Mempercayai Peristiwa Isra’-Mi'raj Harus Dengan Iman (Bagian 3 - Pola Pikir Para Nabi)

Senin, 20 Feb 2023, 09:01 WIB
Mempercayai Peristiwa Isra’-Mi'raj Harus Dengan Iman (Bagian 3 - Pola Pikir Para Nabi)
Masjid Baiturrahman, PP. Miftahul Huda Gading Malang. (Foto: Dok. PPMH)

Sebagai umat Islam kita diperintahkan untuk mengenali kekuasaan Allah dengan segala sifat mulya dan keagungan-Nya dengan mengenali, merenungkan, dan memikirkan secara mendalam terhadap segala ciptaan-Nya. Termasuk mengenali dirinya masing-masing. Dengan demikian,ia akan mengenali kemahaagungan Allah SWT. Dalam konteks ini dikatakan bahwa “Barang siapa mengenal dirinya (dengan baik) sungguh telah (mampu) mengenal Tuhannya). Tapi kita harus ingat bahwa kita dilarang memikirkan dzat Allah, sebab pikiran kita tidak akan mampu menjangkaunya. Kalau hal ini kita lakukan maka kita akan tersesat. Jadi, tafakkur sangat kita butuhkan dalam meningkatkan kualitas iman dan ibadah.

Pola pikir para Nabi  

Para rasul dan para nabi merupakan orang-orang yang selalu langsung meyakini apapun yang diterimanya dari Allah SWT. Mereka menerima seruan dan perintah Allah tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Ketika Nabi Nuh mengadu kepada Allah lantaran dakwahnya yang sudah 400 tahun tidak disambut dengan baik oleh umatnya, ternyata Allah justru menyuruhnya menanam pohon. Maka ditanamlah pohon tersebut dengan tanpa bertanya untuk apa beliau harus menanamnya. Setelah 400 tahun berikutnya beliaudiperintahkan oleh Allah untuk memotong pohon tersebut untuk dibuat perahu walaupun beliau berdomisili di daerah yang jauh dari lautan, beliaupun langsung membuatnya tanpa bertanya mengapa Allah menyuruhnya membuat perahu. Beliau hanya diberitahu bahwa orang-orang yang zalim akan ditenggelamkan oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an Surat Hud: 36-37: “Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman, karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”.

Demikian juga Nabiyullah Ibrahim alaihis salam. Ketika beliau diperintahkan untuk berkhitan, beliaupun tanpa berpikir panjang dilaksanakanlah perintah berkhitan itu. Ketika diperintah untuk meninggalkan anak dan istrinya di lembah gersang Mekah yang kering tanpa tersedia bahan makanan dan air (lihat Al Qur’an Surat Ibrahim: 37). Ditinggallah istri tercinta beserta anak bayinya di tempat tersebut untuk menjalankan perintah Allah. Para Nabi itu yakin-seyakin-yakinnya  bahwa perintah Allah pastilah baik, dan Allahlah yang mencarikan jalan keluar dari akibat pilihannya itu.

Sikap yang demikian inilah yang menghiasi kehidupan Rasulullah SAW yang juga diajarkan kepada para sahabatnya. Abu Bakar Ash Shiddik salah satu sosok sahabat beliau yang mewarisi pola pikir yang demikian. Abu Bakarlah manusia pertama yang membenarkan cerita Rasulullah mengenai perjalanan Isra Mi’raj yang menghebohkan masyarakat itu.Sejak saat itu beliau memperoleh julukan assiddiq (orang yang selalu membenarkan apa saja yang disampaikan Rasulullah SAW kepada umat Islam) karena membenarkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ketika orang-orang lain mendustakannya.

Berdasarkan paparan di depan kami mengajak diri saya sendiri dan para hadirin untuk menerima apa saja yang dibawa oleh junjungan kita Rasulullah SAW dengan keimanan, bukan dengan mendahulukan akal pikiran. Sebab, kemampuan akal pikiran kita sangat terbatas.Mari kita gunakan akal sehat ini pada tempat yang tepat, yaitu untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ibadah kita kepada Allah SWT.

Ustadz H. M. Qusyairi  Nabi Muhammad SAW  Nabi Ibrahim As  Kisah Nabi  Isra' Mi'raj 
Ustadz Drs. H. M. Qusyairi, M.Pd.

Penulis adalah staf pengajar di Madrasah Diniyah matholi’ul Huda dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Negeri Malang.

Bagikan