Nafsu adalah komponen dari diri manusia yang tidak bisa dipisahkan. Di sisi lain, nafsu merupakan bagian yang cenderung selalu mengajak pada sisi keburukan dan penyimpangan. Dalam mencapai maqam ma’rifat, kedudukan yang tertinggi seorang hamba allah, manusia dituntut mampu menundukkan hawa nafsunya. Syekh Sahal bin Abdullah at-Tustari pernah ngendikan: “seburuk-buruknya maksiat ialah menuruti ajakan nafsunya. Bila seorang murid mampu menjaga dirinya dari bisiskan nafsu dan melakukan dzikir, maka hatinya akan menjadi bersinar dan terjaga. Setanpun lari menjauh, sehingga gejolak perasaannya menjadi ringan. Ketika itulah, seseorang menjadi mudah untuk menundukannya”.
Untuk menundukkan nafsu, diharuskan mengurangi sedikit demi sekidit porsi makanan, berpuasa dan menahan lapar. Karena hakikatnya sebuah hawa nafsu tidak bisa ditundukkan selain dengan rasa lesu (baca: lapar). Dengan mengurangi makanan, maka energi nafsu akan menjadi lemah sehingga mudahlah untuk seseorang mengendalikan hawa nafsu. Syekh Muhyidin ibn Arabi menceritakan dalam Kitab Futuhat al-Makiyah, bahwasanya pada saat pertama kalinya menciptakan nafsu, Tuhan bertanya, “siapa aku?”. Nafsu membangkang dan berbalik bertanya, “siapa pula aku ini?”. Maka Tuhan murka dan memasukkan nafsu ke dalam telaga lapar hingga 1000 tahun. Kemudian barulah nafsu tersebut diangkat dan ditanyai kembali. “siapa aku?”. Setelah dimasukkan ke dalam telaga lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. “ Engkau adalah Tuhanku dan aku hanyalah hamba-Mu yang lemah”.
Begitu juga untuk menundukkan nafsu, seseorang sebisa mungkin mengurangi durasi tidurnya. Tidur merupakan kematian sementara. Selama tidur, seseorang tidak bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik urusan duniawi maupun akhirat. Memilih tidur dan menyampingkan bangun untuk sholat malam, berarti sama halnya menuruti hawa nafsu. Dan itu menunjukkan bahwa dalam diri seseorang belum ada rasa cinta kepada Allah. Di sisi lain, dengan bangun malam, lantas melakukan sholat malam, beristiqamah menjalaninya, maka oleh Allah akan menaikkan derajatnya dan bisa melihat alam malakut (alam atas yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa). Sehingga orang tersebut akan semakin bergairah dalam mencari ridlo Allah. Wallahu a'lam bishawab.
*) Disarikan dari pengajian KH. Ahmad Arif Yahya
Tim redaksi website PPMH