Satu pelajaran berharga yang kerap kutemukan dalam menjalani kehidupan, terutama saat harus bergulat dengan peliknya realitas dunia modern, adalah pentingnya rendah hati dalam beriman. Di tengah arus masyarakat urban yang kian kompleks, dorongan untuk tampil seolah sebagai penyelamat sering kali menimbulkan pergolakan batin, apalagi jika kita menyadari keterbatasan iman dan karakter pribadi. Dalam merenungkan soal iman, agaknya penting bagi kita untuk kembali menghidupkan ajaran yang kerap diingatkan oleh Gus Baha, yakni menggunakan logika kenabian sebagai cara berpikir dan bersikap.
Memahami logika kenabian selalu menghadirkan ruang perenungan dalam keseharian—seakan setiap kejadian menyimpan pelajaran yang bisa dipetik. Cara paling sederhana untuk menjangkau cara berpikir ini adalah dengan mencoba menempatkan diri dalam posisi seorang nabi ketika berinteraksi dengan sesama. Namun, perlu kita sadari bahwa sosok nabi memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah, dan situasi sosial pada masa kenabian yang tentu sangat berbeda dengan konteks kita hari ini. Sebagai manusia biasa, dengan keimanan yang ringkih—serapuh serat kayu lapuk yang mudah diterpa angin—tidak pantas rasanya jika kita merasa setara dengan keteguhan iman maupun kebijaksanaan laku nabi. Lantas, dari mana seharusnya kita memulai menjadi muslim yang beriman baja?
Seorang nabi tak pernah meletakkan kebenaran di kaki kekuasaan atau popularitas. Ia berbicara karena kebenaran harus disuarakan, bukan karena ia akan disukai. Di dalam paradigma ini, kemenangan bukanlah diukur dari jumlah pengikut, tetapi dari keteguhan menyampaikan pesan ilahi, meski tak digubris. Suatu ketika, saya pernah menemani seorang Kiai sepuh yang setiap pekan mengisi pengajian di sebuah dusun kecil. Jumlah jamaahnya tak pernah lebih dari tujuh orang—kadang malah hanya dua atau tiga. “Kenapa masih datang terus, Kiai?” tanyaku suatu malam. Beliau hanya tersenyum dan berkata, “Karena yang datang belum tentu yang mendengar. Dan yang mendengar belum tentu yang mengerti. Tapi siapa tahu, dari satu telinga yang terbuka, Allah gerakkan hati yang mengubah kampung ini”.
Logika dunia berkata bahwa barangkali pengajian itu seolah gagal, tidak berdampak, dan sia sia. Tetapi, dalam logika kenabian, itu adalah bentuk istiqamah yang nyaris mustahil dilakukan tanpa kesadaran bahwa kita hanyalah penyampai, bukan pemilik hasil. Kita belajar dari para nabi bahwa tugas kita bukan menaklukkan dunia, tapi menundukkan diri pada amanah Tuhan. Di sinilah logika kenabian menempati kedalaman yang tak bisa dijangkau oleh akal pragmatis, bahwa kebaikan kadang tak tampak hasilnya di depan mata, tapi mengendap di langit.
Maka, jika ingin mengawali keberislaman dengan benar, mungkin langkah pertama adalah berhenti mengukur semua hal dengan ukuran duniawi. Kita belajar bersabar, tak tergesa-gesa ingin dipahami. Kita terus menyampaikan, meski dianggap membosankan. Kita berbuat baik, meski tak viral. Karena dalam logika kenabian, nilai bukan ditentukan oleh mata manusia, tetapi oleh pandangan Allah yang Maha Lembut menilai setiap niat dan usaha.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang