Jurnal Dakwah Tabligh, 20(1), 21-39.
[4] Siswanto, S., & Anisyah, Y. (2018). Revitalisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Pendidikan Islam Era Revolusi Industri 4.0. Islamuna: Jurnal Studi Islam, 5(2), 139-146.
[5] Ardiyanto, E., & Melisa, R. (2025). Analisis Strategi Komunikasi Politik Mahasiswa dalam Aksi Indonesia Gelap 2025. Jurnal Heritage (e-ISSN 2442-7365), 13(01), 01-16.
[6] Wulandari, O. M., Maulana, I., Syamsudin, F., & Waluyo, R. (2025). Perbandingan Algoritma Naive Bayes dan SVM dalam Analisis Sentimen Twitter terhadap Isu Ijazah Jokowi Palsu. Jurnal Manajemen Informatika, Sistem Informasi dan Teknologi Komputer (JUMISTIK), 4(1), 392-400.
[7] Adawiyah, R., & Inten, D. N. (2022). Nilai-Nilai Pendidikan dari QS Al-A’raf Ayat 179 tentang Pentingnya Optimalisasi Peran Hati, Akal, Penglihatan dan Pendengaran dalam Menghindari Perilaku Lalai (Ghaflah). In Bandung Conference Series: Islamic Education (Vol. 2, No. 2, pp. 553-558).
[8] Fajarni, S. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik Terhadap Positivisme, Sosiologi, Dan Masyarakat Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 24(1), 72-95.
[9] Junaedi, F., & Sukmono, F. G. (Eds.). (2019). Komunikasi politik di Indonesia. Buku Litera.
[10] Ajie Febrizky Akbar, A. (2025). Representasi Citra Politik Anies Baswedan Sebagai Calon Presiden Indonesia Pada Pilpres 2024 Di Tiktok (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).
[11] Waston, M. Filsafat Post-Truth: Krisis Kebenaran dan Tantangan Rasionalitas di Era Digital. Muhammadiyah University Press.
[12] Wahidah, F. (2019). Konsep Tarbiyah Dalam Perspektif Surat Az-Zumar Pendekatan Tafsir Ijmali. Qolamuna: Jurnal Studi Islam, 5(1), 97-110.
[13] Ramadhani, L., Zenrif, F., & Hartanto, R. A. (2025). The Priority Of Knowledgable People In Az-Zumar Verse 9 Perspectives Of Contemporary Interpretation. DINAMIKA: Jurnal Kajian Pendidikan dan Keislaman, 10(1), 64-73.
[14] Amalia, N. N., & Aisyah, S. (2024). A REKONSTRUKSI POLA PIKIR BERPENDIDIKAN DALAM KONSEP ILMU PENGETAHUAN QS AL-MUJADALAH: 11 DAN AZ-ZUMAR: 8-9. SIRAJUDDIN: Jurnal Penelitian dan Kajian Pendidikan Islam, 3(2), 12-23.
[15] GoodStats. (2024, June 25). Tingkat pendidikan pengguna X lebih unggul dibanding medsos lain [Infografik]. GoodStats. https://goodstats.id/infographic/tingkat-pendidikan-pengguna-x-lebih-unggul-dibanding-medsos-lain-goAJd
[16] GoodStats. (2024, June 26). Survei Reuters: Tingkat pendidikan dan pendapatan pengguna Twitter lebih unggul dibanding medsos lain. GoodStats. https://goodstats.id/article/survei-reuters-tingkat-pendidikan-dan-pendapatan-pengguna-twitter-lebih-unggul-dibanding-medsos-lain-OFO9T
[17] Maldini, A. F. (2019). Makna Tabayyun Dalam Konteks Modern: Kajian Penafsiran Al-Hujurat Ayat 6 Menurut Mutawalli Al-Sya’rawi Dan Quraish Shihab (Bachelor's thesis).
[18] Yanti, N. (2019). Tafakkur dalam Kehidupan Persfektif Al-Qur'an dan Hadits. Mau'idhoh Hasanah, 1(2), 11-20.
[19] Hidayat, R., & Wijaya, C. (2016). Ilmu pendidikan Islam: menuntun arah pendidikan Islam di Indonesia. Lembaga Peduli Pengembangan Pendidikan Indonesia.
[20] Maqbullah, A. Pemaknaan Amanah Dalam Surah Al-Ahzab Ayat 72 (Perspektif penafsiran al-Sya ‘rāwī) (Bachelor's thesis, Jakarta: Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah).
[21] Muchotob Hamzah, M. H., & AM Mu'tafi, A. Nilai-Nilai Amanah dalam Pendidikan Islam pada Surah Al-Ahzab Ayat 72. Repository FITK UNSIQ.
[22] Iskandar, I. (2019). Prinsip Komunikasi Al-Qur’an Dalam Menghadapi Era Media Baru. Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir, 2(1), 55-74.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang