Ulama Suburban

Ahad, 27 Jul 2025, 16:05 WIB
Ulama Suburban
Sound Horeg (Sumber: Omongomong.com)

 Peristiwa sound horeg hari-hari ini meresahkan sekaligus membuat banyak orang kehilangan kenyamanan dalam menjalani aktivitas harian. Praktik ini menimbulkan kebisingan yang kerap melampaui ambang batas kenyamanan akustik. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996, tingkat kebisingan di lingkungan permukiman seharusnya tidak melebihi 55 dB pada siang hari. Namun, sejumlah laporan dan pengukuran lapangan menunjukkan bahwa sound horeg dapat menghasilkan suara hingga 80–135 dB, tingkat yang secara medis berpotensi mengganggu kesehatan fisik dan mental, serta menurunkan kualitas hidup masyarakat. Persoalan ini tidak semata soal teknis kebisingan, melainkan menyangkut menurunnya kesadaran akan ruang bersama dan empati sosial. Ironisnya, memutar musik sekeras-kerasnya kini justru sering dipersepsikan sebagai bentuk ekspresi diri yang sah, seolah kualitas hidup diukur dari seberapa besar dentuman suara yang mampu menggetarkan atap rumah tetangga.

Di tengah kebisingan itu, yang hilang justru adalah hal-hal yang dahulu dianggap sederhana. Rasa malu, sopan santun, dan kesadaran kolektif menjadi panggung pribadi. Mungkin bagi sebagian orang, semakin gaduh, maka semakin hidup karena diam terlalu menyeramkan untuk menampakkan kekosongan. Yang lebih tragis lagi, kegaduhan itu sering dibungkus atas dalih budaya maupun kearifan lokal, padahal yang dipertontonkan hanyalah parade ego dan miskin selera.

Sebagai respons atas keresahan publik yang terus meluas akibat praktik sound horeg, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur menetapkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg. Fatwa ini didasarkan pada masukan masyarakat, termasuk petisi penolakan sound horeg yang ditandatangani oleh 828 orang per 3 Juli 2025, serta hasil kajian lapangan yang menunjukkan intensitas suara sound horeg dapat mencapai 135 desibel yang melampaui batas aman yang direkomendasikan WHO, yaitu 85 dB untuk paparan selama 8 jam. Di dalam praktiknya, sound horeg kerap digunakan dalam acara yang memuat unsur kemunkaran seperti joget bebas, campur baur antara laki-laki dan perempuan, serta pembukaan aurat, baik di tempat tertentu maupun berkeliling di tengah permukiman warga. Berdasarkan data medis dari ahli THT Universitas Airlangga, paparan suara dengan intensitas tinggi dalam durasi singkat berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran permanen, masalah kardiovaskular, hingga gangguan psikososial. Secara normatif, fatwa ini merujuk pada sejumlah kaidah fikih, seperti “bahaya harus dihilangkan” (الضَّرَرُ يُزَالُ) dan “mencegah kerusakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan” (دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ), serta menekankan bahwa tidak diperbolehkan menggunakan hak secara sewenang-wenang jika berdampak merugikan orang lain.

Fatwa juga mengutip berbagai dalil Al-Qur’an dan hadis yang melarang tindakan yang membahayakan, meresahkan, atau mengganggu hak orang lain di ruang publik. Di sisi lain, MUI juga menegaskan bahwa penggunaan sound horeg dalam batas wajar untuk keperluan positif seperti pengajian, pernikahan, atau shalawatan yang steril dari maksiat tetap diperbolehkan. Fatwa ini turut memperkuat posisi hukum dengan menyitir regulasi negara seperti Pasal 28H UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 1365 KUH Perdata tentang tanggung jawab ganti rugi atas perbuatan melawan hukum.

Di dalam sidang Bahtsul Masail yang menjadi bagian utama dari Forum Satu Muharram (FSM) di Pondok Pesantren Besuk Pasuruan, para ulama dan peserta dari berbagai pesantren di Jawa dan Madura membahas fenomena sound horeg secara mendalam dari perspektif hukum Islam, sosial, dan medis. Sidang ini menghasilkan keputusan bahwa praktik sound horeg hukumnya haram secara mutlak, terutama jika dilakukan di ruang publik, bersuara keras, serta mengandung unsur kemaksiatan. Keputusan tersebut dilandaskan pada tiga alasan utama. Pertama, sound horeg tergolong mudharat karena mengganggu kenyamanan dan ketenteraman masyarakat. Kebisingan yang mencapai 130 dB dinilai sebagai bentuk idlaa’ (menyakiti) yang mengganggu waktu istirahat warga, pasien rumah sakit, dan konsentrasi belajar anak-anak. Kedua, dalam praktiknya, sound horeg kerap disertai kemungkaran seperti joget campur laki-laki dan perempuan (ikhtilaat), aurat terbuka, dan perilaku yang bertentangan dengan norma syariat. Ketiga, fenomena ini dianggap merusak tatanan moral generasi muda dan menormalisasi hiburan vulgar di ruang publik yang seharusnya steril dari hal-hal yang tidak pantas. Ketiga alasan ini dinyatakan dalam dokumen hasil Bahtsul Masail dan menjadi acuan fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025.

Dari sisi normatif, para kiai peserta forum merujuk pada kaidah-kaidah fikih seperti “ad-dararu yuzâl” (bahaya harus dihilangkan), “lā dharara wa lā dhirāra” (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain), serta “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” (mencegah kerusakan lebih utama daripada menarik manfaat). Mereka juga menyatakan bahwa sound horeg merupakan contoh penggunaan hak yang melanggar hak orang lain (ta‘addiy), dan karenanya tidak dapat dibenarkan dari segi syariat. Forum juga mengkritik praktik adu sound system (battle sound) yang dilakukan secara ugal-ugalan tanpa mempertimbangkan kenyamanan warga, dinilai mubazir (tabdzir wa idha'atul mal), dan tidak memiliki kemaslahatan syar’iyah.

Pertimbangan medis turut memperkuat kesimpulan hukum. Seorang dokter spesialis THT dari RSUD Dr. Soetomo yang dihadirkan dalam forum menjelaskan bahwa suara dengan intensitas di atas 85–120 dB dalam durasi tertentu dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ pendengaran, trauma koklea, hipertensi, hingga gangguan psikososial. Melalui data tersebut, para kiai menyimpulkan bahwa sound horeg bukan sekadar hiburan, tetapi telah menjadi faktor risiko terhadap kesehatan masyarakat dan ketertiban umum. Bahkan, dalam salah satu sesi, disampaikan bahwa fenomena ini bisa dikategorikan sebagai fasad fil ardhi (kerusakan di muka bumi) jika dibiarkan tanpa regulasi yang jelas.

Akan tetapi, di dalam sidang juga menegaskan bahwa penggunaan sound horeg tetap diperbolehkan dalam batas wajar, seperti pada pengajian, pernikahan, atau shalawatan, selama tidak melampaui ambang kebisingan, tidak mengandung maksiat, dan dilaksanakan dengan memperhatikan etika ruang publik. Ini menunjukkan bahwa hukum yang diputuskan bersifat kontekstual dan proporsional, tidak serta-merta menolak hiburan berbasis musik, tetapi menolak ekses yang merusak dan menimbulkan keresahan.

Putusan ini menjadi model deliberasi keilmuan yang tentunya mengandalkan dalil teks, juga melibatkan data empirik, pertimbangan sosial, dan prinsip maslahat. Setelah forum, hasil Bahtsul Masail disampaikan kepada MUI Jawa Timur dan dijadikan dasar dalam penetapan Fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025. Di dalam rilis resminya, MUI menegaskan bahwa fatwa ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah melalui regulasi teknis, penertiban, serta edukasi publik. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, KH Miftahul Huda, menambahkan bahwa fatwa tidak cukup hanya menjadi rambu moral, tetapi perlu dukungan kelembagaan agar implementatif dan tidak berhenti sebagai dokumen simbolik. Melalui pertimbangan seluruh aspek tersebut, MUI Jawa Timur menetapkan keharaman penggunaan sound horeg yang melampaui batas dan bermuatan maksiat, juga merekomendasikan penyusunan regulasi teknis oleh pemerintah serta edukasi publik agar kebebasan berekspresi tidak bertentangan dengan syariat, hukum, dan etika sosial yang berlaku.

Realitas sosial yang berkembang memperlihatkan bahwa inisiatif keulamaan ini berhadapan dengan dinamika yang jauh dari kata ideal. Upaya merawat ruang sosial yang tenang dan tertib justru memunculkan resistensi dari berbagai pihak yang memandang persoalan sound horeg sebagai bagian dari ekspresi budaya yang sah. Di dalam berbagai forum televisi nasional, perdebatan tentang fatwa ini menggambarkan betapa tajamnya perbedaan persepsi antara aktor-aktor moral dan aktor-aktor yang mengedepankan kebebasan tanpa batas. Di program Catatan Demokrasi TV One, KH. Ma’ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, mendapat sanggahan keras dari M. Rofi’i Mukhlis, Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN), yang menganggap fatwa tersebut lahir secara tergesa dan abai terhadap konteks kultural masyarakat. Sementara dalam acara Dua Sisi, Mustofa Nahrawardaya dan M. Ziyad harus menjelaskan posisi MUI kepada Irfan Wesi, seorang pemerhati sosial dan budaya yang menyebut perhatian terhadap sound horeg sebagai pemborosan energi intelektual, bentuk pengalihan isu, dan terlalu mengurusi hal remeh yang tidak menyentuh akar masalah bangsa. Reaksi semacam ini menunjukkan bahwa perjuangan ulama dalam mempertahankan ketenangan bersama tidak selalu dipahami sebagai bagian dari perlindungan sosial. Alih-alih mendapat dukungan, mereka justru dianggap mengusik kebebasan warga. Padahal, suara keagamaan yang disuarakan dari pesantren dan kampung-kampung itu tumbuh dari keresahan yang nyata. Suara yang awalnya pelan dan nyaris diabaikan, perlahan menjadi gema yang menyentuh nalar publik, bahwa kehidupan bersama membutuhkan keteraturan, dan keteraturan itu tidak tumbuh dari kebisingan yang dipertahankan atas nama hiburan.

Apa yang dilakukan oleh para ulama tersebut tidak lahir dari dorongan spontan atau reaksi sesaat. Ini merupakan ikhtiar panjang yang tumbuh dari bawah, berakar kuat dalam kehidupan masyarakat yang terdampak langsung. Mereka berbicara mulai dari podium-podium formal, hingga serambi masjid, forum pengajian, dan majelis-majelis kecil yang sehari-hari mendengarkan keluhan warga. Fatwa yang kemudian ditetapkan merupakan hasil dari proses kolektif yang melibatkan perenungan fikih, kajian medis, hingga pertimbangan sosial. Ia lahir sebagai bentuk ijtihad sosial yang berangkat dari realitas dan bergerak menuju kemaslahatan. Suara yang semula hanya menjadi bisikan pendapat pinggiran, kini menjelma menjadi dasar normatif yang mampu mempengaruhi arah kebijakan publik. Maka, di dalam persoalan ini, peran ulama menemukan momentumnya, yakni menjadi jembatan antara nilai-nilai keagamaan dan kebutuhan konkret masyarakat, serta menjadi pengingat bahwa tanggung jawab sosial sering kali dimulai dari hal-hal yang dianggap remeh, tapi berdampak besar bagi harmoni bersama.

Fatwa ini membuktikan bahwa suara ulama lokal yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat pinggiran kota masih memiliki daya pengaruh besar dalam merawat nalar kolektif umat. Mereka berbicara atas nama agama, terlebih atas nama ketenteraman bersama. Ketika sebagian pihak justru menganggap perjuangan ini sebagai sesuatu yang tidak penting, para ulama tersebut memilih tetap berada di garis depan, bukan untuk melarang sesuatu, tetapi untuk menjaga agar ruang publik tidak menjadi arena yang mentoleransi kerusakan atas nama kebebasan. Menimpali seluruh dialog publik ini, suara kecil itu akhirnya menjadi penanda arah bahwa kemaslahatan umat dimulai dari ketegasan moral, keberanian bersuara, dan keikhlasan menerima bahwa tidak semua perjuangan langsung mendapat tepuk tangan.

  

 

ulama suburban  MUI  maslahat  komisi fatwa  bahtsul masail 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan