Di Jalatunda Kami Merasa Bertemu Airlangga
Jalanan menanjak diselingi tangga sesekali.
Kami berjalan menyusurinya
dan berhenti di hadapan sebuah gapura belah.
Kami membeli sebuah botol besar di warung,
sebuah blangkon, dan sebentang sarung Bali.
Kami berjalan lagi ke arah dalam.
Sebuah batu tampak lesu, sebuah arca tampak bisu.
Kami mandi di bilik-biliknya yang beku.
Di atasnya payung-payung doyong berdiri.
"Tidak boleh mendokumentasikan apapun
di sanggar pemujaan sebab ini tempat suci!"
Kami seperti membaca sebuah lontar
tetapi seorang teman meyakinkan, bukan!
Ketika matahari tampak miring ke arah yang seharusnya,
kami menyudahi ritus dan beranjak ke pendopo.
Seekor ulat bulu
hinggap ditubuhku.
Gatal-gatal merebak
entah sebuah kutukan atau sebuah perjumpaan.
Patirtan Jalatunda Mojokerto, 2023.
Istana Ganjil
Batu-batu membisu, kicau burung mengungsi ke jantung hutan, daun-daun berguguran sewaktu kami sampai di Bedander. Pohon-pohon melenyapkan udara purba; yang menyimpan rahasia tentang pelarian seorang raja, dan seorang mahapatih, dan beberapa prajurit, dan beberapa selir yang tak berambisi birahi. Hanya kelengangan yang kami dapatkan juga angin yang sesekali menyapu hamparan padi dan jati, tak ada arca yang mampu membisikkan rahasia, bata-bata candi, lingga yoni, atau apa saja yang mampu meyakinkan kami bahwa tanah ini pernah ternoda oleh mani seorang raja cabul dan seorang patih yang gemar mengucurkan getih.
Tetapi salah seorang teman bersikeras, ”konon Jayanegara diboyong oleh Gajah Mada sewaktu Ra Kuti melengserkannya dari singgasana dengan penuh dendam, tetapi ketika sore menjelang, Mada; yang konon mampu menyatukan Nusantara membuat lubang di dada kiri Kuti hingga mati, dan Jayanegara, yang dicap sebagai raja cabul itu kembali duduk di keraton sebelum lingsir matahari.“ Kami tak percaya begitu saja, namun salah seroang teman kami yang lain menambahkan, “dan di Bedander, konon istana gaib, yang tak terbuat dari batu bata didirikan untuk melenyapkan pelarian dan persembunyian!” Kami tak pernah percaya, benar-benar tak pernah percaya.
Lantas kami beranjak dari tempat itu, dan di ujung jalan, di antara batas Bedander dan sawah-sawah, samar-samar bayangan sebuah istana yang ganjil mengambang di awang-awang.
“Beberapa rahasia memang sepatutnya tetap menjadi rahasia.” kataku sebelum kami benar-benar pergi.
Mojokerto, 2022.
Panggung Agung
Sebuah patok gajah yang wingit, dan kami berjalan masuk memunggungi relief-relief yang tak pernah kami tahu artinya. Di hadapan kami, sebuah gapura menjulang, tak ada Mada, tak ada Amukti Palapa, hanya ada desir angin dari masa lampau yang mengiringi kebisuan situs ini.
“Konon, seorang patih besar, berdiri gagah mengucap sumpah; tentang penaklukan wilayah-wilayah Nusantara, dan suara itu terdengar amat panjang, memintas zaman, membelah ingatan.” Ketika kami di Panggung Agung, kuping kami yang tak teliti mendengar suara liyan.
Mojokerto, 2023.
Menziarahi Kedalaman Segaran
Di kedalamannya,
ia menyimpan kebesaran Wilwatikta
sekaligus siasat licik sang raja sewaktu raja-raja lain
dari negeri yang liyan; Tanjung Pura, Bali, dan masih banyak lagi
berdatangan ke tepi Segaran
hanya untuk menyaksikan kebesaran, kekayan, dan kedigdayaan
Wuruk; sang raja agung,
dan Mada; sang patih setia.
Di kedalamannya,
ia menyimpan sejarah dan serapah,
sewaktu tamu-tamu raja pergi
dan sebentang jaring diangkat dari dasar kolam
setelah sebelumnya piring-piring dan gelas emas
dibuang untuk melanggengkan kuasa
serta meluaskan keagungan.
Di tepian,
kami hanya membentangkan lamunan panjang
dan angan-angan sebelum sore beranjak,
dan ziarah ini berakhir.
Mojokerto, 2022.
Di Bajang Ratu, Cinta Takkan Rompal
Bulan padam menyisakan bayang
hitam menjulang.
Angin masa lalu menyelinap ke jantungku
mendebarkannya
menumbuhkan ingatan-ingatan lampau
yang berserak di sepanjang tapak jalan
dan peta kecemasan yang kutemu di wajahmu.
Kita telah sampai di sebuah gerbang, Sayang.
Batas antara sekala dan niskala
batas antara cinta dan kehilangan selanjutnya.
Lalu langkahmu yang pradaksina
menuntunku kepada sebuah perjalanan sandyakala.
Jadilah engkau metafora, Sayang!
Tak perlu bersedu sedan.
Bila tubuhmu growong bajang ratu
aku desir angin yang mencatat riwayatmu.
Apabila engkau barisan relief padma
aku telaga dari danau Dewa-Dewa yang kehilangan suara.
Dan jika cintaku adalah kekudusan lingga
sudilah kau menjadi yoni. Abadi! Abadi!
Apakah kau bersedia menjadi selir garwa bila aku Wijaya?
Apakah kau bersedia menjadi bunga-bunga
bila aku kanal-kanal yang merayap
di sepanjang tanah ibu kota?
Tak ada jawaban
selain kebisuan dan suara ganjil dari kesedihanmu yang liyan.
Gelap semakin menyergap
kelengangan mengambang di udara.
Sejenak kau menyudahi pradaksina
melepaskan genggam
dan aku mendengar lagi sebuah suara
entah tangis atau sepupuh tembang yang giris.
Secepat kilat
kau telah berjalan ke langkan depan
Sedangkan aku membatu
serta tekun membaca silsilahmu
“Pergilah ke arah masa depan, Sayang!
Tak perlu kau cemaskan aku.
Tak perlu kau pikirkan aku.
Sebab aku situs lampau yang mesti disingkirkan,
dihabiskan!
Percayalah,
cintaku arca yang takkan rompal,
rinduku aksara lontar yang seringkali
tak tereja.”
Asap dupa kian meninggi meninggalkan tilas latu
lalu jarak mencumbu kita
semakin jauh,
jauh melenyapkan waktu
dan perjumpaan-perjumpaan.
Mojokerto, 31 Desember 2023-01 Januari 2024.
Ade Kurniawan, laki-laki kelahiran Jombang, Kamis Kliwon 09 Januari 2003. Takdir membawanya untuk merawat pikiran di .Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Suka menulis puisi dan beberapa kali memenangkan kompetisi sayembara puisi.