Menafsir Sasmita Kebebasan Pasca-Pesantren

Selasa, 18 Mar 2025, 00:01 WIB
Menafsir Sasmita Kebebasan Pasca-Pesantren
Pesantren juga merupakan ruang kebebasan

Pendidikan kedisiplinan di pesantren menawarkan berbagai tujuan yang tidak hanya terbatas pada aspek akademik, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembentukan karakter yang berorientasi pada kebermanfaatan jangka panjang (tarbiyah ruuhiyah). Manfaat ini tidak dirasakan oleh santri sebagai individu yang menjalani proses pendidikan, tetapi juga oleh keluarga serta pihak pesantren yang berperan dalam membimbing dan membentuk mereka. Sistem aturan yang terstruktur di pesantren menciptakan pola hidup yang khas, ketika kedisiplinan dan ketertiban menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian santri.

Ketika dibandingkan dengan sistem pendidikan formal yang umumnya berlangsung selama 5 hingga 8 jam per hari, model pembelajaran di pesantren jauh lebih ekstensif. Santri menghabiskan lebih dari dua pertiga waktunya dalam lingkungan pesantren dengan hanya sekitar 30 persen dari total aktivitas dilakukan di luar. Hal ini memungkinkan internalisasi pengetahuan secara komprehensif, baik dalam aspek intelektual, spiritual, maupun sosial (Triadic Intelligence).

Pendidikan di lingkungan pesantren tidak sekadar terkungkung dalam ruang-ruang pembelajaran diniyyah maupun forum musyawarah formal (majlis syura), melainkan juga terwujud dalam praksis sosial yang merepresentasikan suatu mikrokosmos masyarakat. Hal ini menjadi aktualisasi nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang berimplikasi pada terbentuknya ekosistem pendidikan yang berkesinambungan. Sebagaimana tergambar dalam konstruksi visi dan misi institusionalnya, pesantren berorientasi pada kaderisasi ulama yang memiliki keluasan ilmu (wawasan) serta integritas moral yang luhur.

Setiap aktivitas di pesantren telah disusun dengan sistem yang memungkinkan santri untuk berkembang secara mandiri maupun dalam lingkungan komunitas yang lebih luas. Proses pembelajaran ini mencakup aspek akademik yang diajarkan dalam kurikulum formal pesantren, serta penguatan nilai-nilai keislaman yang diterapkan melalui tradisi keilmuan khas pesantren, seperti halaqah, musyawarah, dan tafaqquh fii ad-diin.

Nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas berfungsi sebagai fundamen epistemik dalam kehidupan kepesantrenan. Namun, paradigma semacam ini patut direevaluasi, terutama dalam menakar tingkat internalisasi keilmuan dan religiusitas seorang santri pasca boyong Pertanyaan esensial yang muncul adalah bagaimana mengukur kadar pemahaman dan pengamalan nilai-nilai tersebut ketika santri tidak lagi berada dalam habitus pesantren.

Di dalam perspektif tertentu, pesantren kerap dipandang sebagai ruang disipliner keagamaan atau dalam istilah yang berkembang di tengah masyarakat, dianggap sebagai penjara suci (sacred prison). Oleh karenanya, timbul perenungan kritis bahwa apakah keterlepasan dari kungkungan struktural (structural confinement) ini dapat menjamin keberlangsungan kesakralan moral seorang santri di lingkungan eksternal? Mari kita refleksikan bersama secara lebih mendalam.

Fenomena semacam ini dapat dikaji melalui beberapa catatan kritis, terutama dalam ranah kontrol kebebasan. Di dalam perspektif kebebasan, Bintu Syathi, seorang mufassirah dan sastrawan Mesir, dalam tafsirnya Maqāl fī al-Insān; Dirāsah Qur’āniyyah, mengelaborasi makna kebebasan dalam Al-Qur'an melalui empat kategori utama. Pertama, kebebasan penghambaan (servitude freedom) yang merupakan tingkat kebebasan paling rendah, kedua kebebasan berakidah (faith-based freedom) yang merepresentasikan nilai eksistensial dalam kemanusiaan, ketiga kebebasan akal (intellectual freedom), serta yang paling kompleks adalah kebebasan berkehendak (free will). Di dalam persoalan tersebut, aspek yang paling relevan adalah kebebasan berkehendak, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. An-Najm [53]: 39–42: "Dan manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya. Dan segala upayanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian ia akan diberi balasan dengan balasan yang paling sempurna. Dan kepada Tuhanmulah segala sesuatu akan bermuara." Ayat ini menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas pilihan dan usaha yang dilakukannya, bahwa konsekuensi dari kebebasan tersebut akan termanifestasikan dalam pertanggungjawaban akhir di hadapan Tuhan.

Ayat kebebasan ini serupa sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Syekh Ahmad ibnu Hijazi Al-Fasyani dalam Al-Majalisus Saniyyah, bahwa ada dua bersaudara dengan perilaku yang berbeda. Sang kakak adalah sosok yang taat beribadah, sementara adiknya larut dalam kemaksiatan. Mereka tinggal dalam satu rumah, saudara pertama di lantai atas dan saudara kedua di lantai bawah. Suatu hari, saudara yang taat mendapatkan bisikan yang meragukan cara hidupnya. Bisikan tersebut menggoda untuk mengikuti saudara yang bermaksiat, dengan alasan menikmati kesenangan dunia dan bertobat ketika sudah tua.

Tergoda oleh bisikan itu, saudara pertama berniat mengikuti saudaranya yang pemabuk. Namun, saat sampai di bawah, ia justru mendapati saudaranya yang pemabuk itu merasa hancur karena kesadaran akan dosa-dosanya. Sang pemabuk pun berniat bertobat dan menuju lantai atas untuk bergabung beribadah dengan saudaranya. Namun, saat keduanya bertemu di tengah jalan, saudara yang ingin bermaksiat tergelincir dan jatuh menimpa saudara yang ingin bertobat. Keduanya akhirnya meninggal dunia, dengan saudara yang awalnya taat dihimpun berdasarkan niat maksiatnya, dan saudara yang bermaksiat dihimpun berdasarkan niat tobatnya. Kisah ini menjadi refleksi bahwa hakikat manusia ditentukan bukan hanya oleh masa lalunya, tetapi juga oleh niat dan arah perjalanannya.

Secara sekilas, fenomena ini tampaknya serupa, namun memiliki perbedaan mendalam jika dianalisis melalui kacamata pesantren, yang pada hakikatnya merupakan muara kesucian (nexus of purity) dan tempat pembentukan karakter yang baik. Namun, sering kali kita menyaksikan transformasi identitas pada alumni pesantren, yang terlihat sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi mereka sebelum memasuki pesantren—baik dari segi penampilan, ideologi, maupun keyakinan terhadap guru dan institusi yang pernah membimbing mereka.

Perubahan semacam ini dapat dijelaskan melalui perspektif kesenjangan moral  yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Di dalam persoalan ini, individu cenderung melakukan rasionalisasi moral terhadap tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sebelumnya mereka anut. Santri yang sebelumnya berada dalam lingkungan normatif ketat mungkin merasa memiliki legitimasi untuk melanggar norma-norma tersebut, dengan dalih bahwa mereka kini memperoleh kebebasan untuk mengeksplorasi kehidupan di luar pesantren, yang sebelumnya dibatasi oleh aturan ketat yang ada.

Menurut perspektif Jack Brehm, seorang psikolog kognitif, fenomena ini pula dapat dikategorikan sebagai reaktansi psikologis ketika individu yang merasa kebebasannya terkekang cenderung merasakan dorongan untuk bertindak berlawanan dengan norma atau aturan yang membatasi mereka. Ketika santri yang telah terbiasa dengan regulasi ketat  di pesantren, kebebasan yang diperoleh setelah keluar dapat memicu perilaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang telah terinternalisasi dalam diri mereka. Adapula konsep labeling kesucian atau pengkultusan terhadap santri dan pesantren itu sendiri dapat menghasilkan dua respons yang berseberangan. Di satu sisi, ada individu yang berusaha mempertahankan identitas kesucian yang diberikan oleh lingkungan pesantren, sementara di sisi lain, ada pula yang melakukan perlawanan simbolik terhadap label tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspektasi sosial (resistance to social expectations).

Ketika seorang santri menyelesaikan pendidikannya di pesantren, ia memasuki fase transisi yang penuh ketidakpastian. Jika sebelumnya kehidupan mereka dikendalikan oleh aturan yang ketat, kini mereka dihadapkan pada kebebasan yang menuntut kemandirian dalam menentukan arah hidup. Menurut Jean-Paul Sartre, kondisi ini mencerminkan keterlemparan eksistensial, ketika individu tidak lagi terikat pada sistem yang telah membentuknya, tetapi harus menciptakan makna hidupnya sendiri melalui keputusan yang ia ambil.

Sebagian santri merespons keterlemparan ini dengan mempertahankan nilai-nilai yang telah mereka internalisasi, bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai pilihan sadar yang memberi makna baru pada keberagamaan mereka. Namun, tidak sedikit pula yang mengalami kebingungan dan berusaha mendefinisikan ulang dirinya dengan cara yang ekstrem—baik dengan memperketat pemahaman agama secara rigid maupun dengan melepaskan segala identitas lama sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspektasi yang selama ini membentuk mereka.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan tidak selalu menghadirkan ketenangan, tetapi justru bisa menjadi beban. Di dalam ruang tanpa batas yang jelas, individu berhadapan dengan kecemasan eksistensial bahwa apakah mereka akan tetap berjalan dalam rel yang telah ditanamkan, atau justru berbelok untuk mencari makna baru? Di titik inilah mereka diuji, bukan hanya dalam mempertahankan nilai-nilai pesantren, tetapi juga dalam menemukan autentisitas diri mereka di tengah derasnya arus kehidupan yang lebih luas.

Pesantren tidak sekadar membentuk pemahaman keagamaan, tetapi juga menciptakan sistem yang membiasakan santri pada kepatuhan. Namun, kepatuhan yang tidak dibarengi dengan kesadaran sering kali berujung pada kebingungan ketika mereka dihadapkan pada dunia luar yang lebih longgar. Lulusan pesantren yang kemudian memilih jalan berbeda bukanlah tanda kegagalan sistem, melainkan konsekuensi dari perubahan lingkungan yang menuntut mereka untuk menafsirkan kembali nilai-nilai yang selama ini mereka anut.

Jean-Paul Sartre menekankan bahwa kebebasan sejati terletak pada kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Melalui persoalan ini, seorang alumnus yang tetap berpegang teguh pada ajaran pesantren bukan karena keterpaksaan, melainkan karena kesadaran adalah cerminan kebebasan yang autentik. Sebaliknya, mereka yang memberontak tanpa memahami alasan di baliknya masih terjebak dalam bayang-bayang sistem yang mereka tinggalkan, bukan benar-benar bebas.

Krisis identitas yang kerap muncul pasca-pesantren bukanlah sesuatu yang seharusnya diredam dengan pengawasan ketat, melainkan ditanggapi dengan pembekalan yang lebih matang sejak dalam pesantren. Alih-alih hanya menanamkan aturan, pesantren perlu membangun kesadaran santri akan makna aturan itu sendiri, sehingga mereka tidak sekadar patuh, tetapi juga memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang lebih luas.

Pesantren bukanlah tujuan akhir, melainkan bagian dari perjalanan menuju pemaknaan hidup yang lebih dalam. Dunia luar bukan ancaman, melainkan ruang bagi santri untuk menguji dan menegaskan kembali prinsip-prinsip yang mereka peroleh selama menimba ilmu. Pada akhirnya, kebebasan pasca-pesantren hanyalah satu fase dalam perjalanan menuju pemahaman yang lebih utuh tentang kehidupan dan spiritualitas.

 

gading pesantren  kebebasan  tarbiyah 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan