"Jika engkau duduk bersama orang bodoh, maka diamlah. Jika engkau duduk bersama ulama, maka diamlah. Sesungguhnya diammu di hadapan orang bodoh, akan menambah kebijaksanaanmu, dan diammu di hadapan ulama akan menambah ilmumu" Sayyidina Hasan al Basri.
Ada salah satu tradisi di pesantren yang secara fungsional berperan sebagai platform teoretis (imitasi) di luar sistem pembelajaran bagi para santri, yakni bahtsul masail. Sebagai santri, tentu kita akrab dengan terminologi ini. Bahtsul masail merupakan praksis penegakan hukum Islam di lingkungan pesantren, yang kemudian diadopsi oleh Nahdlatul Ulama (NU). Pendekatan ini melibatkan telaah mendalam terhadap karya-karya ulama yang terdapat dalam literatur klasik—kitab kuning. Proses pencarian panduan hukum dari kitab kuning ini dikenal sebagai i’tibar, mencerminkan usaha untuk menemukan analogi atau kesamaan dalam merumuskan hukum Islam.
Pada dasarnya, bahtsul masail merupakan suatu analogi dari konsep lebih inklusif, yaitu ijtihad atau istinbat. Secara bijak, kalangan pesantren menghindari penggunaan istilah ijtihad yang kerap dikaitkan dengan kalangan ulama berderajat tinggi dalam segi keilmuan maupun kealimannya. Maka dari itu, dengan menggunakan istilah bahtsul masail, mencerminkan pelaksanaan ijtihad secara bersama-sama, atau yang sering disebut sebagai ijtihad jama'i, sehingga menegaskan esensi kolaboratif dalam proses interpretasi hukum Islam nantinya.
Fungsi esensial dari bahtsul masail adalah memberikan fatwa keagamaan kepada masyarakat. Keputusan yang dihasilkan oleh bahtsul masail memiliki keterikatan kedudukan hukum secara khusus pada pihak yang mengajukan permohonan atau persoalan (fatwa) tersebut. Meskipun keputusan bahtsul masail menduduki status hukum yang lebih tinggi daripada fatwa individual yang dikeluarkan oleh seorang ulama, namun tetap berkaitan erat dengan kerangka kesepakatan internal organisasi (halaqoh/majlis), yang menetapkan bahwa pihak yang terlibat harus tunduk pada keputusan tersebut.
Kendati demikian, sekalipun diberi label sebagai fatwa, hasil dari bahtsul masail tidak dapat menandingi kekuatan hukum yang dimiliki oleh peraturan hukum formal yang berlaku. Dalam evolusinya, forum bahtsul masail bahkan telah mengembangkan sub-topik (bahasan) khusus yang secara eksplisit mengulas hukum formal di negara.
Seringkali, kita menemukan fenomena di tengah gambaran uraian persoalan BM yang berhubungan dengan status hukum dalam kacamata fiqih, yaitu proses saling menyanggah, saling membantah, saling menyangkal pendapat peserta lain. Sebab, mengingat dalam setiap peserta (musyawwirin) datang ke dalam forum BM tidak dengan pikiran kosong alias abal-abal. Sebenarnya para peserta telah mempersiapkan beragam dalil (argumentasi) matang yang dipakai untuk memperkuat pendapat mereka dari beberapa literatur kitab kuning, khususnya yang membahas seputar fiqih.
Peserta BM cenderung melibatkan diri dalam tindakan sanggah menyanggah sebagai cara untuk menegaskan keunggulan diri (intellectual superiority). Keterlibatan ini sering kali dipicu oleh pengantar masalah yang telah diberikan kepada musyawwirin beberapa hari sebelumnya, sehingga memungkinkan baik musyawwirin maupun peserta untuk menyiapkan argumen sebelum sesi BM dimulai. Intensitas interaksi ini bervariasi tergantung pada tingkat kesulitan permasalahan yang dibahas. Jika semakin rumit masalahnya, semakin sering peserta akan saling menyanggah. Namun, kecenderungan fenomena ini bisa menimbulkan persepsi negatif bahwa bahtsul masail hanya menjadi panggung perdebatan tanpa arah.
Dalam setiap forum bahtsul masail, peserta diharapkan memiliki pemahaman mendalam terkait bagaimana berlogika dengan baik dan retorika yang persuasif. Kompetisi di antara santri sering kali menjadi panggung demonstrasi keterampilan berfikir analitis serta kecermatan dalam mengusut suatu permasalahan beserta referensi tekstual (ibaroh)nya. Hasilnya menentukan siapa yang mendapatkan apresiasi dan siapa yang harus menghadapi kritik tajam, sehingga mencirikan dinamika umum dalam perdebatan BM ini. Setelah serangkaian interaksi dirasa cukup, moderator memberikan kesempatan kepada mushohhih (pengarah), yang biasanya diperankan oleh seorang Kiai, asatidz, atau santri senior untuk memberikan evaluasi terhadap argumen peserta. Namun, dalam praktiknya, pandangan yang disampaikan oleh mushohhih tidak selalu diterima sepenuhnya oleh peserta, meskipun kemampuan mereka dapat dianggap berada di atas "average" peserta lainnya.
Dapat diinterpretasikan (disimpulkan) bahwa berbagai perilaku yang selama ini dianggap sebagai sumber kegelisahan dalam BM ini adalah kecenderungan seseorang untuk selalu menegaskan dominasi diri dengan merendahkan pihak (musyawwirin) lain, sehingga tindakan ini mencerminkan keinginan mendalam untuk mendapatkan penghargaan, pujian, pengakuan, serta validasi atas keunggulan intelektualnya dengan menciptakan kontras yang tajam antara dirinya dan lawan bicaranya yang diberikan kritik tajam, seringkali dicap dengan merinci kesalahan-kesalahan mereka.
Pada dasarnya, fenomena semacam ini bertentangan dengan prinsip dasar debat yang seharusnya bersifat kompetitif, ketika penentuan kemenangan tidak semata-mata didasarkan pada pembuktian superioritas, melainkan pada penentuan kebenaran argumen (ibaroh) yang bersifat subtansial dan faktual. Sebenarnya, BM di pesantren memperlihatkan potensi sebagai ruang pematangan pribadi (kedewasaan) bagi santri. Dengan memilih etika saling menghormati dan menjauhi sikap otoriter saat BM menjadi fondasi penting bagi mereka dalam menghadapi tantangan keagamaan di luar lingkungan pesantren. Hal ini akan membekali mereka dengan ketrampilan sosial dan keahlian yang esensial dalam menanggapi kompleksitas masalah keagamaan di masyarakat luas. Oleh karena itu, dalam BM, fokus seharusnya tertuju pada proses pencarian kebenaran empiris, bukan pada pencapaian "kemenangan" yang bersifat kritis.
Sebagai ilustrasi, kita dapat melihat sebuah narasi inspiratif melibatkan figur yang sangat dihormati, dijadikan teladan, yang saban hari kita jadikan acuan atas landasan hujjah yang kokoh, yakni Imam Syafii. Kiranya kita dapat membaca lanskap pemikiran imam besar kita bagaimana menumbuhkan sikap toleransi dan anti fanatisme terhadap lawan yang dalam hal ini bisa dikatakan sebagai kontrais dalam BM, misalkan.
Suatu ketika Imam Syafi’i berdebat dengan Sufyan ats-Tsauri. Beliau berselisih tentang kulit bangkai yang bisa suci dengan disamak. Imam Syafi’i menegaskan jika kulit bangkai secara permanen tidak dapat disucikan dengan cara disamak atas dalih bahwa dahulu Nabi Muhammad ﷺ pernah menulis surat kepada sahabat Juhainah yang berisi larangan memanfaatkan kulit dan urat bangkai. Sebagaimana termaktub dalam kitab Tuhfah at-Thalib bi Ma’rifati Mukhtashar Ibnu Hajib (hal. 200), ‘ala Imam Ibnu Katsir. إنّي كنتُ رخّصتُ لكم في جلود الميتة فإذا جاءكم كتابي هذا فلا تنتفعوا من الميتة بإيهاب ولا عصب Artinya, “Sungguh, aku memang telah beri dispensasi kepada kalian tentang kulit-kulit bangkai (yang suci dengan disamak). Maka, ketika suratku ini telah kalian terima, jangan sekali-kali memanfaatkan kulit dan urat bangkai lagi” (HR Abu Daud dan Ahmad).
Imam Sufyan ats-Tsauri justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, kulit bangkai bisa suci dengan cara disamak, atas dalil Hadits riwayat Abdullah bin Abbas tentang bangkai seekor kambing sedekah yang diberikan kepada seorang mantan budak Maimunah. Ketika itu, Rasulullah ﷺ tidak sengaja bertemu dengan para sahabatnya yang hendak membuang bangkai kambing tersebut. Lantas Nabi bersabda: هلاّ أخذتم إهابها فدبغتموه فانتفعتم به؟ فقالوا: إنها ميتة. فقال: إنما حرم أكلها Artinya, “Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu menyamaknya sehingga bisa dimanfaatkan? Para sahabat menjawab, ‘Ini sudah jadi bangkai’. Kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Bangkai itu haram ketika dimakan’,” (HR Muslim).
Imam Syafi’i dan Sufyan ats-Tsauri mempertahankan teguh pandangan masing-masing dalam perdebatan tersebut. Namun, menariknya setelah pertimbangan yang mendalam, Imam Syafi’i mengubah pendiriannya dan memilih mengikuti pandangan Imam Sufyan ats-Tsauri. Seiringnya waktu, Imam Sufyan juga mengubah pandangannya dan beralih ke pandangan awal Imam Syafi’i. Sebagai hasilnya, dalam kitab fiqih Syafi’iyyah, topik mengenai kebolehan (kesahihan) penyamakan kulit bangkai dan pemanfaatannya menjadi hukum yang dibahas, sebab berakar dari perdebatan beliau dengan Imam Sufyan.
Dalam kesimpulannya, meminjam perkataan imam syafii bahwa “Setiap kali berdebat dengan kaum intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tak berdaya”, mungkin dapat menjadi tolak ukur seseorang dalam berbahtsul masail yang kerap menjunjung kemenangan dalam berdebat. Ungkapan ini seharusnya menjadi ukuran bagi seseorang yang sering terlibat dalam diskusi ilmiah (BM), menegaskan bahwa pencarian utama adalah kebenaran (ittibaul haq). Oleh karena itu, penting untuk membuka diri terhadap penerimaan kebenaran serta menghargai keragaman pandangan seperti yang diamalkan oleh para salafus shalih. Sebagai catatan, Imam Syafi’i tak mau berdebat dengan orang pandir. Wallahu a’lam
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang