Isu-isu aktual yang berhubungan dengan etika dakwah akan terus ada dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia.[1] Dakwah, sebagai salah satu bentuk pengabdian untuk menyampaikan ajaran agama kerap kali menghadapi tantangan yang beragam, baik dari segi metode, substansi, maupun nilai-nilai yang mendasarinya.[2] Di dalam masyarakat yang terus berkembang, dakwah tidak hanya dipandang sebagai bagian dari kewajiban spiritual, melainkan juga menjadi bagian dari dinamika sosial, budaya, bahkan ekonomi. Dakwah seringkali melibatkan media massa, teknologi digital, dan agenda publik yang terorganisir dengan baik di era modern saat ini, sehingga menghadirkan berbagai peluang untuk menjangkau lebih banyak orang, dan pada saat yang sama terdapat sejumlah persoalan baru.
Di tengah profesionalisasi dakwah yang semakin kompleks, muncul fenomena yang memicu perdebatan luas di masyarakat, yaitu praktik dakwah bertarif.[3] Di dalam berbagai pemberitaan, sering terdengar bahwa sejumlah penceramah menetapkan tarif tertentu untuk setiap undangan ceramah, bahkan hingga puluhan juta rupiah. Sebagai contoh, ada seorang pendakwah populer yang dilaporkan memiliki tarif antara 30 juta hingga 60 juta rupiah untuk satu kali ceramah. Selain itu, ada juga berita tentang pembatalan ceramah seorang ustadz di luar negeri (SM) karena ketidaksesuaian tarif yang diajukan dan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat.[4]
Fenomena ini makin krusial ketika beberapa penceramah yang memiliki popularitas tinggi, misalnya karena sering tampil di televisi dianggap layaknya selebriti dengan gaya hidup mewah dan manajemen profesional. Beberapa ustadz bahkan memiliki “manajer” yang mengatur jadwal dan menentukan tarif ceramah mereka, meskipun hal ini tidak selalu dilakukan secara eksplisit. Tidak jarang, pengurus masjid atau panitia acara keagamaan bersedia mengeluarkan dana besar (honor) untuk mendatangkan penceramah terkenal, bukan semata karena kualitas keilmuannya, tetapi juga demi meningkatkan gengsi komunitas atau institusi mereka. Pada akhirnya, muncul pertanyaan tentang bagaimana dakwah diposisikan di tengah masyarakat yang semakin komersial. Ketika dakwah menjadi bagian dari agenda acara besar, lengkap dengan kontrak, biaya, dan branding pendakwah, muncullah pelbagai persepsi tentang bagaimana nilai-nilai keikhlasan seharusnya dijaga. Bagaimana dakwah tetap mencerminkan misi moral dan spiritualnya tanpa tergerus oleh realitas dunia yang pragmatis?
Isu ini menimbulkan dilema moral di masyarakat, khususnya ketika dakwah yang seharusnya bersifat egaliter dan berorientasi pada kemaslahatan umat justru berubah menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu yang mampu membayar. Maka dari itu, melalui pembahasan ini, perlu adanya penekanan kode etik dakwah sebagaimana dalam Q.S. As-Saba [34]:47, intervensi ayat Al-Qur’an lainnya dan telaah-telaah yang berkutat pada pemahaman etika profesional sebagai landasan penguat guna menjawab segala tantangan yang muncul terkait komersialisasi dakwah, sehingga dapat memandang luas bahwa aktivitas dakwah dapat kembali mengutamakan kemaslahatan umat serta menjauhi motivasi-motivasi ekonomi yang bisa merusak esensi dakwah itu sendiri.
‘Allim Majjanan: Antara Tuntutan dan Modernitas
Gaya hidup kapitalistik yang mendominasi pola pikir masyarakat modern mendorong setiap aspek kehidupan, termasuk aktivitas keagamaan untuk dievaluasi dalam kerangka nilai ekonomi.[5] Di dalam logika tersebut, dakwah yang seharusnya berakar pada nilai-nilai keikhlasan dan niat untuk menyebarkan kebaikan (amar ma’ruf/nasyrul ilmi), mulai dipandang sebagai peluang bisnis yang dapat dimonetisasi. Praktik ini terlihat jelas ketika sejumlah penceramah agama mulai menetapkan tarif untuk kegiatan dakwah mereka, baik itu ceramah agama, pengajaran Al-Quran, maupun konsultasi keagamaan.
Beberapa tahun yang lalu, jagad media dikejutkan dengan praktik Ustad Solmed yang menaruh tarif sepuluh juta dollar hongkong yang sebelumnya dipatok pada harga enam ribu dollar hongkong menurut Khofifah, ketua majelis taklim thoriqul jannah di Hongkong melalui kanal Youtube. Hal ini disoroti oleh media infotainment Hotshot yang menimbulkan pro dan kontra terkait, namun intinya adalah ada kalimat paradoks yang menjelaskan masalah ustadz solmed di Hongkong yang turut menguak sebuah realita mengejutkan bahwa tak sedikit ustadz yang mengomersialkan dakwahnya dengan memasang tarif yang bahkan mampu mencapai jumlah fantastis untuk sekali tausiah.[6]
Masyarakat yang hidup dalam dunia dengan orientasi keuntungan material ini, cenderung menilai berbagai kegiatan keagamaan, termasuk dakwah dengan standar komersial. Pandangan ini semakin diperkuat dengan kehadiran media massa dan digital yang mempromosikan citra penceramah sebagai selebritas agama, yang tidak hanya dijadikan rujukan spiritual, tetapi juga sebagai objek konsumsi sosial. Dalam hal ini, penceramah yang memiliki popularitas tinggi atau sering muncul di media, sering kali mendapatkan tarif yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penceramah yang kurang dikenal, meskipun dalam beberapa kasus, kedalaman ilmu yang dimiliki bisa jadi tidak sebanding dengan popularitas tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa perkara ini menciptakan ketidakseimbangan dalam distribusi pengetahuan agama, ketika hanya kelompok tertentu yang dapat mengakses dakwah dengan harga kemampuan mereka, sementara masyarakat yang kurang mampu terpinggirkan.
Penetapan tarif dalam dakwah menimbulkan dilema atau polemik yang sekiranya memerlukan respons kritis dalam perspektif Islam, ketika dakwah dipandang sebagai kewajiban sosial yang seyogianya dilaksanakan dengan niat ikhlas tanpa mengharapkan ganjaran materiil duniawi. Beberapa tokoh agama, seperti Prof. Hasanuddin AF. dan Prof. Syamsul Anwar (Komisi Fatwa MUI), meskipun berpendapat bahwa menerima imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama seperti pengajaran Al-Qur’an diperbolehkan dalam hukum Islam, beliau menegaskan bahwa niat utama dari dakwah adalah untuk memperoleh ridha Allah SWT dan bukan untuk mencari keuntungan materi. Mereka menekankan bahwa imbalan yang diterima tidak boleh menjadi tujuan utama, dan tarif yang dipasang harus tetap dalam batas kewajaran sekiranya menghindari segala bentuk komersialisasi yang berlebihan.
Terdapat dua argumen utama berdasarkan nash terkait pembisnisan dakwah. Pertama, dalil yang menyatakan bahwa aktivitas seperti pengajaran Al-Qur'an atau ilmu agama tidak semestinya diperdagangkan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa aktivitas tersebut merupakan bentuk perjuangan yang semata-mata mengharapkan ganjaran dari Allah, bukan kompensasi dari manusia. Pandangan ini berakar pada mazhab Hanbali, yakni sebagian ulama Hanbali berpandangan bahwa praktik tersebut hukumnya haram atau setidaknya makruh. Pendapat ini merujuk pada Q.S. Yusuf [12]:104 sebagai landasan argumentasinya.
وَمَا تَسْـَٔلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ اَجْرٍۗ اِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعٰلَمِيْنَࣖ ١٠٤
Artinya: Engkau tidak meminta imbalan apa pun kepada mereka atas hal itu (seruanmu). Ia (Al-Qur’an) tidak lain adalah pengajaran bagi semesta alam.
Selain ayat tersebut, terdapat sejumlah ayat lain yang menjadi peringatan bagi umat manusia mengenai ketidakbolehan mengambil imbalan dari kegiatan dakwah. Di antaranya adalah Q.S. Shaad [38]:86, Q.S. Asy-Syu'ara [26]:109, 127, 145, 164, 180, serta Q.S. Al-Qalam [68]:46. Secara substansial, ayat-ayat ini menegaskan bahwa dakwah tidak seharusnya dijadikan ajang komersialisasi, karena pahala yang diberikan oleh Allah jauh lebih besar, baik yang diterima di dunia maupun di akhirat.
Dalil-dalil Al-Qur'an yang telah disebutkan sebelumnya diperkuat oleh hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab dan Ubadah bin as-Shamit. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah SAW memberikan peringatan kepada seorang sahabat yang menerima upah atas pengajaran Al-Qur'an yang dilakukannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau menerimanya (upah itu), maka sesungguhnya engkau telah mengambil sepotong bara api neraka.” Larangan ini semakin ditegaskan oleh hadis yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibl, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian menjadikan Al-Qur'an sebagai sarana untuk mencari nafkah ataupun mencari keuntungan darinya”[7]
Pendapat yang membolehkan pengambilan upah atas pengajaran Al-Qur'an atau ilmu agama dianut oleh mayoritas ulama atau jumhurul ulama’. Namun, penetapan tarif dianggap dapat mengurangi pahala dakwah. Pandangan ini berasal dari ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, sebagian Hanbali, dan Daud al-Dzahiri. Dalilnya adalah hadis riwayat Ibn Abbas, bahwa Rasulullah SAW mengizinkan seorang sahabat menerima upah atas pembacaan ruqyah kepada seseorang yang tersengat ular. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu adalah upah dari Al-Qur'an."
Bahkan sejumlah sahabat memberikan upah kepada pengajar Al-Qur'an, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab kepada para pengajar Al-Qur'an di Madinah. Demikian pula, sahabat Saad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar, yang diketahui rutin memberikan upah kepada pembaca Al-Qur'an selama Bulan Ramadhan. Imam Malik juga menegaskan bahwa menerima upah atas pengajaran ilmu agama diperbolehkan. Mengenai klaim bahwa pada masa awal Islam, mayoritas pengajar Al-Qur'an dan ilmu syari’ah tidak mengambil upah, hal itu memang benar. Namun, pada masa itu, pemerintah sangat memperhatikan kesejahteraan para pengajar Al-Qur'an dan juru dakwah dengan memberikan tunjangan reguler dari Baitul Maal.
Seiring berjalannya waktu, ketika Baitul Mal tidak lagi mampu memberikan santunan akibat pembengkakan alokasi belanja yang disebabkan oleh ekspansi kekuasaan Islam, para ulama mengeluarkan fatwa yang membolehkan pengambilan biaya atas pengajaran. Ketentuan serupa berlaku bagi imam shalat atau mu'adzin di masjid, bahwa mereka diperbolehkan menerima upah atas peran mereka dalam rangka ‘menghidupkan’ rumah Allah. Selain itu, alasan lain yang mendasari kebolehan ini adalah bahwa apabila para mu’allim hanya fokus pada pengajaran Al-Qur'an, mereka mungkin akan kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka sebab berkutat dengan pengajarannya. Sebaliknya, apabila mereka sibuk dengan pekerjaan lain dan mengesampingkan pengajaran Al-Qur'an, hal ini berpotensi menyebabkan pengajaran Al-Qur'an terabaikan oleh masyarakat. Berdasarkan pandangan hukum secara historis, maka disimpulkan bahwa penamaan mengambil upah sebenarnya adalah upaya pemerintah dari Baitul Maal yang memperhatikan kesejahteraan para muallim dengan memberikan upah kepada mereka. Artinya mereka mendapatkan uang hanya sebatas diberi, bukan menarif harga, mematok harga, bahkan menjelaskan jasa-jasa yang akan diberikan.
Perubahan dalam paradigma dakwah yang mulanya murni menjadi sebuah aktivitas yang melibatkan pertimbangan ekonomi dan tarif dapat dipahami sebagai dampak dari transformasi sosial dan ekonomi yang terjadi seiring dengan perkembangan zaman. Dari sini, ada dua faktor utama yang mempengaruhi fenomena ini, yakni tuntutan kapitalisme modern dan dinamika media sosial yang semakin mendominasi kehidupan masyarakat kontemporer.
Di dalam logika kapitalisme, segala hal yang bernilai harus dievaluasi berdasarkan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan, sehingga dakwah yang seharusnya bersifat altruistik kini dipandang sebagai suatu potensi yang dapat dimonetisasi.[8] Terlebih, jika media massa dan digital turut dipandang membawa pengaruh yang mempercepat pergeseran ini, maka pada akhirnya penceremah (da’i) agama yang sebelumnya dikenal dengan kedalaman ilmunya dan integritasnya kini semakin dilihat sebagai selebritas agama. Kehadiran mereka di platform digital tidak hanya menawarkan pencerahan spiritual, tetapi juga menciptakan citra komersial yang membungkus setiap aktivitas dakwah. Popularitas mereka yang tinggi sering kali lebih dihargai daripada kedalaman ilmu yang mereka miliki, sehingga tarif yang dikenakan tidak lagi didasarkan pada kualitas ajaran, melainkan pada daya tarik dan popularitas sang penceramah. Hal ini menciptakan disparitas dalam akses terhadap dakwah, bahwa hanya kalangan tertentu yang mampu mengaksesnya dengan harga sebanding dengan kemampuan ekonomi mereka, sementara masyarakat dengan daya beli terbatas terpinggirkan dari akses terhadap ilmu agama yang semestinya terbuka untuk semua.
Tuntutan hidup dalam dunia yang semakin kompleks dan kompetitif juga turut membentuk perspektif ini. Para pengajar agama, yang semula mengabdikan diri tanpa pamrih, kini menghadapi kenyataan bahwa hidup di dunia modern memerlukan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang tidak dapat dipenuhi hanya dengan niat baik semata. Hal ini menyebabkan pergeseran dalam pola pikir dan melihat bahwa pengajaran agama serta dakwah dipandang sebagai sebuah profesi yang sah untuk memperoleh penghasilan, terlebih di tengah meningkatnya biaya hidup dan tuntutan ekonomi yang semakin berat.
Logika Pasar dalam Konstruksi Multidimensional Kompleksitas Dakwah
Profesi dai dalam Islam memiliki dimensi spiritual yang kuat sebagai bagian dari upaya menyampaikan ajaran agama kepada umat.[9] Namun, dalam perkembangan masyarakat modern, profesi ini mengalami perubahan mendasar akibat pengaruh globalisasi, kapitalisme, dan kemajuan teknologi. Dakwah yang semula berakar pada nilai-nilai nilai-nilai keikhlasan dan pengabdian harus berhadapan dengan tuntutan pragmatis dunia modern. Dakwah semakin bergeser dari ruang spiritual yang murni menuju ruang ekonomi yang diatur oleh supply and demand principe. Penceramah agama atau dai, terutama yang populer di media massa dan platform digital, mulai diperlakukan sebagai entitas ekonomi yang memiliki nilai pasar. Popularitas, kualitas komunikasi, hingga daya tarik personal seorang dai menjadi aset yang menentukan nilai tarif mereka di mata publik. Akibatnya, dakwah sering kali dikomodifikasi menjadi layanan yang bergantung pada daya beli masyarakat, sehingga lagi-lagi menciptakan ketimpangan akses terhadap pengetahuan agama.
Seiring dengan hal itu, dalam diskursus keagamaan sering kali muncul istilah yang dimaknai sebagai bentuk penghargaan atau insentif, yaitu bisyarah. Secara terminologis, bisyarah dapat diartikan sebagai kabar gembira yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, baik melalui wahyu Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah SAW. Esensi bisyarah ini ditegaskan dalam sejumlah dalil, salah satunya tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a. Beliau berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda mengenai seseorang yang melakukan suatu kebajikan, lalu dia mendapatkan cinta dan sanjungan dari manusia?” Rasulullah SAW menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR Muslim).
Di dalam praksis sosial, istilah bisyarah secara luas dipahami sebagai manifestasi rasa terima kasih atas kontribusi atau jasa tertentu yang dilaksanakan oleh seseorang dalam konteks ibadah atau aktivitas keagamaan. Maka, ketika dilibatkan dalam tradisi masyarakat, penghargaan ini sering kali diwujudkan dalam bentuk material, seperti uang, sebagai simbolisasi ungkapan penghormatan dan apresiasi atas dedikasi yang telah diberikan. Tak pelak, fenomena ini mencerminkan dimensi pragmatis dalam pengakuan terhadap nilai spiritual dan kontribusi sosial individu.
Perkara bisyarah dan implikasinya telah menjadi perbincangan serius di kalangan ulama muta’akhirin, salah satunya oleh Ibnu Rusyd. Isu ini kemudian mendapat perhatian lebih dari Syekh Wahbah Az-Zuhaily yang mengangkat masalah penerimaan bisyarah oleh para guru agama dari masyarakat. Fatwa-fatwa kontemporer yang membahas kewajiban pemberian insentif, baik berupa amplop maupun transfer melalui rekening, muncul sebagai respons terhadap gejala keredupannya permasalahan keagamaan, putusnya anggaran negara (baitul mal) untuk mendukung kegiatan guru agama, serta menurunnya muruah di kalangan pengusaha dan orang-orang kaya. Fenomena ini berbeda dengan kondisi masa lalu, ketika para ulama mazhab Hanafi menganggap makruh pemberian insentif atau amplop karena pada masa itu, para ulama kerap terlibat dalam hisbah, mendapatkan alokasi anggaran yang memadai dari negara, dan memiliki sokongan kuat dari kalangan punggawa kekayaan yang dengan sukarela memberikan insentif. Kondisi sosial dan ekonomi pada masa tersebut memungkinkan mereka untuk tidak memerlukan insentif dari masyarakat, yang dengan demikian menegakkan kewajiban sosial mereka dalam menegakkan syiar agama.
Berbeda dengan keadaan masa kini, negara tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk guru-guru agama atau penceramah, sementara muru’ah banyak orang kaya mengalami kemerosotan. Sebagian besar dari mereka tidak lagi memberikan dukungan terhadap pengajaran agama maupun syiar-syiar keagamaan. Perubahan kontekstual inilah yang mendasari keluarnya fatwa yang memperbolehkan para guru agama atau penceramah untuk menerima insentif dari masyarakat dalam rangka menjaga kelestarian syiar Islam.
Dalam hal penetapan tarif oleh penceramah, persoalan ini memerlukan kajian yang lebih mendalam, karena sering kali menimbulkan kontroversi. Walaupun tidak ada dalil yang secara eksplisit mengharamkan, sebetulnya tindakan penetapan tarif oleh guru agama atau penceramah dinilai tidak etis, mengingat substansi utama dakwah adalah untuk mengedepankan kemaslahatan umat dan bukan untuk tujuan material. Apabila ditarik pada perspektif maqashid syariah, maka praktik penetapan tarif ini dapat menimbulkan implikasi yang bertentangan dengan tujuan-tujuan utama syariah. Salah satu kritik yang relevan adalah bahwa hal tersebut berpotensi mengurangi akses masyarakat ekonomi lemah terhadap pendidikan agama. Kondisi ini dapat bertolak belakang dengan prinsip kemaslahatan yang menjadi landasan hukum Islam, yaitu pemeliharaan agama (hifz ad-din), akal (hifz al-'aql), jiwa (hifz an-nafs), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-mal). Dengan demikian, langkah yang diambil dalam aktivitas keagamaan, termasuk pemberian insentif, harus senantiasa diarahkan untuk menjaga keseimbangan dan mencapai tujuan akhir syariah dalam menciptakan kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tidak hanya itu, kiranya dapat dipertimbangkan ulang apakah praktik tersebut sesuai dengan kaidah al-‘urf (kebiasaan masyarakat) dan prinsip keadilan (tidak memberatkan umat) mengingat di dalam Islam, muamalah bersifat fleksibel selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Di saat yang sama, proses semacam ini dapat dikatakan sebagai upaya rasionalisasi dalam konteks modernisasi agama, sebab kegiatan keagamaan mulai diatur guna efisiensi. Hal ini sejalan dengan pandangan Max Weber bahwa masyarakat industri modern semakin terorganisasi berdasarkan rasionalitas cara-tujuan.[10] Secara beriringan, fenomena ini cenderung disamakan dengan pandangan interaksi simbolik bahwa penceramah mungkin melihat tarif sebagai simbol profesionalisme dan penghargaan atas keilmuan mereka, akan tetapi masyarakat bisa memaknainya sebagai bentuk komodifikasi agama. Perbedaan interpretasi inilah yang dapat menimbulkan konflik nilai dalam komunitas agama. Apabila dianalisis secara lebih komprehensif, fenomena ini berakar pada dinamika sekularisasi, ketika dimensi-dimensi religius semakin terintegrasi dengan ranah profan. Penetapan tarif tersebut merefleksikan manifestasi sekularisasi melalui proses profesionalisasi agama—yang berpotensi mengaburkan demarkasi antara praktik keagamaan dan aktivitas komersial. Kondisi ini dapat memicu krisis otentisitas religius dalam persepsi kolektif masyarakat, sehingga mengikis esensi sakralitas yang seharusnya melekat pada institusi keagamaan.
Terlepas dari segala hal tersebut, rangkaian fenomena ini dapat diasosiasikan dengan suatu praktik yang tengah menjadi perbincangan luas belakangan ini, yaitu komodifikasi agama atau menjual agama. Fenomena ini secara implisit diisyaratkan dalam Q.S Al-Baqoroh ayat 41 yang artinya, “Berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah Aku turunkan sebagai pembenar bagi apa yang ada pada kamu (Taurat) dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku.”[11] Sebenarnya, yang dimaksud praktik menjual agama adalah adanya upaya guna komersialisasi aspek-aspek keagamaan, seperti akidah, ibadah, hingga muamalah, sebagai alat untuk menarik minat pasar (community conditions) tertentu dengan meraup keuntungan sehalus mungkin.[12] Praktik ini sudah ada sejak masa lampau dengan melihat kisah pasukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang diutus ke Romawi dan berakhir sebagai tawanan Kaisar Romawi. Secara kontekstual, hal ini mencerminkan upaya memperdagangkan prinsip keimanan demi keuntungan tertentu, baik secara politis maupun material. Apabila ditarik pada konteks modern saat ini, fenomena serupa terjadi di tengah masyarakat konvensional, ketika nilai-nilai agama diintegrasikan secara tidak sadar ke dalam praktik muamalah atau interaksi sosial-budaya, sehingga menunjukkan bagaimana agama sering direduksi menjadi alat pragmatis yang dimanfaatkan dalam dinamika kehidupan sehari-hari.
Dari Profan-Sakral hingga Irisan-Irisan Pedagang Kitab Suci yang Makin Brutal
Sosioreligius kontemporer memperlihatkan bahwa agama tidak lagi hanya dipahami sebagai sistem teologis yang mengatur relasi transendental antara manusia dan Sang Pencipta, melainkan telah mengalami transformasi menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Lagi-lagi ini merupakan upaya untuk menggerus integritas spiritual dengan kenyataan munculnya ustad-ustad instan yang dikenal di sosial media. Oknum semacam ini mengadopsi perilaku layaknya selebritas. Ia mengemas pesan-pesan keagamaan dalam bingkai hiburan dan lebih mengutamakan popularitas serta imbalan materi daripada substansi ajaran agama. Ustad instan tidak hanya melakukan komodifikasi agama, tetapi juga melakukan komodifikasi diri, bahwa citra dan performa mereka menjadi komoditas utama yang ditawarkan kepada publik. Hal ini mengaburkan batas antara spiritualitas dan komersialisme, sehingga menciptakan paradoks dalam praktik dakwah yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai ketulusan dan keikhlasan.
Berkaitan dengan ketergantungan media, popularitas, dan seni dakwah, muncul dua prinsip yang bersebrangan, yakni apakah pesan-pesan keagamaan masih diyakini sebagai entitas yang mempertahankan kesakralannya atau justru telah direduksi menjadi entitas yang bersifat profan. Tentu, masyarakat dituntut untuk memiliki adaptabilitas tinggi dalam menginterpretasi dinamika kontemporer entropik dalam berbagai aspek, termasuk dalam persoalan agama (religius) dan praksis dakwah. Pertama, secara ontologis, sakral dalam perspektif agama merujuk pada kekuatan transenden atau disposisi psikis individu yang dipengaruhi oleh afektivitas mendalam. Dalam hal ini, pemetaan paling moderat dikemukakan oleh Émile Durkheim melalui pendekatan fungsionalisnya—yang menegaskan bahwa agama memiliki dimensi moral. Selanjutnya, sumber dari konstruksi keagamaan tersebut akan menjadi determinan bagi masyarakat dalam mengkategorikan suatu fenomena sebagai sakral atau profan.[13]
Berbanding terbalik dengan sifat profan, sikap ini cenderung mengutamakan kebebasan dalam life-cycle. Fokus terhadap prohibisi suatu objek bukanlah permasalahan fundamental, melainkan lebih kepada penyederhanaan dalam proses komunikasi sehari-hari. Konsekuensinya, terbentuklah dua ranah konseptual yang dipisahkan oleh suatu batas epistemik, ketika paham profan tidak akan pernah berinteraksi dengan entitas sakral, sehingga eksistensi yang sakral menjadi nihilistik tanpa relasi tersebut. Demikian pula, koeksistensi antara domain sakral dan profan tidak akan terwujud apabila entitas profan tidak mengalami dekonstruksi terhadap karakteristik lekat keprofanannya. Maka, timbullah tataran hikmah sebagaimana disebutkan oleh para ulama, yang menegaskan bahwa hukuman ilmu (dari pengabaian ilmu) adalah kemandegan spiritual yang berujung pada inersia batiniah. Jika dielaborasikan dalam bingkai pemikiran sebelumnya, maka sudah jelas bahwa perspektif profanis terhadap ilmu maupun agama merepresentasikan sebuah distorsi paradigmatik serta penyimpangan yang signifikan secara aksiologis.
Manifestasi perilaku yang telah diuraikan sebelumnya tidak berhenti pada titik tersebut. Saat ini, dinamika global bergerak melalui interkoneksi informasi, media telekomunikasi, ruang sosial, serta konstruksi elektabilitas branding dengan akselerasi disrupsi dan semakin diperjuangkan demi pencapaian eksistensial.[14] Representasi simbolik keislaman semakin meluas, sehingga membentuk beragam konfigurasi persona. Sebagai contoh, individu yang memanfaatkan algoritma media sosial untuk mengkapitalisasi citra diri melalui elemen keagamaan sebagai instrumen pertukaran simbolik. Mereka membangun impresi keberhasilan, menampilkan pencapaian, menciptakan sensasi, hingga mengeksploitasi dalil-dalil agama sebagai komodifikasi utama dalam konstruksi identitas digital mereka.
Marketing keagamaan inilah yang akan dijadikan sebagai tolok ukur dalam pengamatan ini untuk menganalisis perilaku masyarakat yang semakin jauh dari tanggung jawab terhadap prinsip-prinsip keagamaan. Sebagai refleksi dan panduan dalam menilai fenomena semacam ini, penting untuk merujuk kembali pada beberapa ayat Al-Qur'an yang berfungsi sebagai perisai untuk mengkritisi eksistensi, agar tidak mudah terjerumus ke dalam kelompok yang mengalami kematian spiritual sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Salah satunya dapat ditemukan dalam Q.S. Yasin [36]:21.
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ٢١
Artinya: Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan (dalam berdakwah) kepadamu. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini berkaitan dengan ayat ke-17 sebelumnya yang berarti “Adapun kewajiban kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) yang jelas” menunjukka bahwa adanya relevansi konsepsi pendidik profetik pada prinsip sifat wajib rosul, yakni salah satunya adalah tabligh.[15] Maka, paradigma pendidikan profetik mensyaratkan pemetaan realitas empiris sebagai basis penerapan karakteristiknya. Dalam kerangka ini, para muballigh, pendidik, maupun figur sejenis lainnya harus menjalankan tugas penyampaian risalah sebagaimana keteladanan Nabi terdahulu. Kedudukan luhur ini seyogianya tidak terdistorsi oleh kepentingan materialistik; seorang pendidik idealnya berlandaskan panggilan nurani, bukan sekadar insentif finansial.
Di dalam tafsir Al-Munir karya Wahbah Zuhaili, Allah SWT telah menentukan dan menyiapkan seorang laki-laki Mukmin dari negeri Anthakia (ashhabul qoryah) yang dengan sigap merespons informasi mengenai kedatangan para utusan. Ia kemudian berargumentasi dengan kaumnya, menyampaikan nasihat serta memberikan peringatan. Ia mengajak mereka untuk bertauhid, mengikuti risalah para rasul, serta meninggalkan kepercayaan paganistik dan praktik penyembahan terhadap berhala. Sebab, para rasul berada dalam garis kebenaran, memperoleh petunjuk ilahi, dan menjalankan tugas dengan tegas. Para utusan tersebut tidak pernah menuntut imbalan material sedikit pun atas penyampaian risalah yang mereka emban. Hal ini menjadi indikator keikhlasan mereka atas kebersihan hati mereka dari kontaminasi kepentingan duniawi, serta membuktikan bahwa mereka bebas dari kecurigaan akan ambisi terselubung yang bersifat profan.
Kenestapaan dan Nestapa Ilmu
Pertarungan idealisme dan realitas sebagaimana problematika di atas melahirkan apa yang dapat disebut sebagai kenestapaan dalam dunia dakwah, yakni suatu kondisi keterpurukan yang dialami oleh para pendidik agama yang berusaha mempertahankan keikhlasan mereka dalam menyampaikan risalah tanpa kompensasi materil. Kenestapaan ini bukan hanya terbatas pada aspek material, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan epistemologis. Di dalam sejarah peradaban Islam, kita menemukan berbagai model dakwah yang tetap mempertahankan integritas intelektual di tengah keterbatasan material. Para ulama klasik, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengajarkan ilmu tanpa mengharapkan bisyaroh, tetapi mereka memiliki sistem pendukung ekonomi yang memungkinkan mereka untuk tetap produktif. Ironisnya, dalam konteks modern, mekanisme pendukung semacam ini semakin sulit ditemukan, sehingga menyebabkan para pendakwah harus mencari sumber penghidupan lain atau menerima kompensasi yang pada akhirnya bisa mempengaruhi objektivitas dan independensi mereka dalam menyampaikan ajaran Islam.
Implementasi model seperti institusi wakaf berbasis pendidikan, sinergi strategis dengan lembaga filantropi Islam, serta penguatan ekonomi berbasis komunitas dapat menjadi mekanisme yang menjamin keberlanjutan dakwah secara sistemik. Sebagai gambaran, Pemerintah Turki melalui Diyanet İşleri Başkanlığı (Presidensi Urusan Agama) telah menginstitusikan skema remunerasi bagi para imam, khatib, dan pendakwah yang berkiprah dalam institusi keagamaan serta masjid-masjid. Sementara itu, Malaysia mengadopsi pendekatan serupa melalui Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), yang secara struktural menyediakan tunjangan bagi para pendakwah dan imam. Demikian pula, Arab Saudi melalui Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Penyuluhan telah membangun mekanisme kesejahteraan yang memastikan keberlangsungan peran pendakwah tanpa harus terbebani oleh dilema ekonomi.[16]
Spirit profetik sebagaimana dalam Surah Yasin berfungsi sebagai pedoman normatif dalam menangkal pemahaman terkait komersialisasi dakwah. Orientasi fundamental dakwah mengalami pergeseran esensial yang mengakibatkan distorsi terhadap fungsi aslinya. Fenomena ini tercermin dalam maraknya eksploitatifisme agama di kalangan masyarakat milenial, ketika dakwah tidak lagi sekadar menjadi media penyebaran nilai transendental, melainkan telah bergeser menjadi komodifikasi industri berbasis keuntungan. Meskipun para pendakwah termasuk dalam kategori sabilillah sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. At-Taubah [9]:60—yang secara normatif berhak memperoleh kesejahteraan atas dedikasi mereka dalam menyebarkan ajaran agama—namun substansi utama permasalahan ini terletak pada aspek individual. Dengan kata lain, tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan para pendakwah seyogianya menjadi ranah lembaga pemerintahan maupun mekanisme penguatan ekonomi berbasis komunitas. Namun, yang perlu ditekankan adalah kecenderungan aktor individu yang secara independen menetapkan tarif atas dakwahnya. Oleh karenanya, paradigma semacam ini dikukuhkan dalam Q.S. Hud [11]:51, yang menegaskan urgensi dakwah dengan landasan keikhlasan dan tidak diproyeksikan sebagai sarana eksploitasi ekonomi pribadi.
يٰقَوْمِ لَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًاۗ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَى الَّذِيْ فَطَرَنِيْۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ ٥١
Artinya: (Hud berkata,) “Wahai kaumku, aku tidak meminta kepadamu imbalan (sedikit pun) atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari (Tuhan) yang telah menciptakanku. Apakah kamu tidak mengerti?
Dakwah seyogianya dilakukan dengan ketulusan hati, tanpa harapan memperoleh imbalan materi dari manusia, sebagaimana yang dicontohkan oleh para Nabi. Ayat tersebut menegaskan bahwa seorang pendakwah yang menyeru kepada tauhid seharusnya tidak menjadikan dakwah sebagai sarana memperoleh keuntungan duniawi, melainkan semata-mata untuk meraih keridhaan Allah. Para Nabi menjelaskan bahwa mereka tidak meminta balasan atas ajakan mereka kepada tauhid, karena tujuan utama mereka adalah menyempurnakan ibadah kepada Allah dan mendapatkan pahala di sisi-Nya. Hal ini sejalan dengan Q.S. Asy-Syu’ara’ [26]:106, yang menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak memberikan ganjaran atas dakwah yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Apabila seorang pendakwah menuntut imbalan dari manusia, maka keikhlasan dalam dakwah tersebut dapat dipertanyakan.
Fakta bahwa dalam masyarakat kontemporer, khususnya di kalangan milenial yang terperangkap dalam fenomena disrupsi teknologi, banyak individu yang menyandang status sebagai pendakwah, namun lebih mengutamakan pencitraan pribadi di platform media sosial, sehingga menciptakan ketimpangan dalam substansi dakwah itu sendiri ataupun yang sebenar-benarnya da’i dalam konvensional masyarakat. Dominasi selebgram, dakwah dengan balutan event organizer¸bahkan figur publik yang mengusung citra islami padahal nihil keilmuannya, sering kali membawa narasi bahwa mereka adalah sosok yang paling layak menerima perhatian besar dalam dakwah. Implikasi ini mengarah pada tujuan yang tidak benar bahwa dakwah dapat dijadikan sebagai ladang untuk meraup keuntungan pribadi. Padahal, di dalam ajaran Islam, dakwah seharusnya dilakukan dengan niat yang murni semata-mata untuk ibadah kepada Allah, tanpa menyandarkan tujuan pada keuntungan duniawi. Fenomena ini memunculkan kapitalisme spiritual ketika nilai-nilai religius dijadikan komoditas untuk meraih popularitas dan imbalan material. Dakwah yang sesungguhnya—yang semestinya bersifat transenden dan didasarkan pada keikhlasan, justru terperosok ke dalam pragmatisme yang mencederai tujuan luhur penyebaran agama itu sendiri.
[1] Rofiq, M. (2015). Etika Dakwah: Menyikapi Fenomena Dai Bertarif. MIYAH: Jurnal Studi Islam, 11(2), 239-258.
[2] Safei, A. A. (2016). Sosiologi dakwah rekonstruksi, revitalisasi, dan inovasi.
[3] Sunarto AS, S. A. (2018). Etika Dakwah.
[4] Zuhro, F. (2020). Pendapatan Da’i dalam Perspektif Hukum Islam.
[5] Fakhruroji, M. (2005). Privatisasi Agama: Globalisasi dan Komodifikasi Agama. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 193-211.
[6] Hermawan, H. Konstruksi Infotaiment Hotshot Terhadap Pemberitaan Kasus Ustadz Solmed Dengan Jamaah TKI Hongkong Tanggal 23 Agustus 2013 (Bachelor's thesis, Snow White and the Seven Dwarfs).
[7] Wahyuddin, W. (2020). PENINGKATAN EKONOMI PARA QORI DAN QORI’AH PADA HARI BESAR ISLAM di Provinsi Banten.
[8] Fazillah, A. R. (2022). Pemikiran Dakwah KH. Abdurrahman Wahid (Doctoral dissertation, UIN Ar-raniry).
[9] Hidayat, Amri Syarif. "Membangun Dimensi Baru Dakwah Islam: Dari Dakwah Tekstual menuju Dakwah Kontekstual." Jurnal Dakwah Risalah 24.2 (2013): 1-15.
[10] Erfan, M. (2021). Spirit Filantropi Islam dalam Tindakan Sosial Rasionalitas Nilai Max Weber. Jesya (Jurnal Ekonomi dan Ekonomi Syariah), 4(1), 54-64.
[11] Al-Baqoroh [2]:41
[12] Baharun, H., & Niswa, H. (2019). Syariah Branding; Komodifikasi Agama Dalam Bisnis Waralaba Di Era Revolusi Industri 4.0. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 13(1), 75-98.
[13] Muhammad, N. (2013). Memahami konsep sakral dan profan dalam agama-agama. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 15(2), 266-278.
[14] Musdalifah, I., & Salisah, N. H. (2022). Cyberdakwah: Tiktok Sebagai Media Baru. KOMUNIDA: Media Komunikasi dan Dakwah, 12(2), 176-195.
[15] Arif, M. S. (2023). Karakteristik Pendidik Berparadigma Profetik (kajian Al-Qur’an Surah Ar-Rahman Ayat 4 dan Surah Yasin ayat 17 dan 21) (Doctoral dissertation, IAIN KUDUS).
[16] Zaitun, Z. PENDIDIKAN ISLAM DI MALAYSIA. Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, 10(1), 124-160.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang