“Fiqih ya fiqih, tapi ya kudu di-akhlak-i”
-Ust. M. Asruhin
Sudah lumrah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita, umat Islam menggunakan hukum fikih sebagai pedoman penyelesaian berbagai masalah. Fikih berisi pengetahuan tentang hak dan kewajiban kita kepada sang Ilahi. Fikih membahas masalah-masalah pribadi, bermasyarakat, hingga tata cara menyembah.
Namun, sekalipun hukum, nampaknya fikih bukanlah ilmu pasti. Untuk membuat keputusan, beberapa faktor harus diantisipasi. Kita harus pintar-pintar melihat kondisi. Kita tak boleh lengah membaca situasi. Juga jangan sampai melupakan toleransi.
***
Saat itu Sabtu malam. Seperti biasanya, penulis beserta rekan-rekan satu kelas dari Pondok Pesantren Miftahul Huda hadir di ndalem ust. M. Asruhin untuk mendengarkan beliau menyampaikan ilmu fikih. Beliau membantu membacakan kepada para santri teks asli bahasa Arab dari kitab Fathul Muin beserta maknanya dalam bahasa Jawa kitab. Sesekali beliau memberi jeda untuk memberikan penjelasan tambahan pada kalimat-kalimat tertentu.
Di tengah-tengah pembacaannya pada bab sedekah, pada lafal;
لا يسن اتصدق (بما يحتجه) بل يحرم بما يحتجه إليه
"Seseorang tidak disunahkan bersedekah dengan sesuatu yang dia sedang butuhkan, justru diharamkan menyedekahkan sesuatu yang sedang dia butuhkan."
beliau memberikan jeda sejenak. Kata-kata selanjutnya yang beliau sampaikan adalah agar para santri juga harus memperhatikan tata krama ketika berpegang pada hukum fikih. Kemudian beliau menceritakan kembali bagaimana sayyidina Ali bersikap ketika dihadapkan pada situasi di mana akhlak diutamakan di atas lafal pada kitab Fathul Muin yang baru saja beliau bacakan.
***
Ketika itu, sayyidina Ali sedang berpuasa untuk memenuhi nazarnya selama tiga hari. Sang istri beserta anak-anak mereka pun ikut berpuasa menemani sayyidina Ali.
Pada puasa hari pertama, beberapa jam menjelang maghrib tiba, beberapa potong roti telah tersedia di atas meja makan mereka untuk berbuka puasa. Namun, mendekati waktu berbuka, seseorang mengetuk pintu rumah mereka. Ketika pintu dibukakan, nampaklah seorang pengemis kelaparan yang meminta-minta. Merasa iba, sayyidina Ali memberikan roti bagiannya berbuka kepada pengemis tersebut. Melihat keadian tersebut, sang istri beserta anak-anak mereka pun ikut memberikan jatah berbuka mereka. Jadilah pada puasa hari pertama keluarga sayyidina Ali hanya berbuka dengan meminum air putih.
Hal yang hampir sama terjadi pada hari ke dua mereka berpuasa. Kali ini pintu rumah sederhana mereka diketuk oleh seorang anak yatim. Semua roti berbuka mereka, kembali mereka sedekahkan. Kali ini untuk si anak yatim. Pada puasa hari ke dua, lagi-lagi keluarga sayyidina Ali hanya berbuka dengan meminum air putih.
Pada hari ke tiga, seorang tawanan perang yang lepas mengetuk pintu rumah sayyidina Ali beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang. Dia meminta sedekah karena selama beberapa hari lambungnya tak terisi. Keluarga sayyidina Ali memberikan roti berbuka mereka pada maghrib yang ke tiga kepada si tawanan perang. Sehingga, Pada puasa hari ke tiga, lagi-lagi keluarga sayyidina Ali hanya berbuka dengan meminum air putih.
***
Pada kondisi seperti kisah di atas, mungkin tak seharusnya sayyidina Ali memberikan jatah roti berbuka beliau. Roti tersebut merupakan sesuatu yang dia butuhkan untuk berbuka. Bukankah telah dinyatakan bahwa tidak disunahkan menyedekahkan sesuatu yang seseorang sendiri sedang membutuhkannya ?
Mari kita lihat dari sudut pandang akhlak. Akankah seorang sayyidina Ali membiarkan seorang pengemis, atau seorang anak yatim, atau seorang tawanan perang kelaparan di luar rumahnya ? Nyatanya, justru beliau lebih membiarkan dirinya sendiri kelaparan dan sekaligus, mungkin, melanggar hukum fikih demi orang-orang yang mengetuk pintu rumahnya dan mengharapkan sedekah.
***
Hukum fikih bukanlah sesuatu yang terlalu mengikat. Dia adalah petunjuk agar seorang muslim tak tersesat.(wql)
Penulis adalah Santri PPMH yang sedang menempuh studi Strata-2 Sastra Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang juga biasa berkicau di @wiqoyil_islama