Perempuan dengan nilai diri tinggi (high value) menjadi kunci dalam melawan diskriminasi sosial di era modern.[1] Konsep Kartini Milenial hadir pada perempuan masa kini yang cerdas, mandiri, dan mampu menjadi agen perubahan sosial. Prinsip 4B: Be brave, be bright, be balanced, be bold atau brain, beauty, behavior, adalah panduan untuk memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat. Kesenjangan gender masih nyata. Hal ini dibuktikan dalam laporan World Economic Forum oleh Global Gender Gap Report 2023 yang menunjukkan perempuan hanya memiliki akses terhadap 68.1% dari hak dan peluang yang dimiliki laki-laki.
Di Indonesia, ketimpangan gender tetap ada dalam partisipasi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan politik. Studi dari International Labour Organization (ILO) juga menunjukkan diskriminasi di tempat kerja, termasuk kesenjangan upah dan keterbatasan akses ke posisi manajerial. Melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia 2022 mengindikasikan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan dan ekonomi masih lebih rendah dibandingkan laki-laki.[2] Prinsip 4B dapat menjadi kerangka kerja efektif untuk meningkatkan self-worth, sebagaimana penelitian dalam Psychological Science menemukan bahwa perempuan dengan nilai diri tinggi cenderung lebih proaktif dalam kepemimpinan dan advokasi hak-hak mereka. Berbagai program pemberdayaan perempuan, seperti Women Empowerment Principles oleh UN Women dan Kartini Next Generation Awards menekankan pentingnya kesetaraan gender sebagai kunci melawan diskriminasi. Keberhasilan tokoh perempuan Indonesia seperti Sri Mulyani, Retno Marsudi, dan Tri Rismaharini menjadi bukti nyata bagaimana penerapan prinsip 4B dapat membantu perempuan menembus batas-batas diskriminasi.
Meski banyak inisiatif pemberdayaan perempuan, masih banyak yang terjebak dalam stereotip penampilan fisik dan mengabaikan substansi prinsip 4B. Fenomena ini tercermin dalam budaya populer dan media sosial, ketika kesuksesan perempuan sering kali diukur dari aspek visual dan penampilan luar semata, tanpa perhatian terhadap pengembangan intelektual, etika sosial, dan keberanian menghadapi tantangan. Sebagai contoh, banyak kasus selebriti yang lebih memprioritaskan tampilan fisik demi popularitas sering kali menonjol meskipun tanpa kontribusi signifikan dalam bidang kepemimpinan atau advokasi publik.
Tren ini memicu kemunduran dalam upaya menegakkan kesetaraan gender yang lebih substansial, karena perempuan yang menonjol secara visual justru berpotensi memperkuat stereotip seksisme yang mengakar.[3] Hal ini semakin diperburuk oleh budaya konsumerisme yang mengagungkan citra tubuh ideal, sehingga fokus pada peningkatan kemampuan diri sering terabaikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengabaian prinsip 4B secara menyeluruh dapat memunculkan ketidakseimbangan dalam proses pemberdayaan perempuan itu sendiri. Paradigma semacam ini perlu kita tepis dengan menekankan pentingnya keseimbangan antara estetika fisik dan kualitas internal perempuan. Pemberdayaan yang sesungguhnya bukan hanya soal merayakan kecantikan, tetapi juga membangun kepercayaan diri melalui pendidikan, pengembangan keterampilan, dan kontribusi nyata dalam masyarakat.
Sejatinya, Allah SWT telah menjelaskan tentang pentingnya keberadaan perempuan di dalam Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 34.[4] Hal ini menunjukkan betapa signifikan peran perempuan dalam tatanan kehidupan sosial yang adil dan setara. Setiap tahunnya, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini pada tanggal 21 April, sebagai penghormatan atas perjuangan Raden Adjeng (R.A.) Kartini dalam menuntut kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. R.A. Kartini, seorang Pahlawan Nasional Indonesia, menjadi ikon emansipasi perempuan yang berjuang melawan ketidakadilan struktural dengan gagasan dan intelektualitasnya.[5]
Perjuangan Ibu Kartini tidak hanya memberikan dampak besar bagi perempuan di masa lalu, tetapi juga menjadi inspirasi bagi gerakan "Kartini Milenial" saat ini. Kartini Milenial adalah representasi generasi perempuan modern yang mengagungkan prinsip "4B" dengan semangat tinggi untuk mencapai nilai-nilai kehidupan yang berkualitas (high value).[6] Mereka menghidupkan kembali semangat Kartini dengan mengedepankan keberanian dalam menghadapi tantangan, keilmuan yang relevan dengan perkembangan zaman, kemandirian ekonomi dan sosial, serta akhlak yang mulia sebagai fondasi utama pemberdayaan.
Konsep gender yang diperjuangkan oleh Kartini pada masa lalu masih sangat relevan dengan konteks saat ini. Gender, sebagaimana dijelaskan dalam KMK 807 Tahun 2018 merupakan peran dan status yang melekat pada laki-laki atau perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman, berbeda dengan perbedaan biologis yang bersifat kodrati.[7] Banyak yang mencampuradukkan antara perbedaan yang bersifat kodrati dengan perbedaan yang bersifat sosial-budaya, padahal keduanya berbeda dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. s
Kesetaraan gender yang dipelopori oleh Kartini adalah landasan perjuangan perempuan dalam memperoleh hak-haknya, terutama dalam bidang pendidikan. Semangat tersebut kemudian diikuti oleh Kongres Perempuan Indonesia yang diadakan pada tanggal 22 Desember 1928, yang kini diperingati sebagai Hari Ibu. Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia masih banyak hambatan dalam pendekatan kesetaraan gender, antara lain peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, kurangnya perlindungan hukum, dan budaya yang bias gender. Ketidakadilan gender terjadi dalam berbagai bentuk, seperti stereotip negatif, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, hingga kekerasan fisik maupun nonfisik.[8] Oleh karena itu, diperlukan upaya yang berkelanjutan dalam menyosialisasikan pentingnya kesetaraan, sekaligus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana perempuan dapat berdiri setara dengan laki-laki, tanpa kehilangan kehormatan dan hak perlindungan mereka.
Kartini Milenial harus melanjutkan perjuangan Kartini dalam menanggulangi ketidakadilan gender dan memperjuangkan hak-hak perempuan di berbagai ranah. Tidak sekadar berfokus pada aspek estetika, Kartini Milenial dituntut untuk mengembangkan nilai diri yang holistik berdasarkan prinsip "4B” tersebut. Pemberdayaan perempuan bukan perihal penampilan semata, tetapi jug kualitas internal dan kontribusi dalam masyarakat. Melalui prinsip tersebut, perempuan mampu berdiri sejajar dengan laki-laki tanpa kehilangan kehormatan dan hak perlindungan. Semangat Kartini dalam memperjuangkan pendidikan, karir, kualitas kehidupan sebagai jalan utama kemajuan perempuan masih relevan, dan harus diwujudkan melalui penyempurnaan regulasi, partisipasi masyarakat, dan perubahan persepsi terhadap peran perempuan.
Islam telah memuliakan perempuan sebagai makhluk yang istimewa, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat An-Nisa'. Oleh karena itu, perempuan dalam tren globalisasi kini, khusunya jiwa Kartini Milenial harus memperkuat prinsip "4B" dengan nilai-nilai al-haya' (rasa malu) dan iffah (menjaga diri) sebagaimana dicontohkan oleh ummahatul mukminin.[9] Nilai-nilai ini merupakan pilar fundamental dalam menjaga kehormatan dan martabat perempuan, sehingga kesetaraan yang diupayakan bukan hanya tentang hak dan kewajiban yang setara, tetapi juga penghargaan terhadap kehormatan perempuan, sebagaimana yang dicita-citakan Kartini serta keselarasan dengan ajaran agama.
Kultus Estetika dan Tantangan 4B dalam Pergulatan Gender
Terdapat dua disparitas nilai dalam permasalahan ini, yakni terkait sikap yang berlebihan dalam memuliakan estetika sehingga mengabaikan aspek konfiguratif maupun aspek kognitif lainnya, serta gejolak pergerakan untuk kesetaraan gender yang sering kali diperjuangkan guna mencapai taraf normatif. Padahal, tujuan dari gerakan Kartini milenial sesungguhnya adalah menginstitusionalisasi empat pilar, yaitu kecantikan, intelektualitas, moralitas, serta keberanian, agar memperoleh kedudukan yang setara. Hal ini tentu melibatkan sejumlah kerisauan terkait persoalan yang melatarbelakangi isu tersebut. Kesetaraan gender tidak semata-mata tentang objektivikasi perempuan, melainkan juga mencakup cara seseorang menempatkan dirinya sebagaimana mestinya.
Dewasa ini, kita dihadapkan pada fenomena yang menggambarkan ekses hiperkapitalisme dalam memproduksi standar kecantikan yang rigid dan eksklusif. Hal ini menimbulkan bias yang mendalam dalam masyarakat, ketika kecantikan dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhargaan perempuan, sementara elemen-elemen integral lainnya seperti kecerdasan, moralitas, dan keberanian tereduksi menjadi periferal.[10] Maka, timbul sebuah dalih bahwa kecantikan merupakan sebuah "privilege" yang dapat membuka banyak peluang sehingga semakin merebak dalam konteks sosial kontemporer. Pandangan seperti "it's okay that I'm not smart, the important thing is that I'm beautiful" merupakan manifestasi dari internalisasi konstruksi sosial yang menekankan bahwa nilai seorang perempuan terutama terletak pada penampilannya. Hal ini diperkuat oleh studi dari Journal of Personality and Social Psychology yang mengungkapkan bahwa perempuan dengan penampilan yang lebih menarik cenderung dipersepsikan sebagai individu yang memiliki status sosial lebih tinggi dan lebih mungkin mendapatkan kemudahan dalam pekerjaan dan relasi sosial.[11]
Kecantikan sebagai modal sosial yang dianggap menguntungkan telah mengakibatkan terjadinya pergeseran prioritas di kalangan perempuan muda di Indonesia.[12] Hal ini terlihat dari banyaknya perempuan yang lebih memfokuskan diri untuk mencapai standar kecantikan yang telah distandardisasi oleh budaya populer, seperti bentuk tubuh yang ideal, kulit putih cerah, serta penampilan yang memikat. Fenomena ini menyebabkan pengorbanan bahkan tidak menghiraukan terhadap aspek intelektual yang seyogianya merupakan elemen fundamental dalam pengembangan diri.
Pandangan bahwa kecantikan merupakan satu-satunya privilege yang esensial turut menjadi faktor yang melanggengkan ketimpangan dalam partisipasi perempuan di sektor strategis. Berdasarkan penelitian Female Daily Network menunjukkan bahwa literasi informasi terkait kecantikan di kalangan perempuan Indonesia cenderung tinggi, yang dapat mengindikasikan tingginya prioritas terhadap penampilan fisik di kalangan perempuan produktif di Indonesia yang mungkin dapat mempengaruhi perkembangan aspek intelektual mereka.[13] Mereka lebih memilih untuk tetap berada dalam zona nyaman dan menghindari posisi strategis yang dapat mendatangkan tantangan intelektual. Dampaknya, potensi perempuan dalam memberikan kontribusi bagi inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia menjadi sangat terbatas, sehingga mengurangi diversifikasi perspektif yang diperlukan dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada.
Menanggapi persoalan semacam ini, perlu adanya dekonstruksi narasi yang menempatkan kecantikan sebagai modal sosial utama. Penekanan terhadap pentingnya pendidikan dan pengembangan kapasitas intelektual harus diperkuat, terutama dalam rangka memberdayakan perempuan agar mampu memberikan kontribusi signifikan dalam masyarakat. Penanaman karakterisasi hinga pengalaman inklusif sangat diperlukan untuk menyampaikan bahwa kecantikan hanyalah salah satu aspek dari identitas seseorang, bukan parameter utama dalam menilai kesuksesan maupun martabat diri. Sebagai rumusan utama, hal ini penting untuk diperhatikan melalui firman Allah dalam Q.S. An-Nur (24:31).
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ ٣ ...بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ. ۖ
Artinya: Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.
Dalam ayat ini, Allah SWT menginstruksikan para perempuan untuk menahan pandangan mereka dari apa yang haram, menjaga kehormatan diri, serta tidak menampakkan perhiasan kecuali yang biasa terlihat. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak menolak konsep kecantikan, namun kecantikan sejati dilihat dalam sikap dan kesucian batin. Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur'an menjelaskan bahwa menjaga pandangan adalah langkah pencegahan dari hal-hal yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa, terutama terkait dengan zina.[14] Perintah untuk menutupi aurat, termasuk dengan menutup dada dengan kain kerudung, memperjelas bahwa kecantikan fisik bukanlah aspek utama yang harus dipamerkan untuk mendapatkan perhatian atau status sosial. Hal ini relevan dengan diskursus tentang perempuan yang terlalu menitikberatkan kecantikan fisik sebagai tolok ukur kesuksesan atau martabat diri. Islam justru menekankan pentingnya karakter dan keimanan sebagai pilar utama seorang wanita.
Permasalahan yang mencuat adalah penyebaran luas berita mengenai figur seperti Lucinta Luna. Lucinta kerap menjadi bahan perbincangan publik karena transformasi fisiknya (transgender) serta kontroversi seputar kehidupan pribadinya (Viva News). Meskipun memiliki pengikut yang masif, sorotan utamanya lebih sering tertuju pada aspek visualnya ketimbang prestasi intelektual atau kontribusi substansial lainnya. Hal ini menimbulkan kritik terhadap peran media yang membentuk persepsi publik tentang perempuan, seakan-akan mereka lebih berharga jika hanya dinilai dari sisi penampilan fisik semata.
Fenomena semacam ini dapat dianggap sebagai parasit publik yang secara tidak langsung merendahkan martabat representasi perjuangan perempuan, serta merugikan audiens sebab senantiasa diberikan panggung dengan dalih memiliki nilai tinggi dalam akses terhadap dunia infotainment. Isu terkait Lucinta Luna sejatinya sudah tidak relevan untuk dibahas dalam ranah media yang sering kali menjadi arena perdebatan publik mengenai gender tidak jelas. Sebut saja contoh lainnya, ada Barbie Kumalasari yang terkenal karena transformasi fisik dan sering kali muncul di media dengan pernyataan-pernyataan kontroversial yang memicu kritik terhadap kapasitas intelektualnya. Contohnya, ketika ia mengklaim bahwa jarak antara Jakarta dan Amerika dapat ditempuh dalam waktu singkat, publik pun mempertanyakan kecerdasan kognitifnya. Selain itu, netizen menganggapnya lebih mementingkan penampilan dan gaya hidup glamor ketimbang kontribusi substansial lainnya (Liputan6.com).
Pada kenyataannya, budaya populer akan standar estetika fisik hanyalah bentuk internalisasi konstruksi sosial. Narasi ini menujukkan tanda beragam bias terhadap gender khususnya perempuan. Maka, pola globalisasi saat ini telah menciptakan tekanan besar bagi perempuan. Sebagai contoh, terutama melalui melalui media sosial yang sering kali mengusung citra kecantikan yang kaku dan tidak realistis, seperti platform Instagram dan TikTok. Standarisasi semacam ini sering kali menampilkan perempuan dengan penampilan fisik tertentu yang dianggap "ideal" yakni semisal bertubuh ramping, berkulit cerah, serta memiliki wajah yang simetris. Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa nilai perempuan hanya ditentukan oleh penampilan, bukan kualitas intelektual atau kontribusi sosial. Akibatnya, perempuan cenderung diobjektivikasi dan dipandang sebagai komoditas visual yang harus memenuhi ekspektasi kecantikan ini.
Fenomena Devaluasi Peran Perempuan dalam Budaya Populer
Di tengah perkembangan emansipasi dan kesetaraan gender, fenomena devaluasi peran perempuan dalam budaya populer masih sangat terlihat, ketika standar kecantikan kerap dijadikan patokan utama untuk menilai nilai dan keberhasilan individu. Meskipun perempuan telah menunjukkan kecerdasan, kemandirian, dan prestasi yang luar biasa, mereka sering kali dinilai "kurang" apabila tidak memenuhi kriteria estetik. Konsep ini berakar dari pemahaman bahwa kecantikan adalah modal sosial yang lebih diutamakan dibandingkan kualitas lain seperti intelektualitas atau moralitas. Misalnya, survei oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa banyak perempuan merasakan tekanan untuk memenuhi ekspektasi kecantikan yang menciptakan stigma bahwa perempuan yang cerdas dan mandiri namun tidak cantik dianggap tidak berharga dalam masyarakat. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui istilah "beauty privilege atau superficial beauty" yang merujuk pada keuntungan sosial seseorang berdasarkan penampilan fisiknya. Maka, dalam hal ini meski perempuan memiliki kemampuan dan prestasi yang signifikan, mereka sering kali terpinggirkan dalam struktur sosial yang lebih mementingkan penampilan fisik daripada kontribusi yang lebih substantif (celebrity culture).
Budaya populer di Indonesia sering kali memperkuat standar ini melalui representasi perempuan di media massa, terutama di dunia hiburan dan media sosial. Selebriti dan figur publik perempuan yang paling banyak diidolakan cenderung adalah mereka yang mengikuti standar kecantikan yang berlaku. Studi ZAP Beauty Index 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 70% perempuan Indonesia menganggap kecantikan sebagai hal yang mendominasi citra ideal perempuan, sehingga menegaskan bahwa aspek fisik sering kali lebih diutamakan dibandingkan kemampuan lainnya.[15]
Platform seperti TikTok dan Instagram, telah menjadi katalis utama dalam pembentukan persepsi estetik perempuan di era digital.[16] Figur-figur seperti Tasya Farasya yang berperan sebagai beauty influencer mendefinisikan standar kecantikan yang diidealkan oleh masyarakat. Mereka kerap dijadikan panutan dalam hal penampilan, sehingga mendorong banyak perempuan untuk meniru tren yang serupa demi memperoleh pengakuan estetis dalam lingkup sosial.
Standar kecantikan yang ada di media sosial biasanya menekankan pada penampilan fisik tertentu, seperti kulit putih, wajah sesuai dengan Golden Ratio, tubuh langsing, dan ciri-ciri fisik lain yang tidak jarang sulit dicapai bagi kebanyakan orang. Fenomena ini menyebabkan perempuan yang tidak memenuhi standar tersebut merasa kurang berharga atau bahkan mendapatkan kritik dari lingkungan mereka. Hal ini terjadi seperti dalam pernyataan "percuma pintar kalau gak cantik" ketika kecerdasan sering kali dipandang sebagai ketidakcukupan jika tidak disertai dengan penampilan fisik yang sesuai standar kecantikan umum.
Budaya konsumerisme atau fear of missing out (FOMO) yang semakin merajalela di media sosial memperkuat ekspektasi bahwa kecantikan adalah modal utama untuk mendapatkan validasi sosial. Banyak perempuan merasa perlu menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang diiklankan oleh beauty influencer, yang sering kali membutuhkan pengeluaran besar untuk produk-produk kecantikan atau bahkan operasi plastik. Fenomena ini sangat membatasi ruang gerak perempuan, seolah-olah kontribusi mereka di bidang profesional baru dianggap "lengkap" jika mereka juga dianggap memenuhi norma estetika yang berlaku secara konvensional. Menimpali persoalan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh penampilan fisik atau status sosial, melainkan oleh ketakwaan dan kontribusinya kepada masyarakat, Al-Quran memberikan panduan yang jelas terkait hal ini, seperti yang disebutkan dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diciptakan dari asal yang sama, tanpa ada yang lebih unggul hanya berdasarkan nasab, status sosial, atau atribut fisik. Hal ini menjadi relevan bagi perempuan yang merasa perlu memenuhi standar kecantikan fisik demi mendapatkan pengakuan dan validasi sosial. Berdasarkan penjelasan di dalam tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di adanya manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bertujuan agar berbagai hal positif tersebut bisa terwujud yang bergantung pada proses saling mengenal satu sama lain.
Namun, parameter kemuliaan di antara mereka adalah ketakwaan. Seseorang yang paling terhormat di antara sesamanya adalah yang paling taat kepada Allah, paling banyak melaksanakan ibadah, serta paling mampu menahan diri dari perbuatan maksiat, bukan yang memiliki hubungan kekerabatan yang paling luas atau berasal dari suku yang paling terhormat, ataupun yang memiliki latar belakang sosial yang lebih tinggi. Dalam penafsiran ini, kemuliaan yang dimaksud adalah sesuatu yang secara berkelanjutan mendatangkan kebahagiaan bersifat kekal, bukan materi yang bersifat sementara.[17] Sementara itu, tingkat ketakwaan seseorang merupakan aspek yang sukar diukur oleh manusia, kecuali oleh Dzat Yang Maha Mengetahui.[18]
Spirit Emansipasi dalam Membangun Keselarasan Antara Peran Publik dan Kodrati
Di dalam perjalanan sejarah, peran perempuan kerap kali berada di persimpangan antara kewajiban kodrati dan tuntutan peran publik. Maka, benar halnya Kartini milenial yang hadir pada ranah kontemporer kini sebagai simbolisasi perempuan modern yang tidak hanya berperan dalam ranah domestik, tetapi juga aktif berkontribusi di ruang publik. Kartini milenial adalah refleksi dari semangat emansipasi yang berusaha mengharmonisasikan peran perempuan dalam lingkup keluarga dan masyarakat luas. Keselarasan antara kedua peran tersebut menjadi krusial untuk memastikan perempuan dapat menjalankan fungsi kodratinya sembari mengembangkan potensi dan berdaya secara optimal.
Islam datang membawa misi untuk meningkatkan martabat kaum perempuan. Islam memberikan kedudukan yang terhormat dan hak-hak yang setara dalam masyarakat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, degradasi moral dan karakter perempuan di era globalisasi kian nyata.[19] Kebebasan yang diperoleh sering kali disalahartikan sehingga melahirkan perilaku yang menyimpang dari fitrah kodrati perempuan. Akibatnya, terjadilah penurunan kualitas karakter, ketika sebagian perempuan mulai mengabaikan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung (adaabul mar’ah) seperti rasa malu, menjaga aurat, menjaga pandangan, beradab, penuh cinta kasih, menjaga lisan, dan bersikap lemah lembut.
Ironisnya, banyak perempuan justru mengambil langkah yang berseberangan dengan tuntunan tersebut. Banyak fenomena pembangkangan terhadap suami, praktik pergaulan bebas, dan perilaku mempertontonkan aurat tanpa rasa malu melalui media sosial untuk menarik perhatian dan meningkatkan jumlah pengikut di platform seperti Instagram, Twitter, dan lainnya menjadi semakin lazim. Hal ini bertentangan dengan tuntunan Al-Qur’an yang mengajarkan perempuan untuk menjaga kehormatan, menyimpang sebagaimana dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 33.
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهۗ اِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ ٣٣
Artinya: Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Di dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, menukil istilah tabarruj secara individual bermakna perbuatan wanita yang menampakkan perhiasaan dan kecantikannya yang harus ia sembunyikan yang dapat mengundah syahwat laki-laki. Allah memerintahkan perempuan, khususnya istri-istri Nabi, untuk menetap di rumah mereka dan menghindari tabarruj, yaitu menampakkan perhiasan dan kecantikan secara berlebihan seperti pada zaman jahiliyah. Larangan tabarruj bertujuan untuk menjaga kehormatan, menghindari fitnah, dan melindungi perempuan dari godaan serta pandangan syahwat laki-laki yang tidak berhak.
Dari pemahaman terhadap tafsir beberapa ayat yang telah dikaji, dapat kita simpulkan bahwa prinsip-prinsip pendidikan yang diterapkan kepada kaum perempuan secara umum menekankan pada kesadaran diri dan kemampuan untuk menahan pandangan, baik terhadap kecantikan fisik mereka sendiri maupun dorongan untuk mencari validasi dari penilaian orang lain (beauty of socialites). Sikap ini jelas bertentangan dengan ajaran dan perintah agama yang menekankan kewajiban perempuan untuk menjaga kehormatan mereka, termasuk menjaga aurat agar tetap terlindungi dan terhindar dari perilaku zina, sehingga kesucian mereka tetap terpelihara.
Perempuan adalah makhluk yang diberkahi dan diistimewakan oleh Allah SWT. Allah berjanji akan menjadikan perempuan sebagai makhluk yang terlindungi, sumber kedamaian dalam lingkungan rumah tangga, serta sebagai agen pendidikan moral bagi generasi penerusnya. Pembentukan karakter anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterima dari kedua orang tua dengan peran ibu yang dominan. Peran ibu menjadi penentu dalam membentuk karakter anak, apakah akan menjadi baik atau buruk. Hal ini termaktub dalam QS An-Nisa ayat 34.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ٣٤
Artinya: Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Ayat tersebut menekankan pentingnya kepatuhan dan ketaatan perempuan terhadap Allah, serta tanggung jawab mereka dalam memelihara diri terutama ketika suami tidak berada di dekatnya. Perempuan dalam hal ini tetap dianjurkan untuk menjadi pilar keluarga yang kuat dan mandiri. Di tengah tantangan tersebut, banyak perempuan kini yang sudah mampu menggabungkan peran kodrati dan tuntutan publik dengan sangat baik, sebagaimana dilansir oleh Republika tentang “100 Perempuan Menginspirasi Indonesia”.
Tokoh-tokoh seperti Sri Mulyani, Nadya Aqila, dan Yayuk Basuki merupakan sekian di antara perempuan terpilih yang menunjukkan integritas dan dedikasi mereka dalam berbagai bidang. Mereka tidak hanya aktif dalam berkontribusi di sektor publik, melainkan juga memegang peran penting dalam keluarga dan komunitas. Maka, penghargaan semacam ini mencerminkan spirit emansipasi yang kuat ketika perempuan tidak hanya dianggap sebagai pelangkap dalam lingkungan domestik, tetapi juga sebagai motor penggerak perubahan di masyarakat.
Sebagai contoh, Mardiana Iska mendirikan “Yayasan Satu Indonesia” yang berfokus pada akses pendidikan berkualitas anak-anak di daerah terpencil dan kurang mampu. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas diri yang didasari rasa percaya diri dan ketangguhan dapat membawa dampak positif dan berkelanjutan bagi lingkungan sekitar. Melalui upaya inilah perempuan membentuk sebuah keseimbangan hidup, baik hidup bagi kompetensi diri maupun dedikasi generasi.
Melihat Kartini sebagai Ummahatul Mukminin Melalui Adabul Mar’ah
Memandang mentalitas Kartini dari ummahatul mukminin terdapat urgensi untuk memahami bagaimana perempuan memanifestasikan prinsip 4B dalam spektrum islam yang komprehensif. Meskipun banyak persoalan yang mengaitkan peran perempuan selamanya dalam belenggu budaya patriarkal, akan tetapi perempuan dapat menemukan landasan moral adabul mar’ah melalui nilai-nilai iffah dan haya’ (menjaga diri dan sifat malu). Ummahatul Mukminin menjadi teladan dalam membangun relasi yang seimbang baik kepada Allah, diri sendiri, maupun masyarakat luas dengan kesadaran fitrah yang diamanatkan Allah kepada setiap insan.
Melalui konteks tersebut, Kartini haruslah membangun sebuah relasi yang meneguhkan nilai-nilai fitrah kaum perempuan yang diuraikan secara jelas dalam Al-Qur’an yang menitikberatkan pada pentingnya pemeliharaan integritas dan tanggung jawab moral sebagai seorang wanita. Sebagaimana Q.S. Ar-Ruum ayat 30 yang menjelaskan dasar setiap individu dalam keadaan fitrah, dan sebagai perempuan, kewajiban utamanya ialah membangun dan memelihara hubungan yang selaras dengan ilahiyat. Kaum perempuan tentu memahami bahwa ketidakmampuan mereka dalam memilih jenis kelamin hanyala bagian dari skenario Allah SWT, sehingga pengabdian dalam menjalani peran sebagai perempuan harus didasari oleh nilai-nilai iffah dan haya’.
Beberapa penelitian ilmiah menjelaskan adanya perbedaan esensial antara laki-laki dengan perempuan. Bahwasanya, perempuan memiliki kelebihan dalam mengembangkan wilayah bahasa, kemampuan motorik, dan karakteristik emosi yang mengukuhkan peran perempuan sebagai penopang kehidupan sosial dan keluarga. Sejatinya kartini milenial merupakan inkarnasi modern dari ummahatul mukminin, sebagai figur panutan yang telah membuktikan keteguhan integritas dan keunggulan keteladanannya. Hal ini menjadi suatu keniscayaan untuk menjadikannya sebagai model paradigmatik dalam upaya merekonstruksi adabul mar’ah yang sepatutnya direfleksikan oleh kaum perempuan.
Beberapa pola moral dan intelektual dari ummahatul mukminin yakni seperti Khadijah sebagai penenang dan support system Rasulullah; Saudah sebagai cendekiawan; Aisyah yang cerdas, tabah, dan berani; Hafsah sebagai penjaga amanah dari penyimpan mushaf, salah satu penulis wahyu sebab mahir baca tulis, serta perempuan ahli hadist; Zainab binti Jahsyi yang dermawan, berjiwa sosialita, dan ahli tirakat; Ummu Salamah sebagai penasihat; Juwairiyah yang menjaga harga diri; Shafiyah sebagai diplomat; Ummu Habibah sebagai pemersatu, Maimunah sebagai penjaga silaturahmi; dan Mariyah Qibtiyah yang berpandangan luas serta bijak.
Spirit emansipasi perempuan dalam islam sejatinya tidak bertentangan dengan peran kodrati yang diamanatkan kepada mereka. Harmonisasi antara peran atau tantangan publik dengan peran kodrati bukanlah sebuah kontradiksi, melainkan wujud dari kemampuan perempuan dalam menyeimbangkan tanggung jawab di peran keibuan (domestik) maupun kontribusi aktif di ruang publik. Dengan meneladani ummahatul mukminin yang telah membuktikan ketangguhan dan high moral values, perempuan masa kini dapat terus berkembang dan berperan penting dalam membangun masyarakat tanpa kehilangan jati diri sebagai hamba Allah. Maka, emansipasi yang ideal adalah tetap berakar pada nilai-nilai moral dan tanggung jawab, baik dalam keluarga maupun di tengah masyarakat.
Kartini Milenial menjadi simbol modern dari perempuan masa kini yang telah melakukan instrumentalia konsep dan prinsip internal maupun eksternal. Perempuan modern tidak hanya berperan aktif dalam sektor sosial dan profesional, tetapi juga tetap menjaga prinsip-prinsip integritas dalam keseharian. Sebagai generasi yang terpelajar dan berdaya, kartini milenial memahami bahwa emansipasi bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebijaksanaan dalam menjalankan peran sesuai fitrah, sembari mengembangkan potensi untuk memberikan kontribusi yang valuable bagi masyarakat luas.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Al-Mujadalah ayat 11, Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Kartini milenial, dengan a high level of knowledge dan keimanan yang kuat mampu memberikan kontribusi optimal di ranah publik baik sebagai pemimpin, pendidik, changemakers dalam masyarakat. Ilmu dan iman menjadi kaum perempuan sebagai role models yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tidak hanya kemayu dalam estetika, tetapi juga memiliki mutu/identitas moral yang kuat dengan menjaga adab dan kehormatan sesuai ajaran agama.
Ketika kaum perempuan diberdayakan dan mampu mengambil peran yang seimbang di masyarakat, maka tidak ada lagi perbedaan yang mendiskriminasi mereka berdasarkan jenis kelamin. Dengan hal ini, kartini milenial adalah agen perubahan yang tidak hanya membangun generasi masa depan yang lebih baik, tetapi juga menghapus sekat-sekat yang selama ini membatasi perempuan dari pencapaian potensi maksimal mereka di berbagai aspek kehidupan.
[1] Rosida, I. (2018). Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen: Antara Kesenangan Diri, Status Sosial, dan Nilai Patriarki. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 20(1), 85-101.
[2] Nuraeni, Y., & Suryono, I. L. (2021). Analisis Kesetaraan Gender Dalam Bidang Ketenagakerjaan Di Indonesia. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 20(1), 68-79.
[3] Basit, L., & Kom, M. I. (2022). Lensa Gender Di Media Massa: Meta Analisis Politisi Perempuan. umsu press.
[4] Puspitasari, A. W., & Nashirudin, M. (2022). Term “Perempuan” dalam Al-Qur’an (Tinjauan Study Pustaka). Rayah Al-Islam, 6(2), 97-119.
[5] Mulyani, E. (2017). Kesetaraan gender dalam tulisan RA Kartini perspektif Pendidikan Islam (Doctoral dissertation, IAIN Purwokerto).
[6] Intelektual. (2021, April 21) category/opini/. Retrieved from https://mentilikite.com// https://mentilinkite.com/peran-kartini-milineal-dalam-mengimplementasikan-4b-brainbeautybehavior-and-brave-2519/
[7] Astina, C. (2019). Perspektif Gender pada Masyarakat Kota Banda Aceh. lentera, 1(2), 155-164.
[8] Ayu, R. F. (2023). Pengaruh Ketidakadilan Gender dan Implikasinya dalam Keluarga. Jurnal Hawa: Studi Pengarus Utamaan Gender dan Anak, 5(1), 78-89.
[9] Abubakar, I. (2019). Filosofi Wanita: Sebuah Inspirasi Dari Surat an Nisa. Egalita, 13 (1), 41-50.
[10] Sugiyanto, O. (2021). Perempuan dan Revenge Porn: Konstruksi Sosial Terhadap Perempuan Indonesia dari Preskpektif Viktimologi. Jurnal Wanita Dan Keluarga, 2(1), 22-31.
[11] Anderson, C., John, O. P., Keltner, D., & Kring, A. M. (2001). Who attains social status? Effects of personality and physical attractiveness in social groups. Journal of personality and social psychology, 81(1), 116.
[12] Zahid, A., Ayu, N. A. K., & Ikayanti, R. L. (2023). Kapitalisme Tubuh Perempuan: Sebuah Pendisiplinan Atau Industrialisasi. RESIPROKAL: Jurnal Riset Sosiologi Progresif Aktual, 5(1), 115-131.
[13] Ekaputri, S. D., Karolina, C. M., & Abdullah, N. N. (2020). Literasi Informasi Kecantikan Di Kalangan Pengguna Female Daily Network. BACA: Jurnal Dokumentasi Dan Informasi, 41(1), 111-121.
[14] Hasan, W. R., Abdullah, M. F. R., & Yusoff, A. M. (2020). Perspektif Sayyid Qu? b Tentang Isu Penjagaan Pandangan Berdasarkan Ayat 30-31 Surah Al-Nur: The Perspective of Sayyid Qu? b on The Issue of Lowering The Gaze Based on Quranic Verses 30-31 of Surah Al-Nur. Jurnal Pengajian Islam, 13(2), 108-122.
[15] itsojt. (2019, Oktober 13). news. Retrieved from https://www.its.ac.id/:https://www.its.ac.id/news/2019/10/13/menentang-standar-cantik-perempuan/
[16] Basir, N. S. D., Tsalatsa, S. L., & Kresna, M. T. (2022). Persepsi Wanita dalam Menentukan Standar Kecantikan di Tiktok dan Instagram. In Prosiding Seminar Nasional Ilmu Ilmu Sosial (SNIIS) (Vol. 1, pp. 566-575).
[17] ROFIAH, K. H. N. (2024). TAFSIR RELASI GENDER QS AL-HUJURAT: 13 PERSPEKTIF.
[18] Shihab, Tafsir Al-Misbah, 618
[19] Aziz, A., Musthofa, T., & Saidah, N. (2024). Problematika Penurunan Karakter Perempuan di Era Globalisasi: Telaah Surat An-Nur Ayat 31 dan An-Nisa Ayat 34. Reslaj: Religion Education Social Laa Roiba Journal, 6(6), 2776-2793.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang