Tatkala aku berdiri menghadap ke utara, sinar mentari menyapaku dari arah timur laut. Aku pun berusaha menggapainya, namun tak juga berhasil. Karena pecahan ombak ini terus menghantamku. Mendesir, mendayu, bergerak cepat! Kian kuat dan kiat dekat. Seolah kumpulan ombak ini sedang berorasi. Menunaikan haknya di negara yang katanya menjujung demokrasi.
Apa...? Apa yang hendak kau katakan?
Aku berteriak kepada ombak itu sendirian seperti lagunya Ebit G. Ade. Tapi kali ini aku tak terpaku meratap langit. Tiba-tiba pandanganku terjatuh ke segerombolan anak yang sedang membuat benteng pasir di tepi pantai. Benteng yang begitu kokoh sedang berusaha didirikan.
Serang....! Suara anak itu membuatku gempar, telingaku berdenging kencang.
Pertahankan.....! Awas musuh datang.....! Teriak temannya menimpali.
Jangan sampai benteng kita direbut! Rudalnya......!! Cepat!
Rudal pasir pun meluncur jauh. Menyerang kabut yang datang dari musuh. Mereka terus sibuk menyerang sekumpulan asap pekat yang berkali-kali datang. Serangan rudal itu berhasil menepis senjata asap musuh sebelum meledak. Aku terkejut, serasa perang dunia ke-II benar-benar terjadi kembali.
Padahal sekelompok lelaki berkumis itu hanya sedang mengadakan rapat di bebatuan pantai. Berbicara berbusa-busa sembari saling berlomba mengepulkan asap rokok. Asap itu pun terbang ke langit membentuk seperti cendawan. Membuat langit mendung, banyak para nelayan kesiangan berlayar, pegawai TPI juga terbirit-terbirit menyiapkan lelang ikan. Tahun ini permintaan pasar memang melambung tinggi karena harga ikan yang terjun bebas. Sesuai teorinya Adam Smith.
Maka sampailah kepulan asap mereka pada benteng anak kecil itu. Seketika, langsung disambut geram oleh rudal pasirnya. Tapi sayangya ikan-ikan sudah terlanjur tidur, kapal-kapal tak mau berlayar lagi. Ombak yang tadinya berorasi kini sudah lelah menanti. Realita memang tak seindah ekpektasi. Angin hulu kini sudah menghampiriku. Mentari yang cerah berubah menjadi petang. Seakan kiamat ingin segera datang. Semilir agin juga kian terasa kencang. Mengikuti ombak yang pergi, berjalan pelan.
Tunggu.....! mau kemana kau? Bukannya dirimu tadi belum sempat mengatakanya?
Langkahku berusaha mengejar larinya ombak. Tiba-tiba kakiku berhenti, tak sanggup mengejarnya lagi. Sampai akhirnya kudapati gelombang itu sedang bersuara lirih:
“Mengapa mereka tak memberdayakanku, padahal tubuhku ini penuh dengan kekayaan?”
Seketika itu suasana berubah seratus delapan puluh derajat. Awan yang tadinya mendung berubah menjadi terang. Para nelayan yang sedang tidur spontan langsung terbangun kelabakan. Laksana Jack Sparrow yang tak pernah lelah berpetualang. Mereka ingin berangkat melaut. Dengan gagahnya mereka tarik kapal-kapal, berteriak lantang ho… ho….ho…. bergaya bak Laksamana Cheng-Ho. Sadar, kan betapa besarnya kehebatan maritim yang mereka miliki.
Kini, orang-orang di sekitarku tak mau lagi menyebutnya dengan lautan. Kata mereka:
“Ini bukan lautan, tapi hanyalah kolam susu yang sudah lama terbentang.”
Malang, 17 Agustus 2020