Indigenos Takjil

Sabtu, 15 Mar 2025, 15:51 WIB
Indigenos Takjil
Takjil: Berbagi Kemurahan di Bulan Ramadhan

Saat Ramadan tiba, istana tidak lagi berdiri sebagai pusat pemerintahan. Ia menjelma dapur raksasa yang berdenyut dengan kesibukan. Para petugas kerajaan berlalu-lalang, ada yang menjerang air untuk minuman hangat, ada yang meracik hidangan, sementara lainnya memastikan tempat makan bersih dan tertata rapi. Bunyi alat masak beradu dengan gelak tawa para khodim menciptakan harmoni di bulan suci. Wangi makanan menyeruak ke seluruh penjuru, seakan menguji keteguhan mereka yang masih menahan haus dan lapar. Di luar sana, langit mulai berubah warna, pertanda waktu berbuka semakin dekat.

Di tengah kesibukan itu, sosok Hajjaj al-Tsaqafi (w. 95 H) tampak berjalan perlahan, matanya menyapu setiap meja yang telah disusun dengan rapi. Gubernur Iraq di bawah Dinasti Umayyah ini dikenal sebagai pemimpin yang tegas, bahkan kejam bagi sebagian orang. Namun, hari itu, tangannya sendiri yang menyusun hidangan di atas seribu meja yang telah disediakan. Dengan ketelitian seorang prajurit, ia meletakkan roti, daging, nasi, cuka, dan sayuran satu per satu, memastikan semuanya tersedia dalam jumlah cukup. Sesekali ia berhenti, menatap deretan hidangan yang telah tersusun rapi, lalu bertanya dengan nada serius, “Apakah masih ada yang kurang?” Jawaban dari para pengikutnya selalu sama, “Semua telah siap, Tuan” Tak ada yang berani memberikan jawaban selain itu.

Sulit membayangkan seorang pemimpin yang lebih sering diingat karena kekejamannya kini berdiri di tengah meja-meja hidangan, memastikan tak satu pun tamu berbuka dalam keadaan kelaparan. Ramadan mengubah banyak hal. Jika di hari-hari lain ia lebih banyak dikenal karena ketegasannya yang tak kenal ampun, kali ini ia hadir sebagai seseorang yang memastikan rakyatnya berbuka dengan layak. Ia tidak membawa pedang atau perintah keras, melainkan sebentuk kepedulian yang jarang tampak dalam catatan sejarahnya. Di dalam pergulatan sosial-politik, pandangan Lapidus-Kennedy dalam History of Islamic Societies menilai bahwa tindakan ini menggambarkan bagaimana penguasa sering kali menggunakan momentum keagamaan untuk membangun legitimasi dan kedekatan dengan rakyat, sebagaimana dianalisis dalam berbagai literatur sejarah politik Islam.

Kisah ini pun tak luput dari tinta sejarah. Al-Baladziri mengabadikannya dalam Ansab al-Asyraf, ia menjadikannya pengingat bahwa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang berbagi dan memberi. Bahkan seorang pemimpin yang paling ditakuti sekalipun, pada akhirnya, bisa tunduk pada panggilan kemanusiaan. Sebagaimana dijelaskan oleh Hodgson (1974) dalam The Venture of Islam, banyak pemimpin Muslim di masa lalu memanfaatkan bulan suci sebagai ajang untuk menunjukkan kemurahan hati dan membangun citra kedermawanan atau memang menurut Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, bahwa praktik berbagi makanan saat Ramadan juga berkembang di Nusantara dalam bentuk tradisi berbuka bersama dan takjil gratis yang hingga kini masih lestari. Mungkin, di antara kepulan asap dapur kerajaan dan hiruk-pikuk persiapan berbuka, ada secuil ketenangan yang tumbuh di hati para pemimpin serupa Hajjaj—sesuatu yang tak pernah ia rasakan dalam pertempuran atau politik yang kejam. Ramadan, sekali lagi, membuktikan bahwa ia adalah bulan yang bisa melembutkan hati siapa pun, bahkan yang paling keras sekalipun.

Sejak masa Dinasti Umayyah hingga era Kesultanan Utsmaniyah, berbagi hidangan berbuka telah menjadi bagian dari praktik sosial yang memperkuat solidaritas komunitas Muslim. Rasulullah ﷺ sendiri menekankan pentingnya memberi makan orang yang berpuasa sebagai bentuk kebaikan yang sangat dianjurkan, sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadis.

Di Indonesia, tradisi berbagi takjil bisa dengan mudah ditemui ketika sore menjelang Maghrib. Di berbagai kota, masyarakat turun ke jalan membagikan paket makanan ringan kepada mereka yang masih dalam perjalanan. Masjid-masjid di seluruh Nusantara pun turut berpartisipasi dengan menyediakan takjil bagi jamaah dan masyarakat sekitar. Fenomena ini mencerminkan semangat gotong royong yang telah lama menjadi bagian dari budaya Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1985) dalam studinya mengenai kebudayaan dan struktur sosial masyarakat Nusantara. Konsep sedekah makanan yang diimplementasikan melalui pemberian takjil juga memiliki kemiripan dengan tradisi kenduri atau selamatan yang telah lama ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam di Nusantara telah berinteraksi dengan budaya lokal, sehingga membentuk praktik yang khas dan berkelanjutan.

Tradisi serupa juga ditemukan di berbagai belahan dunia Muslim. Di Mesir, misalnya, terdapat budaya Maidah Rahman yang muncul setiap Ramadan. Ketika waktu berbuka tiba, masyarakat setempat menyusun meja panjang di ruang-ruang publik, mereka menyediakan makanan gratis bagi siapa saja yang membutuhkan. Konsep semacan ini mencerminkan filosofi sosial Islam yang menekankan kesejahteraan bersama dan berbagi rezeki. Di Turki, terdapat tradisi iftar tenda, ketika pemerintah dan organisasi amal mendirikan tenda besar di pusat kota untuk memberikan hidangan berbuka bagi ribuan orang setiap harinya.

Tradisi berbagi makanan (takjil) sebetulnya berakar dari hadis Rasulullah Saw, tetapi juga memiliki dasar dalam fikih dan ushul fikih. Dalam salah satu riwayat, Rasulullah Saw bersabda:

 إِنَّ فِي الجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِن بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِن ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللَّهُ لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَفْشَى السَّلَامَ وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luar dan bagian luarnya terlihat dari dalam. Allah menyediakannya bagi orang-orang yang memberi makan, menyebarkan salam, dan menunaikan salat malam saat manusia sedang tidur.” (HR. Tirmidzi, no. 1984). Hadis ini menunjukkan bahwa memberi makan kepada orang lain, termasuk dalam perihal berbuka puasa merupakan amalan utama yang mendatangkan ganjaran besar di akhirat.

Di dalam perspektif fikih, ulama dari berbagai mazhab juga menegaskan pentingnya berbagi makanan berbuka sebagai bentuk solidaritas sosial. Di dalam Al-Majmu' karya Imam Nawawi (w. 676 H), disebutkan bahwa memberi makan orang yang berpuasa termasuk bagian dari amalan sunnah yang dianjurkan (mustahab). Imam Malik dalam Al-Mudawwanah juga menyebutkan bahwa berbagi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa tidak hanya dianjurkan, tetapi menjadi bagian dari tradisi para salafush-shalih. Bahkan, dalam Bada’i as-Shana’i karya Imam Al-Kasani (w. 587 H), dijelaskan bahwa menyediakan makanan berbuka termasuk kategori ta’awun ‘ala al-birr wa al-taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan), sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 2).

Dari sudut pandang ushul fikih, ihwal berbagi makanan berbuka dapat dikaitkan dengan kaidah سد الذرائع (menutup pintu kemudaratan) dan جلب المصالح (mendatangkan kemaslahatan). Dengan berbagi makanan berbuka, seseorang dapat membantu orang lain yang kesulitan mendapatkan makanan, sekaligus mempererat ukhuwah Islamiyah di tengah masyarakat. Kaidah ini juga selaras dengan prinsip dalam Maqashid Syariah, bahwa tujuan syariat adalah menjaga jiwa (hifzh an-nafs) dan memperkuat hubungan sosial (ta’liful qulub) dalam masyarakat Muslim.

Tradisi berbagi makanan berbuka puasa sudah menjadi bagian dari praktik sosial dalam sejarah Islam. Dari masa Rasulullah Saw hingga era Khulafaur Rasyidin, budaya ini telah menjadi manifestasi nyata dari nilai solidaritas dan kepedulian sosial. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Tirmidzi menekankan bahwa memberi makan orang yang berpuasa mendatangkan pahala yang setara dengan orang yang berpuasa itu sendiri. Dalam Sunan Abu Dawud pula disebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah menolak undangan berbuka puasa. Hal ini menunjukkan pentingnya aspek berbagi dan kebersamaan dalam Islam. Selain itu, dalam Al-Muwatta’ karya Imam Malik juga ditemukan riwayat yang menunjukkan bahwa para sahabat seringkali berbuka puasa bersama dan mengutamakan memberi makan orang lain.

Di era klasik Islam, kebiasaan ini semakin berkembang menjadi bagian dari praktik filantropi yang dilakukan oleh para pemimpin dan dermawan. Sebagaimana dicatat oleh at-Thabari, Utsman bin Affan menyediakan minuman berbuka bagi jamaah Masjid Nabawi, sementara Ubaidillah bin Abbas, seperti yang dikisahkan oleh Ibn Abik al-Dawadariy dalam Kanz al-Durar wa Jami’ al-Ghurar, menjadi salah satu pelopor dalam mendirikan meja berbuka di tempat umum. Di waktu dan tempat yang lain, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengaitkan kebiasaan berbagi makanan ini dengan konsep solidaritas sosial (asabiyyah), yang memperkuat hubungan antarindividu dalam masyarakat Muslim.

Praktik berbagi makanan berbuka puasa juga dapat ditemukan dalam berbagai peradaban Islam di luar Arab. Di Turki Utsmani, misalnya, dikenal tradisi iftar sofraları atau jamuan berbuka bersama di halaman masjid dan istana. Hal ini sejalan dengan catatan Evliya Çelebi dalam Seyahatname, yang mendokumentasikan bagaimana masyarakat Utsmani menyiapkan ribuan porsi makanan berbuka bagi fakir miskin dan musafir. Di Persia era Safawi, budaya berbagi hidangan berbuka juga menjadi bagian dari kebijakan sosial yang diatur oleh para ulama Syiah.

Konsep takjil sebagai kebijakan atau aktivitas negara bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban Islam Nusantara. Sejak masa Dinasti Abbasiyah, kebijakan sosial berbasis pangan ini telah diterapkan sebagai bagian dari strategi kesejahteraan negara. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah, Khalifah Harun al-Rasyid (w. 193 H) juga dikenal memiliki kebijakan sosial yang serupa, ketika istana menyediakan makanan berbuka bagi masyarakat miskin di berbagai penjuru Baghdad. Bahkan, pada masa Khalifah al-Ma'mun (w. 218 H), terdapat laporan bahwa negara mendistribusikan bahan makanan pokok selama Ramadan untuk memastikan tidak ada warga yang mengalami kelaparan.

Kebijakan ini semakin berkembang pada era Dinasti Mamluk dan Utsmani. Di dalam catatan al-Maqrizi (Itti’az al-Hunafa), Sultan Qalawun (w. 689 H) mendirikan dapur umum (maṭbakh al-sultan) di Kairo yang menyediakan makanan berbuka dan sahur bagi rakyat miskin. Sementara itu, di era Kesultanan Utsmani, kebijakan serupa juga diterapkan dalam bentuk Imaret—institusi sosial yang bertugas menyediakan makanan bagi orang miskin, musafir, dan kaum dhuafa, sebagaimana tercatat dalam studi Suraiya Faroqhi dalam Subjects of the Sultan: Culture and Daily Life in the Ottoman Empire.

Di era modern, konsep kebijakan berbagi makanan selama Ramadan masih dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Di Iran, pemerintahan Republik Islam menyediakan iftar massal bagi masyarakat melalui dana wakaf dan baitul mal negara. Di Malaysia, kebijakan berbagi takjil juga difasilitasi oleh pemerintah melalui lembaga zakat resmi. Di Indonesia sendiri, sebagaimana dikaji oleh Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid, budaya berbagi makanan berbuka telah menjadi bagian dari kebijakan sosial sejak era kerajaan Islam, seperti Kesultanan Demak dan Mataram Islam, yang memiliki tradisi berbagi makanan untuk masyarakat luas di bulan Ramadan. Tradisi ini juga ditemukan di Kesultanan Aceh, ketika Sultan Iskandar Muda (w. 1636 M) mewajibkan pejabat istana mengalokasikan dana kas kesultanan untuk menyediakan makanan berbuka bagi rakyat miskin. Kebiasaan ini kemudian diteruskan oleh Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, yang secara berkala membagikan makanan berbuka di sekitar keraton.

Dari beberapa catatan fragmen di atas, tradisi berbagi makanan berbuka puasa tampak sebagai bagian integral dari peradaban Islam sejak masa awal hingga era kontemporer. Hal semacam ini memberikan nilai-nilai solidaritas sosial dan kedermawanan yang terus diwariskan. Dari istana penguasa Muslim klasik hingga dapur umum kerajaan-kerajaan besar, dari praktik filantropi di pusat-pusat keilmuan hingga tradisi takjil di Nusantara, semua menunjukkan bagaimana Islam menanamkan pentingnya kepedulian terhadap sesama, khususnya di bulan Ramadan. Tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan pangan, berbagi hidangan berbuka juga menjadi manifestasi nyata dari maqashid syariah dalam menjaga kesejahteraan sosial dan mempererat ukhuwah Islamiyah. Sejarah mencatat bahwa bahkan pemimpin paling keras sekalipun pernah tersentuh oleh nuansa kemanusiaan yang dibawa Ramadan, membuktikan bahwa bulan suci ini bukan sekadar ritual individual, melainkan momentum transformasi sosial yang mampu melembutkan hati dan memperkuat persaudaraan umat manusia.

 

 

kebersamaan  takjil 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan