Dari Freud hingga Al-Qur’an: Menyelami Nafsu, Ego, dan Jiwa yang Tenang

Sabtu, 08 Mar 2025, 14:21 WIB
Dari Freud hingga Al-Qur’an: Menyelami Nafsu, Ego, dan Jiwa yang Tenang
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai

Sigmund Freud, seorang psikiater ternama asal Austria, melampaui batas pemikiran psikologi ortodoks dengan merumuskan teori revolusionernya dalam psikoanalisis.[1] Baginya, kesadaran manusia adalah arena pertarungan batiniah yang terbagi dalam tiga entitas psikologis, yakni id, sebagai representasi dorongan instingtual yang primitif; ego, sebagai penengah yang berusaha merasionalisasi impuls; serta superego, sebagai manifestasi norma, moralitas, dan tuntutan sosial. Pemikirannya kemudian mengilhami Carl Gustav Jung untuk menelusuri lebih jauh hakikat jiwa—yang pada akhirnya memicu diskursus panjang dalam kajian psikologi kontemporer mengenai kompleksitas kodrat manusia.

Secara esensial, psikoanalisis Freud memiliki keselarasan dengan prinsip-prinsip yang telah lama digariskan dalam Al-Qur’an tentang dinamika hawa nafsu sebagai faktor determinan bagi eksistensi manusia. Setiap insan digerakkan oleh ambisi, obsesi, atau kehendak bawah sadar yang berpotensi membawanya menuju puncak pencapaian atau justru menjerumuskannya ke dalam jurang degradasi moral.[2] Ketika ambisi melampaui batas, manusia cenderung terseret ke dalam euforia eksistensial yang mengabaikan nalar dan etika. Namun, mereka yang sanggup meredam gejolak hasrat serta menakar keinginan dalam batas kewajaran akan senantiasa berjalan di jalur kebijaksanaan dan ketakwaan.

Jika ditilik dalam perspektif Islam, dinamika antara id, ego, dan superego berkorelasi dalam tiga tingkatan jiwa yang telah dijelaskan sejak berabad-abad silam. Id, sebagai manifestasi naluri dasar yang liar melibatkan manusia ke dalam "an-nafs al-ammārah", kondisi ketika hawa nafsu mendominasi, menumpulkan rasionalitas, dan mengarah pada perilaku destruktif sebagaimana ditegaskan dalam Surat Yusuf [12]:53 (inna an-nafsa laammarah bi as-su’). Sementara itu, ego yang berperan sebagai jembatan kesadaran antara keinginan dan norma moral menemukan paralelismenya dalam "an-nafs al-lawwāmah", yakni jiwa yang senantiasa berkontemplasi, mengoreksi kekhilafan, dan mencari keseimbangan dalam hiruk-pikuk duniawi. Adapun superego mendorong manusia mencapai kesempurnaan moral, yang apabila tidak dikendalikan dengan kesadaran, justru bisa melahirkan egoisme spiritual sehingga menjauhkan manusia dari nilai ketulusan.

Perjalanan hidup tak sekadar soal dikotomi antara dorongan naluriah dan kesadaran moral, sebab manusia dianugerahi akal untuk merenungkan esensi keberadaannya. Setiap pengalaman pahit, kegagalan, serta penderitaan eksistensial merupakan bagian dari proses menuju pencerahan batin. Pada titik tertentu, manusia yang terjebak dalam gelombang ambisi duniawi akan menghadapi titik balik yang mengantarnya pada fase reflektif, ketika kesadaran akan kefanaan mulai mengemuka. Inilah yang dialami para nabi, salafus shalihin, maupun individu yang terombang-ambing dalam gelombang kehidupan—yang pada akhirnya dipaksa untuk menakar kembali makna dari setiap langkah yang telah mereka tempuh.

Ketika seseorang tiba di persimpangan hidup, hanya ada dua kemungkinan jalan yang akan ditempuh. Ia bisa memilih untuk merenungi masa lalu, mengambil pelajaran dari kesalahan, dan pada akhirnya mencapai kesadaran akan keterbatasan dirinya. Dari kesadaran itu, lahirlah tekad untuk bertobat, meninggalkan hal-hal yang merusak, dan melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Atau sebaliknya, ia semakin larut dalam kesesatan, terjerumus lebih dalam ke jurang kelam tanpa sedikit pun rasa penyesalan. Tidak mau belajar dari cobaan, tak ingin mengakui dosa-dosanya, dan justru semakin tenggelam dalam lingkaran yang menghancurkan.

Tipe manusia kedua ini terperangkap dalam dominasi "an-nafs al-ammārah", naluri liar yang menyeretnya ke arah kesombongan dan kehancuran. Banyak yang merasa dirinya berhasil secara materi—harta bertambah, jabatan naik, namanya dielu-elukan—namun di balik itu, hidupnya kehilangan makna. Kejayaan semacam ini hanya fatamorgana, tampak megah di permukaan tetapi rapuh di dalam. Seperti konsep istidraj dalam ajaran agama, ketika seseorang dibiarkan terus menikmati kesuksesan, padahal ia tengah berjalan menuju kehancuran yang ia buat sendiri. Atau dalam dunia teknologi dikenal sebagai juggernaut, sesuatu yang tampak monumental dan mengagumkan, tetapi tanpa kendali, justru akan menghancurkan dirinya sendiri.

Kisah seperti ini terus berulang dalam sejarah. Betapa banyak penguasa, politisi, dan figur publik yang wajahnya terpampang di mana-mana, dielu-elukan di puncak kejayaan, hanya untuk jatuh dalam hitungan detik, terseret ke dalam aib dan kehinaan. Betapa banyak orang yang bertitel tinggi, berkuasa, dan dihormati, tetapi akhirnya tersungkur oleh kerakusan dan kebodohan moralnya sendiri. Betapa banyak orang kaya yang menimbun harta, membangun istana megah, tetapi ajal menjemputnya sebelum ia sempat menikmati atau menginfakkan kekayaannya untuk sesuatu yang berarti.

Ironi ini tak hanya menimpa individu, tetapi juga lembaga. Berapa banyak pesantren, sekolah, atau institusi pendidikan yang awalnya megah, dibangun dengan kemewahan, tetapi akhirnya terbengkalai bak bangunan kosong tak berpenghuni. Mereka runtuh bukan karena kekurangan dana, tetapi karena para pemimpinnya lebih sibuk menumpuk kekayaan daripada membangun ilmu dan karakter. Jika orientasi hidup hanya sebatas akumulasi materi tanpa visi keilmuan dan spiritualitas, maka kejatuhan hanyalah soal waktu. Sejarah telah berkali-kali membuktikannya.

Ketika manusia berada di persimpangan nasib, ia diperhadapkan pada pilihan yang menentukan masa depannya. Apakah ia akan menjadikan pahit getirnya pengalaman sebagai pelita, melangkah dengan kesadaran penuh akan keterbatasan diri, lalu meniti jalan penebusan? Ataukah ia akan terus terjerembab dalam gelapnya kesalahan, menutup telinga dari peringatan, hingga akhirnya tenggelam dalam jurang kehancuran yang lebih dalam?

Mereka yang mampu memetik hikmah dari perjalanan hidup akan mencapai annafsu al-muthma’innah—jiwa yang telah matang oleh tempaan waktu, jiwa yang mengerti bahwa dunia ini tak lebih dari tempat singgah yang fana. Jiwa yang telah menaklukkan badai dan tak lagi gentar menghadapi naik-turunnya kehidupan, sebab ia memahami bahwa setelah pendakian pasti ada turunan, setelah sempit pasti ada kelapangan. Namun, di tengah kelimpahan pun, ia tetap awas—tak terpukau oleh gemerlap dunia, sebab ia tahu bahwa segala yang tampak nyata ini hanyalah bayangan fatamorgana.

Sebaliknya, mereka yang memilih untuk membutakan diri akan terseret dalam annafsu al-ammarah—jiwa yang terus-menerus dikuasai naluri primitif, rakus akan kenikmatan sesaat, dan yang rela mengorbankan segala prinsip demi ambisi buta. Inilah jiwa yang terperangkap dalam kesombongan, yang merasa semakin tinggi, padahal sedang menggali kuburnya sendiri. Banyak yang tampak berhasil dalam ukuran duniawi—kaya raya, berkuasa, dielu-elukan—tetapi sejatinya ia hanyalah seorang pengembara yang kehilangan arah, seorang pemanjat yang tak menyadari bahwa tangga yang ia daki berujung pada kehampaan.

Sigmund Freud, sekali lagi di dalam teorinya, membagi jiwa manusia menjadi id, ego, dan superego. Id adalah dorongan naluriah yang hanya mengejar kesenangan, superego adalah tuntutan moral yang membentuk batasan idealisme, sedangkan ego berperan sebagai penjaga keseimbangan, yang menimbang dan memilih jalan terbaik. Jika dianalogikan dalam konsep Islam, maka id menyerupai annafsu al-ammarah, superego berkaitan dengan cita-cita luhur yang, jika tak dikendalikan, bisa menjebak seseorang dalam kesombongan, sementara ego berperan sebagai annafsu allawwamah—jiwa yang senantiasa mengevaluasi dirinya, yang berjuang menaklukkan gejolak hawa nafsu dan mengarahkannya ke jalan yang benar.

Mulla Shadra merumuskan konsep altruisme dalam empat tahap perjalanan eksistensial: makhluk menuju Tuhan, dari Tuhan bersama makhluk menuju Tuhan, bersama Tuhan menuju makhluk, dan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan menuju Tuhan. Dalam kerangka ini, Tuhan diposisikan sebagai "Ego Universal", yakni pusat kesadaran dan orientasi hidup yang sejati.[3] Manusia, di dalam pencarian jati dirinya, tidak dituntut untuk meniadakan ego, melainkan meleburkannya ke dalam kehendak dan ketetapan Tuhan. Keikhlasan yang lahir dari proses ini bukan sekadar kepasrahan, melainkan kesadaran penuh bahwa hidup adalah rangkaian ujian yang menguji keluhuran jiwa. Pada tahap ini, seseorang tidak lagi terombang-ambing antara ketakutan dan kesombongan—ia tidak gentar menghadapi badai cobaan dan tidak mabuk di puncak kejayaan. Ia memahami bahwa pencapaian duniawi hanyalah alat, bukan tujuan, dan bahwa kesulitan bukan sekadar beban, melainkan anak tangga menuju pencerahan hakiki. Dalam keadaan ini, hidupnya bukan lagi sekadar milik dirinya sendiri, melainkan menjadi bagian dari kehendak Ilahi yang lebih luas, bahwa setiap langkahnya selaras dengan keteraturan semesta yang telah digariskan. Lihatlah bagaimana Allah menegaskan dalam Al-Fajr [89]:27-28.

"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai."

Imam Ghazali pernah mengalami perenungan mendalam akan makna di dalam hidup ini. Dalam sebuah mimpi, ia bertemu dengan Allah, yang bertanya kepadanya “Amalan apakah yang telah kau bawa kepada-Ku, wahai Ghazali?” Dengan penuh keyakinan, ia menjelaskan jerih payahnya kitab-kitab yang telah ia tulis, dakwah yang telah ia sebarkan, ilmu yang ia wariskan bagi generasi mendatang. Tetapi, Allah menegurnya “Bukan itu amalan yang Aku maksudkan, wahai Ghazali. Tetapi ketika suatu hari seekor lalat hinggap di ujung penamu, lalu kau biarkan ia meminum tinta, karena belas kasihmu kepadanya. Karena kasih sayang itulah, Aku meridhaimu.”

Betapa sederhana, tetapi juga begitu dalam maknanya. Di hadapan Tuhan, bukan gelar, prestasi, atau kejayaan yang menjadi tolok ukur, melainkan sejauh mana hati seseorang mampu bergetar oleh rasa kasih sayang, sejauh mana ia mampu menyelaraskan dirinya dengan nilai-nilai kebaikan yang paling esensial. Lihatlah pula Rasulullah dan Abu Bakar ketika bersembunyi di Gua Tsur. Mereka tidak panik, tidak mengusik burung yang bersarang di mulut gua, tidak mengganggu pepohonan yang menaungi tempat persembunyian mereka. Mereka tidak menyerah, tetapi juga tidak tergesa-gesa membalas dendam. Mereka hanya bertawakkal, menyerahkan segalanya kepada kehendak Allah.

Kita telah menyaksikan betapa banyak penguasa yang dulunya dielu-elukan, tetapi akhirnya jatuh dalam kehinaan. Betapa banyak ilmuwan dan filsuf yang berpikir dirinya telah memahami segalanya, tetapi akhirnya tersesat dalam labirin kesombongan intelektualnya sendiri. Betapa banyak manusia yang mengira dirinya sukses, tetapi hatinya hampa, jiwanya kosong, hingga ajal datang menjemput dan ia tak lagi memiliki waktu untuk menyadari betapa sia-sianya apa yang selama ini ia kejar. Kini, pertanyaan besarnya adalah: Di persimpangan hidup ini, ke mana kita akan melangkah?

Apakah kita akan terus mengandalkan diri sendiri, seolah-olah kita mampu mengendalikan segalanya, padahal kita bahkan tak bisa menahan detak jantung kita sendiri? Ataukah kita akan kembali kepada-Nya, menyerahkan segala pencapaian, segala kekhawatiran, segala ambisi, kepada satu-satunya yang benar-benar memiliki kuasa? Sejarah telah menjawabnya, dan pada akhirnya, kitalah yang harus memilih.

 

 

 

 


[1] Ardiansyah, A., Sarinah, S., Susilawati, S., & Juanda, J. (2022). Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud. Jurnal Kependidikan, 7(1), 25-31.

[2] PSIKOTERAPI, J. T. D. Khalwat menurut SihabuddinUmar as-Suhrawardi dalam kitab Awarif al-Maarif dan kesehatan jiwa dalam pandangan psikologi Barat.

[3] Nursanty, I. A., Kartini, E., & Murjana, I. M. (2021). Spiritualitas Dalam Akuntansi Sang Pembebas Dari Kuasa Kapitalisme. Jurnal Akuntansi Dan Ekonomika11(1), 109-118.

refleksi hidup  nafsu dan ego  kesadaran hakiki  jiwa  ikhlas 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan