Bisakah seseorang merasa terancam, hanya karena keyakinan dirinya tidak sama dengan keyakinan orang lain? Apa yang sebenarnya terjadi pada perasaan seseorang yang sulit setuju dengan perbedaan?
Bukankah kita bisa mengerti siapa kita sebenarnya, setelah tahu kita berbeda dengan yang lain?
Misalnya saja: siapa sebenarnya orang berambut mekar, berhidung sedikit pesek, tidak berkumis, dan sedang mengetuk-ngetuk satu jarinya di ubin dingin sambil terus tersenyum tanpa sedikit pun memalingkan mata dari lawan bicaranya yang tak juga membalas hujahnya itu jika bukan Buyung Upik?
Atau, jika masih ingin memaksakan akan adanya kesamaan itu, mari kita sepakati dulu keberadaan dua orang yang ingin kita samakan itu. Barulah kita cari kesamaan yang ada.
Pertama, kita temukan, bahwa mereka sama-sama bersarung batik. Kedua, mereka berdua sama-sama duduk di pelataran asrama. Ketiga, kedua orang itu sama-sama memantapkan keyakinan masing-masing. Keempat, keduanya sama-sama mengetuk-ngetukkan jari di ubin dingin. Kelima, mereka adalah orang yang sama-sama pandai bersilat lidah. Keenam, poin kelima adalah kesamaan terakhir, karena salah seorangnya sedang jatuh pada ketiadaan kata-kata dan menunduk sambil memikirkan gagasan terbaik tentang layaknya sebuah kain berjahit bernama singlet sebagai pakaian dalam, sementara satunya tidak. Ketujuh, ternyata poin keenam harus diralat, karena tak lama kemudian mereka berdua sama-sama mendengar azan subuh.
Tapi apa yang lebih penting ketimbang memperdebatkan pakaian dalam? Setiap orang tentu memiliki pandangan idealnya tentang pakaian dalam, tak terkecuali Buyung Upik dan Warto.
Yang Sebenarnya Terjadi
Cerita ini dimulai sejak dua jam yang lalu, di sebuah pelataran asrama yang sebenarnya cukup, jika harus dilewati dua sampai tiga orang dewasa dalam posisi bersisian. Namun di pelataran itu, baik Buyung maupun Warto masih sama-sama berusaha untuk mengambil sedikit demi sedikit wilayah yang telah dipisah oleh sebuah garis khayalan, yang diyakini menjadi penanda kesimetrisan dua bagian, yang juga khayalan.
Dari kubu merah, Buyung berkeyakinan, bahwa kaus lebih efektif ketimbang singlet, yang menurutnya percuma saja mengenakan kain lucu itu sebagai pakaian dalam. Toh kain putih penutup puting itu hanya berfungsi untuk menutup puting.
“Kau bilang seperti itu, karena kau itu jorok dan tidak sadar kalau kau itu jorok,” balas Warto dari kubu biru, sambil terus memundurkan bokong dan mencondongkan kepalanya, hampir-hampir beradu dengan kepala si Buyung. “Kebiasaanmu menimbun keringat di kaus-kaus yang menurutmu pakaian dalam itu hanya bikin bakteri-bakteri itu bersarang, sementara kau membiarkannya begitu lama, sampai jadilah sebuah rumah, kemudian kompleks perumahan dan berbagai fasilitasnya, hanya untuk bakteri; yang bikin teman-temanmu tutup hidung karena baunya kaya tuak.”
“Loh, lebih baik bakteri itu bersarang di kaus, To, Warto,” serang Buyung” tak mau kalah. “Kau bahkan tidak sadar, kalau singletmu itu tidak berguna sama sekali, sampai-sampai baju putih yang kau pakai untuk sholat itu ketiaknya bersarang warna kuning,” lanjutnya sambil menyincing sebuah baju imajiner milik Warto dengan ekspresi orang mual.
Belum ada balasan dari Warto.
“Tidur jauh lebih baik ketimbang pakaian dalam kalian,” kata Josu, alias Paijo Sugeh, sesaat setelah mengucapkan permisi kepada si kaus dan si singlet yang menghalangi jalannya menuju bilik. Tapi itu sejam yang lalu.
Ini berarti tidak ada yang melihat perdebatan mereka berdua kecuali, mungkin sedikit ikan di aquarium yang tidak bisa memejamkan mata sejak hari kemunculannya di dunia.
***
Sebagai santri yang lebih senior, Warto tentu mengetahui bagaimana seorang murid harus bersikap di lingkungan pendidikan seperti pesantren. Ia telah mengenal jauh sifat sabar, rendah hati, taat, serta ikhlas, sebelum si Buyung Upik itu datang untuk mondok dan menjadi lawan debatnya sekarang. Bukan karena ia tak tahu cara terbaik untuk mengalah tanpa menghilangkan wibawa. Bisa saja misalnya, ia mengatakan, “Perbedaan itu biasa,” atau, “Mungkin kita tidak cocok jika sekadar membicarakan pakaian dalam, Yung. Ayo cari topik lain.” Sayangnya kata-kata itu tidak sedikit pun terlontar dari mulutnya. Malahan celaan yang lebih banyak bersuara dalam hatinya, yang tanpa disadarinya telah ngowos sedikit, dan terlontar begitu saja.
Bukan tanpa alasan Warto mempertahankan kedaulatan singletnya. Dalam hidupnya, singlet punya sejarah panjang, dan telah mengalami berbagai rintangan. Ia pernah mengalami, bagaimana cap singlet di balik seragam olahraga, oleh teman-teman sejawatnya ditandai sebagai ciri “anak culun”.
Bahkan di suatu siang yang penuh kantuk dalam kelas kosong matematika, Yogik pernah dengan sengaja menarik sekencang-kencangnya sedikit singlet yang mengintip dari balik baju pramuka Warto. Begitu seterusnya sampai seluruh bagian didapatkan Yogik dalam kondisi robek di kedua pundaknya. Sementara Warto sudah tersedu sejak menahan tarikan sebelum menutup wajah dengan kedua lutunya, Yoges sudah memamerkan singlet jarahannya itu seperti mengibarkan bendera putih di hadapan semua siswa kelas 9 A yang tak pernah heran dengan kejahatan begundal itu.
“Jangan mudah kalah dengan perasaanmu. Pendewasaan itu memang harus kau alami, anakku.”
Dua kalimat dari Bapak Warto itulah, yang kemudian benar-benar menjadi titik awal Warto bisa menjadi Warto yang sekarang. Dari peristiwa itu, ia akhirnya menemukan sebuah bara di balik sebuah kata-kata, yang bisa membakar semangatnya.
Pendewasaan.
“Singlet bukan tanda culun seseorang, tapi bekal menuju kedewasaan.”
***
“Sepertinya kau benar,” kata Warto, mulai menatap lawan bicaranya, “singlet tidak bisa menangkal noda kuning di ketiak baju koko, apalagi jika berwarna putih. Tapi, Yung, kau harus menyadari kalau kausmu hanya merumahkan bakteri-bakteri pembawa bau tak sedap dari tubuhmu itu. Dengan begitu, perbuatan yang kau anggap layak dengan memosisikan kaus sebagai pakaian dalam itu dapat dikatakan salah.”
“Loh, lebih baik bakteri itu bersarang di kaus, To, Warto,” serang Buyung tak mau kalah. “Kau bahkan tidak sadar, kalau singletmu itu tidak berguna sama sekali, sampai-sampai baju putih yang kau pakai untuk sholat itu ketiaknya bersarang warna kuning,” lanjutnya sambil menyincing sebuah baju imajiner milik Warto dengan ekspresi orang mual, seperti adegan di fragmen pertama Yang Sebenarnya Terjadi.
“Tapi, Yung…”
Kita akhiri saja cerita ini untuk sementara. Perihal bagaimana kaus punya kelayakan sebagai pakaian dalam bagi Buyung Upik, akan saya ceritakan setelah azan.
.