Hikmah - Saya teringat pada mata perkuliahan hikmatut tasyri’ beberapa tahun yang lalu, pada salah satu sesi perkuliahan saya sempat bertanya tentang maraknya buku-buku hikmah saat ini. Kurang lebih pertanyaan saya seperti ini;
“Saat ini bisa kita temukan banyak buku-buku yang berisi hikmah-hikmah dari sebuah syariat dalam islam, sebenarnya sejak kapan hikmah ini mulai marak diperbincangkan? Apakah pada zaman sahabat sudah banyak ditemukan hikmah-hikmah tersebut? jika tidak, mengapa demikian kondisi apa yang membuat perbedaan itu?”
Kemudian dosen saya tersenyum, “ini mungkin kenyataan yang unik, pada zaman sahabat tidak begitu banyak dicari hikmah-hikmah dari sebuah syariat islam. Mungkin karena dekatnya para sahabat dengan Rasul, kedekatan itu menimbulkan cinta dan cinta membawa hati kepada kepatuhan mutlak. Sebaliknya saat ini, saat kita semakin jauh dari zaman rasul maka cinta itu semakin pudar, jadi selain kemurnian cinta kita butuh alasan –alasan lain agar bersedia menjalankan ibadah.”
Saat itu saya sudah puas dengan jawaban dosen saya, karena memang maksud dari pertanyaan saya adalah untuk menyinggung keberadaan mata kuliah hikmatut tasyri’ itu sendiri, kenapa saat ini kita begitu gencar mencari-cari hikmah dalam syariat islam, kenapa dulu saat nabi masih hidup, sahabat tidak langsung menanyakan hikmah-hikmah dari syariat islam kepada nabi? Kalau yang dikatakan dosen saya benar, maka cinta kita kepada rasul dan Pengutusnya benar-benar telah menurun. Kita beribadah demi mencari keuntungan-keuntungan, cara pandang kita begitu pragmatis. Kita sholat malam karena mengetahui ibadah pada malam hari mampu mencerdaskan dan menyehatkan, kita berpuasa karena mampu memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak, yang ada di hati kita saat beribadah adalah hikmah-hikmah tersebut sedangkan Tuhan dan Rasul-Nya hanya kita taruh di dinding sebagai hiasan ruang tamu.
Contoh lain yang saat itu saya temukan adalah hikmah dari larangan dalam syariat islam, ketika kita menemukan hal-hal berbahaya dalam babi, kita begitu bangga dengan temuan itu dan sejenak kagum dengan syariat islam , namun yang riskan adalah ketika kita ditanya; “kenapa babi itu diharamkan?” lalu kita menjawab; “sebab di dalam babi ada cacing pita”. Benarkah demikian? Lalu seandainya cacing pita itu dihilangkan apakah babi bisa menjadi halal? Apakah tidak lebih baik bila kita mengatakan; “babi itu haram karena memang dilarang oleh Allah dan Rasulnya”? Lalu bolehlah kita menjawab, “sebab babi mengandung cacing pita” bila yang ditanyakan kepada kita adalah; “mengapa babi itu berbahaya?”
Beberapa contoh ini menggiring pemikiran saya saat itu, sehingga saya menyimpulkan bahwa hikmah-hikmah itu adalah jebakan. Ya, hikmah dari syariat islam adalah jebakan yang mengoplos kemurnian cinta kita kepada Allah dengan hal-hal yang materialistis dan semu.
Tapi beberapa tahun kemudian saya berpikir lagi berkaitan dengan perihal hikmah ini, saya hubungkan dengan pertanyaan apakah benar bahwa ekspersi dari cinta hanya kepatuhan? Tidak bisakah kita mengekspresikan cinta dengan bermesraan? Apakah cinta haruslah membuat mata kita tertunduk takdzim? Tidak bisakah kita sedikit memandang balik kepada yang kita cintai? Apakah cinta hanya membuat kita menerima dan mendengarkan dengan pasrah? Tidak bisakah kita sedikit memberikan curahan hati dan berbincang-bincang?
Kemudian saya menyadari bahwa pertanyaan kedua yang lebih cocok di hati saya, maka sebenarnya tidak ada yang salah dalam mencari hikmah bila dalam pencarian hikmah itu kita justru bisa lebih bermesraan dengan Pencipta hikmah itu sendiri, kita seolah-olah bisa berbincang-bincang dengan-Nya, mencoba menerka-nerka kebaikan-kebaikan-Nya, sehingga hasil akhir yang kita dapatkan adalah bertambahnya rasa cinta kita kepada-Nya.
Hikmah bukanlah tujuan kita, hikmah bukanlah stasiun akhir yang kita tuju, hikmah hanyalah kereta yang bisa mengantarkan kita untuk mendekat atau menjauh dari stasiun yang kita rindukan-untuk pulang.
Tim redaksi website PPMH