Salah satu pelajaran berharga dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah agar kita menerima kebenaran Islam ini dengan dalil naqli di samping dalil aqli. Dalam menyikapi ajaran agama Islam baik menyangkut keimanan, peribadatan, maupun akhlaq kita harus mendahulukan atau mengutamakan dalil naqli (dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits) daripada dalil aqli (dalil yang bersumber dari hasil pemikiran manusia). Sebab kecerdasan manusia pastilah terbatas. Keterbatasan ini membuat banyak manusia tidak mampu membuka tabir kebenaran yang seharusnya mereka yakini. Belum lagi kepentingan-kepentingan tertentu yang sering mempengaruhi akal sehat manusia. Kepentingan-kepentingan tersebut sering kali menjadikan manusia tidak mampu memutuskan persoalannya sesuai dengan yang seharusnya.
Mendahulukan dalil naqli bukan berarti mengabaikan sama sekali terhadap dalil aqli. Islam memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada umatnya untuk mendayagunakan akal pikirannya untuk mengkreasi apa yang telah diterimanya dari Al Qur’an dan Al Hadits. Tentunya kriatifitas ini tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil naqli yang sharih. Buah dari kreatifitas ini adalah hasil-hasil ijtihad para ulama’ mujtahid, yang berupa disiplin-disiplin ilmu yang terwujud dalam kitab-kitab tentang keimanan, peribadatan, muamalah, munakahah, akhlak dll.
Keterlibatan akal pikiran dibutuhkan umat Islam antara lain dalam berdakwah. Allah SWT berfirman yang terjemahannya sebagai berikut: “Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (An Nahl: 125).
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa di dalam berdakwah kita harus mengajak orang lain menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT dengan tutur kata yang baik, dengan pemberian contoh yang baik, dan melakukan mujadalah (berdiskusi) yang baik pula. Jadi, mujadalah (berdiskusi atau memberikan bantahan) merupakan salah satu teknik untuk berdakwah. Tentu seseorang akan mampu berbantah dengan baik apabila mampu menggunakan akal pikirannya dengan baik pula.
Akal pikiran juga sangat diperlukan dalam pengamalan ajaran Islam. Keterlibatan akal pikiran di dalam pengamalan ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan. Dalam shalat misalnya, orang yang shalat haruslah memasukkan shalat tersebut di dalam akalnya. Tidaklah diterima shalat seseorang yang tidak masuk di akalnya atau tidak khusyu’ dalam shalatnya. Hanya bagian amalan shalat yang dikerjakan dengan memenuhi syarat kekhusyuanlah yang diterima oleh Allah. Artinya, besarnya kadar pahala shalat seseorang yang diberikan oleh Allah disesuaikan dengan kadar kekhusyuannya dalam shalat itu.
Di antara penggunaan akal pikiran dalam beribadah adalah apa yang disebut dengan tafakkur. Tafakkur merupakan amalan mengenali kekuasaan Allah SWT melalui ayat-ayat kauniyah. Di dalam kitab Al Jami’ ash Shaghir disebutkan sebuah Hadits yang terjemahannya: “Bertafakkurlah kalian terhadap makhluk Allah dan jangan bertafakkur terhadap Dzat Allah, maka kalian akan sesat”.
Penulis adalah staf pengajar di Madrasah Diniyah matholi’ul Huda dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Negeri Malang.