Kompleksitas kehidupan kontemporer memberikan tantangan signifikan dalam pengelolaan waktu dan produktivitas individu.[1] Tekanan yang meningkat baik dari lingkungan sosial, akademik, keluarga, kompetensi, etika profesi, maupun pekerjaan sering kali mengakibatkan individu terjebak dalam siklus aktivitas yang cenderung tidak produktif. Dalam arti lain, tekanan yang diterima membuat persepsi seperti adanya tuntutan atau paksaan bagi individu untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan. Ketika individu merasa tertekan (external pressure), mereka cenderung membuat mekanisme bertahan dengan cara menunda-nunda tugas. Hal ini diistilahkan dengan prokrastinasi, yakni kecenderungan menunda tugas sebagai respons terhadap stres dan kecemasan yang dialami[2]
Prokrastinasi dapat terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di bidang akademik dan relasi pekerjaan. Perilaku demikian dipengaruhi oleh beberapa faktor mendasar, yakni persoalan keenganan terhadap tugas itu sendiri, perasaan takut gagal, depresi, atau berkaitan terhadap mood (feelings of anxiety) seseorang sehingga memilih untuk menghindari hal tersebut dengan menunda untuk menyelesaikan.[3] Ketidakselesaian terhadap stimulus negatif ini tidak hanya menambah beban psikologis, tetapi juga berkrontibusi pada perasaan cemas berkepanjangan. Akibatnya, seseorang merasa terjebak dalam siklus penundaan yang terus-menerus, sehingga makin memperburuk kondisi mental dan produktivitas mereka[4]
Burka dan Yuen mengungkapkan bahwa sekitar 75% dari mahasiswa universitas di Amerika Serikat melakukan prokrastinasi, sedangkan 50% dari mahasiswa melaporkan diri sebagai pelaksana prokrastinasi secara terus menerus dan 50% menganggap hal ini sebagai suatu permasalahan.[5] Penelitian dari Bruno juga mengungkapkan bahwa ada 60% individu memasukkan sikap menunda sebagai kebiasaan dalam hidup mereka.[6] Pada hasil survey majalah New Statement 26 Februari 1999 juga memperlihatkan bahwa kurang lebih 20% sampai dengan 70% pelajar melakukan prokrastinasi.[7] Sedangkan di Indonesia, penelitian yang dilakukan Rizvi, Prawitasari dan Soetjipto (1997) memperlihatkan bahwa 20,38% dari 111 responden melakukan penundaan dalam bidang akademik. Penelitian tentang prokrastinasi pada awalnya memang banyak terjadi di lingkungan akademik, yaitu lebih dari 70% mahasiswa melakukan prokrastinasi.[8]
Ferrari mengemukakan bahwa prokrastinasi akademik dapat diejawantahkan melalui indikator-indikator spesifik terukur dan dapat diamati melalui karakteristik-karakteristik tertentu, antara lain: (1) Penundaan dalam memulai maupun menyelesaikan tugas yang diemban, (2) Keterlambatan kronis dalam pelaksanaan tugas, (3) Disparitas temporal antara rencana awal dan realisasi kinerja, serta (4) Kecenderungan melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan sebagai pengganti kewajiban yang harus dikerjakan.[9] Akan tetapi, terdapat anomali perilaku dalam prokratinasi ini, yakni adanya efektivitas atau strategi tertentu yang secara khusus diterapkan seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan. Dalam hal ini, dapat dirumuskan sebuah pertimbangan kritis mengenai apakah tindakan menunda tersebut mencerminkan kecenderungan perilaku umum yang lebih mengarah pada pola penudaan sebenarnya atau justru merupakan metode khusus yang diimplementasikan seseorang sebagai pendekatan tertentu dalam menyelesaikan pekerjaan.
Maraknya kecenderungan prokrastinasi secara implisit mengindikasikan adanya upaya seseorang dalam mencari pembenaran, alih-alih mengembangkan strategi yang terstruktur, yang sesungguhnya berakar pada sifat malas. Berdasarkan definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), malas secara terminologis merujuk pada sikap enggan untuk bekerja atau melakukan suatu aktivitas. Namun, kemalasan pada skema luas ini, dapat ditinjau lebih lanjut baik sebagai kemalasan individual maupun kemalasan kolektif (social loafing), yang kerap kali dikaitkan dengan perilaku pasif, difusi tanggung jawab, hingga ketergantungan pada kontribusi pihak lain (free rider). Fenomena ini jelas menimbulkan kerugian yang signifikan, tidak hanya bagi orang lain tetapi juga terhadap individu itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan intervensi berbasis pemahaman islami melalui kajian mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur'an untuk membentuk mekanisme preventif sehingga mampu mengantisipasi timbulnya generasi yang terjebak dalam budaya 'mager' (malas gerak). Penting kiranya untuk menggali dialektika kemalasan dari berbagai perspektif problematika, sehingga masyarakat tidak terperosok dalam stagnasi usia non-produktif yang diperparah oleh kenikmatan fasilitas kehidupan yang cenderung memanjakan.
Paradigma Sosial dan Problem Kontrol yang Plural
Perilaku prokrastinasi tidak hanya mencerminkan persoalan individu, melainkan terkadang dipengaruhi oleh kerangka sosial yang lebih luas. Di dalam kasusnya, banyak masyarakat terjerambab pada konstruksi sosial yang seolah mendorong produktivitas tinggi dan efisiensi yang tepat. Paradigma ini akhirnya menimbulkan tekanan untuk memenuhi ekspektasi kinerja yang semakin meningkat, baik di lingkungan akademik maupun profesional. Pada titik ini, kontrol eksternal menjadi faktor yang dominan ketika individu merasa terikat oleh norma-norma sosial yang menuntut kesuksesan tanpa memberi ruang bagi fleksibilitas pribadi.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mereduksi kecenderungan prokrastinasi dan meningkatkan efektivitas kerja antara lain adalah teknik Pomodoro, Eisenhower Matrix, Parkinson's Law, dan time blocking.[10] Teknik Pomodoro merupakan teknik yang menekankan pentingnya waktu istirahat di tengah aktivitas. Pendekatan ini sangat cocok bagi individu yang rentan mengalami kelelahan mental (burnout) dalam rutinitas belajar atau bekerja. Dengan menggunakan timer sebagai pengingat, individu dapat bekerja dalam interval waktu tertentu, diselingi dengan periode istirahat yang terstruktur, guna menjaga produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan mental.
Eisenhower Matrix merupakan pendekatan yang memberikan kerangka kerja bagi individu yang kesulitan dalam menentukan prioritas, dengan mengklasifikasikan tugas berdasarkan urgensinya. Pendekatan ini membantu individu dalam mengelola pekerjaan secara sistematis, dari yang paling mendesak hingga yang tidak mendesak. Sementara itu, Parkinson's Law mengajarkan prinsip bahwa pekerjaan cenderung mengembang untuk mengisi waktu yang tersedia. Suatu hal yang menjadikan metode ini ideal bagi mereka yang bekerja di bawah tekanan deadline adalah perihal penetapan batas waktu yang ketat, tetapi individu dapat memaksimalkan penggunaan waktu yang tersedia, tanpa menunda-nunda.
Terakhir, teknik time blocking merupakan cara untuk mengalokasikan waktu secara spesifik untuk berbagai kegiatan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas melalui pengelolaan waktu yang lebih terorganisir. Semua teknik ini, pada dasarnya, menekankan pentingnya pengaturan waktu yang efisien sebagai solusi utama untuk mengatasi prokrastinasi. Ketika seseorang mampu mengalokasikan dan mengatur waktunya dengan tepat, ia akan lebih fokus dan terarah dalam menjalankan berbagai aktivitas, sehinga meminimalisir kebiasaan menunda-nunda, serta mendorong tercapainya tujuan secara lebih efektif.
Realitas permasalahan prokrastinasi dalam masyarakat dapat dilihat dari berbagai data yang menunjukkan prevalensi perilaku ini, baik dalam konteks akademik maupun profesional. Prokrastinasi tidak semata hal yang berkaitan pada seorang individu saja, melainkan juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal dari tekanan sosial dari lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Timothy A. Pychyl dengan koleganya mendapati temuan perilaku prokrastinasi yang ternyata salah satu sebabnya adalah pengendalian emosi.[11] Hal ini diungkapkan sebagaimana yang dikutip oleh Personality and Individual Differences dan beberapa temuan empiris lainnya. Selain itu dalam publikasi Psychological Bulletin, Joseph R. Steel mengemukakan bahwa sekitar 20% hingga 25% orang dewasa di berbagai negara mengalami prokrastinasi karena kurangnya keterampilan pengelolaan waktu.[12]
Menanggapi kesalahan kolektif semacam ini, Al-Qur’an telah menghimbau dengan panduan mengenai pengelolaan waktu dan penundaan dalam melaksanakan kewajiban. Sebagai umat yang dianjurkan untuk memiliki disiplin waktu, Al-Qur’an menegaskan pentingnya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Hal ini disampaikan sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Asr [103]:1-3.
وَالْعَصْرِۙ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ ٣
Artinya: Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.
Surat Al-Asr tergolong dalam surat yang pendek dalam Al-Quran. Meskipun hanya terdiri atas tiga ayat, kandungan maknanya sangatlah dalam jika ditinjau dalam perspektif manajemen waktu dan disiplin personal. Surat ini menegaskan keagungan waktu melalui sumpah Allah SWT yang secara eksplisit menyatakan kehancuran bagi individu yang menyia-nyiakan waktu untuk aktivitas yang tidak produktif. Hanya mereka yang memiliki keimanan kuat, konsisten dalam beramal saleh, serta memberikan nasehat tentang kebenaran dan kesabaran yang akan mencapai keberuntungan.
Tidak hanya itu, penyebutan waktu dalam Al-Quran banyak ditemukan dan menjadi indikator esensial mengenai urgensi penggunaannya secara bijak. Dalam Al-Qur’an, berbagai istilah digunakan untuk merujuk pada makna ‘waktu’, antara lain hin, dahr, aja, waqt, amad, dan istilah lain yang memiliki konotasi temporal. Selain itu, Allah SWT juga bersumpah atas nama waktu di beberapa ayat, antara lain Q.S. at-Takwir [81]: 17-18, Q.S. al-Fajr [89]: 1-2, Q.S. al-Lail [92]: 1-2, Q.S. al-Muddatsir [74]: 33-34, Q.S. ad-Duha [93]: 1-2, Q.S. al-Insyiqaq [84]: 16-17, dan Q.S. al-Syams [91]: 3-4. Sumpah-sumpah ini mengandung pesan bagi umat manusia tentang pentingnya menghargai nikmat waktu dalam kehidupan.[13]
Menurut Tafsir Al-Munir, Allah SWT memberikan peringatan keras kepada manusia yang menjalani kehidupannya layaknya perlombaan untuk mengakumulasi harta benda dan menginvestasikan seluruh waktunya hanya demi kepentingan duniawi. Hal ini menyebabkan kelalaian terhadap esensi utama penciptaan manusia di dunia, yakni pengabdian kepada Sang Pencipta. Di dalam kajian para ulama, terdapat konsensus bahwa istilah ‘Ashr dalam ayat tersebut merujuk pada konsep waktu. Namun, terdapat divergensi dalam interpretasi mengenai dimensi waktu yang dimaksud. Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Ashr menggambarkan waktu secara universal, yakni ruang gerak yang mencakup langkah dan dinamika manusia. Pandangan lain menyatakan bahwa ‘Ashr secara spesifik mengacu pada waktu pelaksanaan shalat Ashar. Sementara itu, interpretasi ketiga menyebutkan bahwa ‘Ashr merepresentasikan periode kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Menurut Prof. Quraish Shihab, pandangan yang paling inklusif adalah bahwa ‘Ashr mencerminkan waktu dalam pengertian yang luas dan universal.[14]
Pada ayat kedua, istilah al-insan atau manusia berakar dari kata yang mengindikasikan gerakan, kecenderungan untuk lupa, serta kapasitas untuk merasakan kebahagiaan, yang mencerminkan tiga karakteristik esensial manusia. Bentuk ma’rifat (definitif) dari al-insan mencakup seluruh jenis manusia tanpa pengecualian, baik mereka yang beriman maupun yang kufur. Sementara itu, kata khusr memiliki pandangan makna yang luas. Hal ini meliputi kesesatan, kerugian, kecelakaan, kelemahan, penipuan, dan berbagai nuansa negatif lainnya. Dari pengertian ini, terungkap bahwa waktu harus dioptimalkan secara produktif. jika tidak diisi, maka manusia akan rugi, dan apabila digunakan untuk hal-hal yang destruktif, manusia akan terperosok dalam kerugian yang mendalam, sehingga hubungan integratif antara ayat pertama dan kedua menjadi tampak jelas di sini.
Selanjutnya, ayat ketiga menegaskan bahwa seluruh manusia secara inheren dilingkupi oleh berbagai bentuk kerugian, kecuali mereka yang menjalankan empat aktivitas fundamental, yakni mereka yang beriman, beramal dengan kebajikan yang bermanfaat, saling berwasiat tentang kebenaran, serta saling menasihati untuk tetap sabar dan tabah. Surat ini menyoroti bahwa amal saleh dan ilmu semata tidaklah cukup untuk menjamin keberhasilan eksistensial. Beberapa individu mungkin merasa cukup puas dengan ketiga aspek tersebut, namun kepuasan tersebut berpotensi menjerumuskan mereka dalam stagnasi. Di sisi lain, kejenuhan yang timbul memerlukan dorongan untuk senantiasa menerima nasihat, agar tetap tabah, sabar, dan berupaya meningkatkan keimanan, amal perbuatan, serta pengetahuan secara berkesinambungan.
Menurut pandangan kontrol sosial Hirschi, perilaku individu sangat dipengaruhi oleh kontrol sosial yang berasal dari lingkungan sosial mereka.[15] Ketika individu merasa terikat pada norma dan ekspektasi yang ada dalam masyarakat, seperti tekanan untuk mencapai kesuksesan dalam waktu yang cepat dan efisien, mereka cenderung mengalami ketegangan yang dapat memicu prokrastinasi sebagai bentuk respons terhadap ekspektasi tersebut.[16] Pada dasarnya, kontrol sosial yang berlebihan dan ekspektasi yang tidak realistis dapat menciptakan ketidakseimbangan antara tuntutan sosial dan kapasitas individu, sehingga prokrastinasi menjadi pilihan.[17] Selain itu, individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung lebih rentan terhadap prokrastinasi karena kesulitan dalam menunda gratifikasi atau pengambilan keputusan yang bijaksana dalam penggunaan waktu.
Beberapa permasalahan yang kerap terjadi sebagaimana penelitian yang mengandalkan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) sebagai terapi intervensi oleh beberapa peneliti psikoterapi disebabakan lantaran penundaan waktu pengerjaan tugas, celah antara niat dan aktualisasi rencana, adanya kecemasan ketika prokrastinasi terhadap tugas, kecenderungan mengejar kesenangan, faktor internal seperti kondisi kesehatan, kurangnya motivasi, faktor eksternal seperti pola pengasuhan orang tua dan kondisi pengawasan yang kurang, budaya akademik, dan distraksi lingkungan.[18] Maka dari itu, berbagai faktor yang melatarbelakangi perilaku ini telah banyak dianalisis secara holistikal. Upaya intervensi psikologis yang diterapkan telah memfokuskan perubahan pola pikir dan perilaku maladptif terhadap adanya prokrastinasi, namun persoalan ini tetap menjangkiti berbagai lapisan individu dan hampir setiap orang mengalaminya.
Petaka Prokrastinasi: Dari Kemalasan Akut hingga Runtuhnya Martabat Diri
Sejumlah pakar dalam ranah psikologi, seperti Albert Bandura, William Atkinson, Leon Festinger, dan lainnya menyoroti dinamika prokrastinasi sebagai fenomena yang tidak sekadar merefleksikan kemalasan belaka, melainkan menyiratkan disfungsi produktivitas dan degradasi kesejahteraan individu.[19] Pemahaman Self-Regulation Albert Bandura menjadi antitesis signifikan terhadap permasalahan ini, mengingat individu sebenarnya mampu untuk menginternalisasi kapasitas diri untuk mengatur emosi, kognitif, pola pikir, serta perilaku demi mencapai tataran regulasi diri yang optimal. Begitu pula, paradigma Expectation-Value atau harapan valensi menurut Atkinson mengemukakan bahwa ekspektasi rendah terhadap keberhasilan, atau persepsi terhadap rendahnya nilai suatu tugas, dapat menjerumuskan individu ke dalam siklus penurunan martabat diri, terutama saat menghadapi kegagalan dalam merealisasikan capaian yang diinginkan.
Disparitas antara tindakan dan keyakinan disertai kecemasan terhadap potensi kegagalan senantiasa ada dalam mental tiap individu. Namun, yang menjadi suatu pembeda adalah bagaimana seseorang mampu mengelola dan mengatasi segala permasalahan yang timbul seketika. Secara teoritis, fenomena ini membentuk siklus repetitif yang menyerupai metamorfosis parasitisme, atas dalih bahwa sikap ini merasuk dan menginfiltrasi pola pikir serta perilaku seseorang. Semakin invidivu meladeni atau mentoleransi suatu tindakan yang mengindikasikan prokrastinasi, maka ia membuka ruang bagi konsekuensi turunan lain yang bersifat destruktif untuk mengikuti.
Prokrastinasi Dimulai-Menunda Tugas-Penghindaran Stres-Penurunan Motivasi-Kecemasan dan Rasa Bersalah-Penurunan Harga Diri-Lingkaran Prokrastinasi-Kembali Menunda Tugas dan Seterusnya
Skema di atas menggambarkan siklus prokrastinasi yang dimulai dari keputusan awal untuk menunda tugas dan berlanjut melalui serangkaian proses emosional dan kognitif. Setiap tahap dalam siklus ini saling berkaitan dan dapat memperburuk keadaan. Proses ini pada akhirnya menciptakan semacam lingkaran setan yang mengarah pada penurunan harga diri, kecemasan yang meningkat, dan perasaan bersalah akibat melanggengkan kebiasaan menunda. Dari sudut pandang islam, perilaku ini sering dikaitkan dengan kelemahan jiwa dalam menghadapi godaan setan, lemahnya kesadaran akan tanggung jawab, dan kurangnya pemahaman terhadap nilai waktu. Setan sering disebut sebagai penyebab utama dari berbagai kelemahan manusia, salah satunya adalah menunda-nunda pekerjaan. Setan bekerja dengan cara menanamkan rasa malas, sehingga membuat seseorang merasa bahwa waktu masih panjang atau memberikan alasan-alasan untuk tidak segera bertindak. Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa [4]:120:
يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيْهِمْۗ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطٰنُ اِلَّا غُرُوْرًا ١٢٠
Artinya: (Setan) memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong mereka. Padahal, setan tidak menjanjikan kepada mereka, kecuali tipuan belaka.
Menurut imam Al-Zamakhshari dalam Al-Kasyafnya, ayat di atas memperjelas bahwa hanya janji-janji Allah Swt yang selalu ditepati. Tidak ada seorang yang beriman yang memiliki angan-angan panjang kecuali dia tidak membenarkan keimanannya dalam hati dan tidak menerpakan konsep keimanannya dalam realitas sosial.[20] Bisikan setan tersebut dapat berupa angan-angan panjang (thuulu amal), yakni harapan-harapan duniawi yang berlebihan. Begitu pula bisikan yang dapat melalaikan janji Allah, menghalangi implementasi keimanan, sehingga dari itu semua seorang mukmin hendaknya memperkuat keyakinannya terhadap Allah dengan dzikir, penguatan akidah, dan beramal saleh. Sementara itu, dalam Syaikh Muhammad Sulaiman dalam kitab Zubdatut Tafsir menjelaskan bahwa setan hanya membawa ghurur dalam keimanan manusia, yakni sesuatu yang disukai secara kasat mata, namun apabila seseorang melihat hakikatnya itu merupakan hal yang dibenci.
Islam mengajarkan bahwa setiap amal perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dalam hal ini, prokrastinasi sering kali disebabkan oleh kurangnya kesadaran terhadap amanah yang diberikan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ (رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالتِّرْمِذِيُّ)
Artinya: Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai empat hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan (HR Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).
Tidak hanya itu, Islam memandang waktu sebagai salah satu nikmat besar dari Allah yang sering disia-siakan oleh manusia. Rasulullah bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Artinya: Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)
Beberapa Ulama’ banyak menimpali hadist tersebut dalam kalam-kalam bijaknya. Ibnu Jauzi berkata “Seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang memiliki dua nikmat ini (yaitu waktu senggang dan nikmat sehat), hendaklah ia bersemangat, jangan sampai ia tertipu dengan meninggalkan syukur pada Allah atas nikmat yang diberikan. Bersyukur adalah dengan melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan Allah. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, maka dialah yang tertipu”. Secara tidak langsung, ungkapan ini menjadi refleksi dan renungan bahwa dunia merupakan tempat manusia menjajakan barang dagangan, sedangkan keuntungannya akan diraih di akhirat kelak. Seseorang yang memanfaatkan waktu luang dan nikmat sehat dalam rangka melakukan ketaatan, maka dialah yang akan berbahagia. Sebaliknya, barangsiapa memanfaatkan keduanya dalam maksiat, dialah yang betul-betul tertipu.[21]
Penjelasan ini kemudian dipertegas oleh pernyataan para sahabat dalam Al-Adabusy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih (4/303, Mawqi’ Al-Islam). Umar bin Khattab menyatakan ketidaksukaannya terhadap seseorang yang menjalani kehidupannya dengan cara serampangan, seperti tidak menunjukkan perhatian serius terhadap urusan duniawi maupun akhirat.[22] Pandangan serupa diungkapkan oleh Ibnu Mas'ud yang menyatakan bahwa beliau sangat membenci seseorang yang hidup dalam keadaan stagnan dan tidak produktif, yakni tidak melibatkan dirinya dalam aktivitas bermanfaat, baik untuk keberlangsungan hidupnya di dunia maupun untuk kepentingan akhiratnya.[23]
Rojulun Faarigh dan Thul al-Amal, Dua Entitas yang Tak Seharusnya Dikenal
Prokrastinasi merefleksikan adanya disparitas antara intensi individual dan manifestasi perilaku aktual. Ferarri (1992) membagi perilaku ini dalam dua jenis, yakni prokrastinasi fungsional dan disfungsional. Prokrastinasi disfungsional merujuk pada perilaku penundaan penyelesaian tugas-tugas yang memiliki urgensi tinggi tanpa didasari justifikasi rasional yang memadai. Sebaliknya, prokrastinasi fungsional menggambarkan tindakan penundaan yang disengaja dengan tujuan memperoleh informasi yang lebih komprehensif dan akurat sebelum melaksanakan tugas.[24]
Namun, terdapat problematika yang kiranya ditelaah dengan mempertimbangkan hadis sebelumnya, melihat perkara ketidakproduktifan dan sikap berangan-angan belaka yang tidak hanya berimplikasi pada keruntuhan tradisi keilmuan, tetapi juga mencakup aspek identitas seorang Muslim yang seyogianya memanfaatkan waktu secara bijaksana, sebagaimana Allah yang telah bersumpah atas pentingnya waktu. Lebih lanjut, fenomena berangan-angan menggambarkan individu yang kehilangan arah hidup, visi-misi, dan jati diri yang terdefinisi dengan jelas. Dalam hal ini, maka tampak nyata distingsi antara dualitas sifat manusia, yakni rojulun farigh dan thulul amal dengan individu yang memandang prokrastinasi sebagai taktik strategis dalam penyelesaian tugas, seraya tetap memusatkan perhatian pada pencapaian target yang terencana. Menilik hal di atas, Allah menegaskan untuk tidak menyamakan seseorang yang mengetahui dengan orang yang bodoh, yang dalam hal ini adalah rojulun farigh dan thulul amaal dalam Q.S. Az-Zumar [39]:9.
اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِࣖ ٩
Artinya: Apakah orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dalam keadaan bersujud, berdiri, takut pada (azab) akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.
Ayat ini mengindikasikan korelasi antara individu berintelektual dengan praktik shalat malam yang dilandasi pengharapan akan rahmat Ilahi dan ketakutan terhadap siksa akhirat. Karakteristik semacam ini juga merepresentasikan sifat Ulul al-Albab, yakni individu yang memfokuskan pengembangan ilmu pengetahuan melalui integrasi hati, akal, dan pikiran.[25] Mereka memanfaatkan potensi intelektual tersebut untuk memperkokoh keimanan, memupuk kesabaran dalam menjalankan ibadah, serta mewujudkan keunggulan dalam akhlak mulia. Dari sini, jelas bahwa ayat tersebut menyoroti ketidaksetaraan orang yang mengetahui perihal dan yang tidak mengetahui karena mereka abai terhadap pengembangan potensi intelektualnya. Mereka cenderung menghabiskan waktu tanpa manfaat, berangan-angan kosong, dan tidak menggunakan akal, hati, serta pikirannya untuk mencapai tujuan yang konstruktif. Akibatnya, mereka gagal memperkokoh keimanan, memupuk kesabaran dalam ibadah, maupun mencerminkan keutamaan akhlak.
Sebagai antitesis, pengoptimalan waktu dengan bijaksana seharusnya menjadi bagian integral dari kehidupan seorang Muslim. Hal ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam sumpah Allah terhadap pentingnya waktu sebagai urgensi untuk memaksimalkan keadaan dalam menjalankan tanggung jawab duniawi maupun ukhrawi. Namun demikian, kenyataannya manusia sering kali terjebak dalam angan-angan panjang yang melemahkan semangat dan mendorong mereka untuk menunda-nunda kebaikan atau tanggung jawab. Dalam hal ini, Allah memberikan peringatan tegas melalui Q.S. Al-Hadid [57]:14.
يُنَادُوْنَهُمْ اَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْۗ قَالُوْا بَلٰى وَلٰكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ اَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْاَمَانِيُّ حَتّٰى جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ وَغَرَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ ١٤
Artinya: Orang-orang (munafik) memanggil mereka (orang-orang beriman), “Bukankah kami dahulu bersama kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri (dengan kemunafikan), menunggu-nunggu (kebinasaan kami), meragukan (ajaran Islam), dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah. (Setan) penipu memperdayakanmu (sehingga kamu lalai) terhadap Allah.
Pada ayat di atas, menurut Prof Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munirnya menegaskan bahwa sikap-sikap orang munafik disampaikan sebagaimana orang yang berniat untuk membinasakan diri, layaknya dengan segala kesenangan duniawi, kemaksiatan, kedurhakaan, dan memenuhi syahwat, serta menunda-nunda untuk segera bertaubat. Mereka (munafik) juga diinterpretasikan sebagai golongan yang selalu mengharap, mengamati, dan menunggu perputaran roda zaman agar membawa kesialan dan malapetaka yang menimpa orang-orang mukmin. Tidak hanya itu, perilaku prokrastinasi juga kurang lebih sepadan dengan frasa wa ghorrotkumul amaaniiyyi yang mengindikasikan golongan yang terpedaya, terbuai, dan tertipu angan-angan, ambisi, hasrat, dan harapan semu.
Meretas Kendali Pemalas sebagai Langkah Menuju Produktivitas
Menjadi pribadi pemalas adalah manifestasi dari sifat munafik yang telah digambarkan dalam dialog ayat sebelumnya. Sebaliknya, menjadi individu yang bersemangat dalam menjalankan produktivitas adalah langkah strategis yang diambil oleh Rasulullah ﷺ dalam menyebarkan dakwah yang membawa manfaat bagi umat. Sebagaimana tercatat dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ad-Dunya, Al-Hakim (no. 7846), dan Al-Baihaqi (no. 10248), beliau menegaskan pentingnya memanfaatkan lima nikmat sebelum datangnya lima hal yang dapat menghalanginya: masa muda sebelum masa tua, kesehatan sebelum datangnya sakit, kekayaan sebelum kemiskinan, waktu luang sebelum kesibukan, serta kehidupan sebelum kematian. Hadis ini mengingatkan kita akan urgensi optimalisasi waktu dan sumber daya yang ada dalam kehidupan, sebagai bagian dari pengelolaan amanah yang diberikan Allah.
Konsep produktivitas yang diajarkan Rasulullah mengedepankan keseimbangan antara pencapaian dunia dan akhirat. Produktivitas bukan hanya soal pencapaian materi, tetapi juga tentang upaya maksimal dalam menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip islam, baik dalam hal ibadah, pembelajaran, dan kontribusi sosial. Dengan memahami waktu sebagai amanah yang harus dipergunakan sebaik-baiknya, seseorang akan terdorong untuk menghindari penundaan dan prokrastinasi yang seringkali menjadi hambatan utama dalam meraih tujuan yang telah ditetapkan.
Rasulullah juga menganjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan waktu tidur, sehingga seseorang dalam mengoptimalkan tenaga dan pikirannya untuk bekerja. Dalam hal ini, seseorang membutuhkan tidur untuk istirahat guna memperbaiki kesehatan manusia dalam beraktivitas. Al-Qu’ran sendiri menjelaskan bahwa tidur itu diperlukan dan menjadi hal yang penting, utamanya dalam kesehatan sebagaimana dalam Q.S. An-Naba [78]:9.
وَّجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًاۙ ٩
Artinya: Kami menjadikan tidurmu untuk beristirahat.
Di dalam kajian medis, dijelaskan bahwa salah satu cara paling efektif dalam menjaga kesehatan adalah dengan tidur yang cukup karena memperkuat sistem kekebalan tubuh manusia.[26] Oleh karenanya, tidur menjadi aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kekurangan tidur dapat menyebabkan penurunan kinerja sistem imun tubuh. Seseorang yang kurang tidur dapat merasakan lemahnya respons kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan kerentanannya terhadap berbagai penyakit.
Setelah menimbang bahwa kesehatan merupakan elemen esensial dalam menunjang produktivitas, langkah-langkah strategis untuk meretas kemalasan dapat dilakukan dengan meneladani tindakan Rasulullah SAW. Langkah pertama adalah (1) merencanakan setiap aktivitas secara sistematis agar pengelolaan waktu menjadi lebih efisien. Selanjutnya, (2) memprioritaskan tugas yang mendesak terlebih dahulu untuk memastikan pelaksanaan tanggung jawab berjalan optimal. Selain itu, (3) memberikan kualitas terhadap setiap pekerjaan karena hasil yang bermutu lahir dari upaya terbaik. Di samping itu, (4) berdoa dan bertawakkal kepada Allah, menyadari bahwa hasil akhir sepenuhnya berada dalam kehendak-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Ali Imran [3]:159. Langkah lainnya adalah (5) berkomitmen terhadap janji, karena hal ini berpengaruh besar pada keberhasilan. Kemudian, (6) belajar secara berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mampu menghadapi berbagai tantangan. Akhirnya, (7) bersikap positif dan sabar, sebagaimana Rasulullah SAW senantiasa menunjukkan optimisme dan ketabahan dalam menghadapi situasi sulit, sesuai perintah Allah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:45.
Penutup
Prokrastinasi atau kebiasaan menunda tugas, menjadi fenomena umum yang berdampak signifikan pada produktivitas dan kesejahteraan individu, terutama di bidang akademik dan profesional. Perilaku ini sering kali disebabkan oleh faktor internal, seperti rasa takut gagal, depresi, atau pengendalian emosi yang lemah, serta faktor eksternal, seperti tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi. Beberapa data menunjukkan prevalensi prokrastinasi yang cukup tinggi di berbagai kelompok masyarakat, baik di Indonesia maupun negara lain. Dalam lingkup akademik, indikator seperti penundaan kronis, disparitas temporal, dan pengalihan ke aktivitas yang lebih menyenangkan menjadi ciri utama prokrastinasi.
Meskipun prokrastinasi kerap dianggap sebagai bentuk kemalasan, ada perspektif yang memandangnya sebagai strategi untuk mengatur tekanan atau memaksimalkan produktivitas. Beberapa teknik, seperti Pomodoro, Eisenhower Matrix, dan time blocking, dapat membantu individu mengelola waktu secara lebih efektif. Dalam pandangan Islam, perilaku menunda sering kali dikaitkan dengan kelemahan jiwa dan godaan setan. Di dalam Al-Qur'an surat Al-Asr, menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan bijak sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ayat-ayat ini mengingatkan bahwa kelalaian terhadap waktu dapat membawa kerugian besar, baik di dunia maupun akhirat.
Pendekatan Islami dan psikologis memberikan panduan untuk mengatasi siklus negatif prokrastinasi yang dapat menyebabkan penurunan harga diri dan kesejahteraan mental. Al-Qur’an menyarankan keseimbangan antara iman, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Begitu pula dengan menerapkan kebiasaan yang dilakukan Rasulullah dalam menjalani produktifitas pada kesehariannya. Pendekatan psikologis, seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dapat membantu mengubah pola pikir yang maladaptif. Harapannya, seseorang dapat lebih memahami nilai waktu dan mengembangkan kontrol diri yang lebih baik, sehingga individu dapat keluar dari kebiasaan prokrastinasi, mencapai produktivitas yang lebih tinggi, serta membangun kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna.
[1] Fadhilah, Z. H., & Hudaidah, H. (2021). Paradigma Baru Pendidikan Islam Kontemporer di Indonesia. Paramurobi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 4(1), 79-94.
[2] Triyono, T., & Khairi, A. M. (2018). Prokrastinasi akademik siswa SMA (Dampak psikologis dan solusi pemecahannya dalam perspektif psikologi pendidikan islam). Jurnal Al-Qalam: Jurnal Kependidikan, 19(2), 57-74.
[3] Labiro, C. S., & Kusumiati, R. Y. (2022). Hubungan antara stres akademik dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa di masa pandemi covid-19. Bulletin of Counseling and Psychotherapy, 4(3), 590-598.
[4] Handoyo, A. W., Afiati, E., Khairun, D. Y., & Prabowo, A. S. (2020). Prokrastinasi mahasiswa selama masa pembelajaran daring. In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA (Vol. 3, No. 1, pp. 355-361). FKIP UNTIRTA.
[5] Chairunnisa, V., & Sahputra, D. (2019, October). Hubungan self control dengan prokrastinasi akademik mahasiswa. In Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian (Vol. 2, No. 2, pp. 1664-1667).
[6] Hayyinah, H. (2004). Religiusitas dan prokrastinasi akademik mahasiswa. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 9(17), 31-41.
[7] Aini, A. N., & Mahardayani, I. H. (2012). Hubungan antara kontrol diri dengan prokrastinasi dalam menyelesaikan skripsi pada mahasiswa Universitas Muria Kudus. Jurnal Psikologi: PITUTUR, 1(2), 65-71.
[8] Dwi Fibrianti, I. (2009). Hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan prokratinasi akademik dalam menyelesaikan skripsi pada mahasiswa fakultas psikologi universitas diponegoro semarang (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).
[9] Saman, A. (2017). Analisis prokrastinasi akademik mahasiswa (studi pada mahasiswa jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan fakultas ilmu pendidikan). Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling, 3(2), 55-62.
[10] Nisa, Y. F., Dewi, M. S., Amalia, I., Muchtar, D. Y., Fadhilah, M. N., Sawitri, A. R., ... & Ramadhani, R. (2022). A Guide To Your College Journey: Determining Your Path to Success, Strategies and Skills for Success, and Being Successful Plans and Perseverance.
[11] Rifan, A. R. (2019). Generasi Emas. Elex Media Komputindo.
[12] Suryadi, D. BAB 16. Psikologi, 333.
[13] Muwafiq, A. (2020). Konsep Sukses dalam Perspektif Al-Quran Surah Al-Asr Ayat 1-3. JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP, 5(1), 174-250.
[14] Fadilah, N., & Mahmud, H. (2024). ANALISIS MANAJEMEN WAKTU DALAM QS. AL-‘ASHR: STUDI KOMPARASI TAFSIR AL-MISBAH DAN TAFSIR AL-AZHAR. MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis, 4(3), 517-531.
[15] Anarta¹, F., Fauzi, R. M., Rahmadhani, S., & Santoso⁴, M. B. (2022). Kontrol Sosial Keluarga Dalam Upaya Mengatasi Kenakalan Remaja.
[16] Zega, M. R. B. (2022). Faktor penyebab dan upaya mengatasi prokrastinasi akademik peserta didik pada masa pandemi covid-19. Bulletin of Counseling and Psychotherapy, 4(1), 28-35.
[17] Suryadi, D. BAB 16. Psikologi, 333.
[18] Nabila, R. (2023). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Prokrastinasi Akademik: Studi pada Mahasiswa Perguruan Tinggi. Jurnal Teknologi Pendidikan, 1(2), 10-10.
[19] Ruhaena, L., & Indrayanti, W. M. (2024). The Relationship Between Social Support, Self-Efficacy and Procrastination and Student Academic Stress in Distance Learning During the Covid-19 Pandemic. Journal of Social Interactions and Humanities, 3(1), 63-78.
[20] Aziz, A. K. (2017). Setan dalam Alquran (Studi Kritis Tentang Makna Setan Perspektif Tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil). Diya Al-Afkar: Jurnal Studi al-Quran dan al-Hadis, 5(02), 429-452.
[21] ibn Iamr, A., Urwah, H., Agmas, T., & Abi Sadaqah, J. BAB III ANALISIS HADIS IGHTANIM DAN PROFIL PONDOK PESANTREN SALAFIYYAH AL-MUNAWIR.
[22] إنِّي أَكْرَهُ الرَّجُلَ أَنْ أَرَاهُ يَمْشِي سَبَهْلَلًا أَيْ : لَا فِي أَمْرِ الدُّنْيَا ، وَلَا فِي أَمْرِ آخِرَةٍ .
[23] إنِّي لَأَبْغَضُ الرَّجُلَ فَارِغًا لَا فِي عَمَلِ دُنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ
[24] Umari, T., Rusandi, M. A., & Yakub, E. (2020). Prokrastinasi akademik mahasiswa fkip Universitas Riau. Jurnal Pendidikan, 11(1), 12.
[25] Muid, A., Zidane, D. A., & Irsyadah, F. (2024). Ilmu Pengetahuan (Tafsir Surat Al-Mujadalah, 58: 11. Al-Zumar, 39: 9 Serta Al-Taubah, 9: 122). JURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN ISLAM, 13(13).
[26] Mubah, H. Q. (2021). Resistensi Pondok Pesantren Dalam Mengelola Santri Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Isema: Islamic Educational Management, 6(2), 119-130.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang