Menjerat Pram, Menemukan Humanisme dan Narasi Keislaman

Ahad, 09 Mar 2025, 15:00 WIB
Menjerat Pram, Menemukan Humanisme dan Narasi Keislaman
Pramoedya Ananta Toer

Seabad (6 Februari 2025) sejak kelahirannya, Pramoedya Ananta Toer tetap menjadi salah satu suara paling lantang dalam sastra Indonesia. Beliau bukan hanya penulis, tapi juga pencatat sejarah yang menggugah kesadaran. Melalui Tetralogi Pulau Buru—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—ia menguliti ketidakadilan, membongkar wajah kekuasaan, dan menunjukkan bagaimana ide bisa menjadi senjata. Karya-karyanya bukan sekadar warisan, melainkan pengingat bahwa perjuangan belum selesai, bahwa kebebasan berpikir selalu punya lawan, dan bahwa membaca Pram berarti memahami bagaimana bangsa ini dibentuk—dan bagaimana ia terus mencari jalannya.

Gagasan-gagasan Pram lahir dari pergulatan panjang dengan realitas sosial, memandang agama bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi bagian dari arus sejarah yang membentuk perlawanan. Islam dalam karyanya hadir bukan sebagai denyut kehidupan rakyat yang mengalir dalam pergulatan kaum santri, dalam gelora pemberontakan, juga dalam ketegangan antara kepercayaan dan kekuasaan. Baginya, agama bukanlah sesuatu yang statis, tetapi selalu ditafsir ulang oleh zaman, bisa menjadi alat pembebasan, bisa pula dijadikan sarana penjinakan. Inilah yang membuat Pram berbeda, ketika ia membaca Islam bukan sekadar dari teks-teks kegamaan, melainkan dari kehidupan, dari jalanan yang berdebu, dari perlawanan yang tidak selalu berbunyi lantang, tetapi mengakar dalam diam.

Gagasan-gagasan itu menemukan wujudnya dalam tokoh-tokoh yang ia ciptakan. Dalam Bumi Manusia misalnya, Minke tidak hanya bergulat dengan kolonialisme, tetapi juga dengan norma-norma sosial yang membentuk batas kesadarannya. Pram tidak menghadirkan agama sebagai doktrin yang dikhotbahkan secara eksplisit, tetapi sebagai kekuatan yang beroperasi dalam kehidupan masyarakat—kadang menjadi pijakan perlawanan, kadang menjadi alat penjinakan. Hal ini tampak dalam bagaimana masyarakat memperlakukan Nyai Ontosoroh. Sebagai seorang gundik, ia tersisih dari tatanan sosial, terutama oleh kalangan Islam tradisional yang memandangnya dengan stigma. Namun, di dalam novel, justru Nyai yang memperlihatkan keteguhan moral, keberanian berpikir, dan kemampuan berdiri di atas kakinya sendiri. Di sisi lain, para priyayi dan pemuka agama yang seharusnya menjadi teladan justru tunduk pada sistem feodal dan kolonial.

Latar belakang politiknya sebagai eksil yang terkait dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) juga membuatnya dicap dekat dengan ideologi kiri, yang dalam konteks keindonesiaannya sering diasosiasikan dengan ateisme (anti-agama). Pandangan-pandangan inilah yang membuatnya dicurigai oleh sebagian kelompok Islam konservatif, meskipun sebenarnya Pram tidak pernah menolak agama sebagai bagian dari kehidupan sosial.

Di dalam Anak Semua Bangsa, hal ini tampak dalam percakapan antara Minke dan Jean Marais, seorang jurnalis yang memperkenalkan Minke pada kenyataan bahwa kolonialisme tidak hanya menindas melalui senjata dan birokrasi, tetapi juga melalui doktrin dan institusi sosial, termasuk agama. Minke mulai melihat bagaimana wacana keagamaan di Hindia Belanda sering kali diarahkan agar tetap sejalan dengan kepentingan penguasa. Tafsir agama yang menekankan ketundukan dan menerima nasib menjadi alat yang efektif untuk meredam perlawanan, sementara gagasan Islam sebagai kekuatan emansipasi justru ditekan. Melalui kritik semacam ini, Pram mengajak pembaca untuk mempertanyakan bahwa apakah agama akan terus menjadi instrumen kontrol bagi mereka yang berkuasa, ataukah ia bisa kembali kepada esensinya—membebaskan, memberdayakan, dan menegakkan keadilan bagi semua?

Melalui tokoh-tokoh semacam ini, Pram menyingkap ironi sosial bahwa nilai-nilai Islam tentang keadilan dan kesetaraan kerap terpinggirkan ketika tafsirnya dimonopoli oleh kelompok elit yang berkepentingan. Institusi keagamaan yang seharusnya berpihak pada kaum tertindas justru sering menjadi bagian dari mekanisme yang mempertahankan ketimpangan. Di dalam lanskap penuh ini, agama dalam karya-karya Pram bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga arena perebutan makna—medan pertarungan ideologi yang menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang harus tunduk.

Kritik semacam itu tak jarang membuatnya dianggap berseberangan dengan kelompok keagamaan. Namun, justru dalam pemikiran dan perjuangannya, Pram memiliki persinggungan erat dengan tokoh-tokoh Islam besar seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Buya Hamka. Keduanya, meski berasal dari latar belakang yang berbeda, sama-sama mengedepankan kebebasan berpikir dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Bagi Pram, agama bukanlah sesuatu yang harus dijauhi, melainkan fenomena sosial yang terus bergerak—bisa menjadi alat pembebasan, tetapi juga bisa diselewengkan oleh kepentingan politik.

Gus Dur, dengan pandangan Islam yang terbuka dan humanis, melihat Pram bukan sebagai musuh agama yang besar, melainkan sebagai pengingat tajam atas sejarah yang terpinggirkan. Di tengah represi Orde Baru, ketika nama Pram hampir dihapus dari percaturan intelektual, Gus Dur justru bersuara lantang, menegaskan bahwa sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari narasi yang dibangun Pram. "Kalau bukan karena Pram, kita tidak pernah tahu bagaimana kita kehilangan sejarah kita" ujar Gus Dur. Pembelaannya tak berhenti pada kata-kata. Ketika menjabat sebagai Presiden, Gus Dur mencabut larangan atas buku-buku Pram atas dalih mengembalikan haknya sebagai warga negara, sekaligus menegaskan bahwa kebebasan berpikir tak boleh dikekang oleh politik.

Sementara itu, relasi Pram dengan Buya Hamka lebih bersifat paradoksal. Hamka, beliau seorang ulama dan sastrawan yang dalam banyak hal memiliki pandangan berbeda dari Pram pernah melontarkan kritik keras terhadap pemikirannya. Namun, di balik perbedaan itu, terdapat titik temu yang lebih subtil, yakni komitmen terhadap kemanusiaan dan keberanian menolak tunduk pada logika kekuasaan. Salah satu momen yang paling gamblang menunjukkan hal ini adalah ketika Hamka dalam posisinya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, menolak menandatangani fatwa yang mendukung eksekusi mati terhadap tahanan politik pasca-1965. Keputusan ini bukan sekadar bentuk keberpihakan pada kelompok tertentu, melainkan cerminan dari keyakinannya bahwa keadilan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik. Hamka memahami bahwa moralitas harus berdiri di atas ideologi, dan agama tidak boleh dijadikan alat untuk melegitimasi tindakan represif negara.

Dari pergulatan di atas, sikap Buya Hamka dipandang dalam posisi yang tergolong unik, ketika seorang ulama yang berseberangan dengan pemikiran Pram dalam banyak aspek, tetapi tetap teguh mempertahankan prinsip bahwa manusia tidak boleh dihakimi semata-mata karena ideologinya. Apabila dinilai melalui lanskap intelektual Indonesia, relasi ini memperlihatkan bahwa perdebatan antara Islam dan sosialisme tidak selalu berujung pada permusuhan mutlak. Ada persinggungan nilai yang lebih luas di antara keduanya, terutama dalam semangat memperjuangkan keadilan dan menolak segala bentuk penindasan.

Sebagai nama besar yang saling berbicara di dalam dunia pemikiran Indonesia, mereka kerap menawarkan sejumlah karya, kritik, dan sikap terhadap sejarah yang saling bersinggungan. Bahkan di ranah sastra pun mereka bertemu dalam ketegangan intelektual. Salah satu polemik yang mencuat adalah tuduhan Pram bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka ini merupakan hasil plagiat. Tuduhan ini menimbulkan gelombang perdebatan di kalangan sastrawan, terutama di tengah suasana pertarungan ideologi pada masa itu. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan kelompok kiri saat itu, mendukung tuduhan tersebut dan menjadikannya bagian dari kritik lebih luas terhadap sastra yang dianggap tidak berpihak pada realitas sosial. Sebaliknya, HB Jassin, seorang kritikus sastra terkemuka, membantah tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa sebuah karya hanya dapat disebut plagiat jika seluruh atau sebagian besar isinya diambil mentah-mentah tanpa pengakuan, sedangkan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tetap memiliki orisinalitas dalam pengolahan tema dan latar budaya Minangkabau.

Polemik ini lebih dari sekadar sengketa literer yang mencerminkan medan pertarungan antara sastra berbasis ideologi dan sastra—yang berangkat dari ekspresi individual. Tuduhan Pram terhadap Hamka, yang kala itu juga dikenal sebagai ulama terkemuka, menunjukkan bagaimana perdebatan sastra di Indonesia tak bisa dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan politik dan pandangan dunia yang lebih luas. Melihat kedua tokoh ini, meski datang dari tradisi Islam yang berbeda, membaca Pram bukan sekadar sebagai penulis kontroversial, tetapi sebagai sosok yang menghadirkan perspektif kritis terhadap sejarah dan kekuasaan. Hubungan ini menegaskan bahwa dalam dunia pemikiran, pertentangan tidak selalu berarti permusuhan, dan bahwa intelektualitas sejati lahir dari dialog, bukan dari pembungkaman.

Melihat humanisme Islam dalam kacamata Pram seolah mengajak pembaca dan masyarakat untuk semangat menolak ketidakadilan dan menyuarakan kebebasan. Pramoedya Ananta Toer bukanlah sosok yang dikenal karena ketakwaannya dalam menjalankan ritual keagamaan. Namun, gagasan-gagasannya mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial yang sejalan dengan prinsip Islam yang membela kaum tertindas. Ia memandang agama bukan sebagai doktrin yang kaku, tetapi sebagai kekuatan yang seharusnya membebaskan manusia dari penindasan. Dalam hal ini, pemikirannya memiliki irisan dengan konsep Islam modernis yang dikembangkan oleh tokoh seperti Fazlur Rahman dan Seyyed Hossein Nasr—yakni Islam yang menolak stagnasi pemikiran dan menuntut reinterpretasi agar tetap kontekstual dengan zaman.

Di dalam realitas politik Indonesia, agama kerap digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, bahkan membungkam kritik atas ketidakadilan sosial. Pram melihat bahaya dari fenomena ini dan melalui karya-karyanya, ia mengingatkan bahwa agama seharusnya bukan menjadi pagar yang membatasi kebebasan berpikir, melainkan sebagai medium pembebasan. Kritiknya terhadap institusi keagamaan bukan berarti menolak agama itu sendiri, melainkan mengajak agar nilai-nilai spiritual tidak disalahgunakan demi kepentingan politik dan status quo. Lebih dari sekadar seorang novelis, Pramoedya adalah saksi zaman yang menempatkan kemanusiaan sebagai pusat perjuangannya. Baginya, sastra menjelma layaknya senjata untuk membongkar ketimpangan sosial. Dengan keberanian yang tak goyah, ia menulis tentang ketidakadilan, kemunafikan, dan kekuasaan yang menindas.

 

 

 

 

 

perdamaian  narasi keagamaan  kesetaraan  Humanisme Islam 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan