Definisi Malu Sebagian dari Iman

Jumat, 10 Jun 2022, 16:05 WIB
Definisi Malu Sebagian dari Iman
Khotmil Qur'an & Sholawat di Malam Pergantian Tahun 2020 (Selasa, 31 Desember 2019. Dok. PPMH)

Setiap hamba pasti ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, mencapai kehadirat Sang Pencipta, dan bertemu dengan-Nya. Untuk melakukan itu semua, pastinya seorang insan dituntut untuk mempunyai rasa malu, dalam artian malu melakukan segala perbuatan yang bertentangan akan ketentuan-Nya. Sebab itu, Rasulullah memasukkan sifat malu ke dalam cabang keimanan.

Rasulullah mengatakan, Iman itu ada 70 atau 60 cabang. Adapun yang paling utama adalah perkataan “Laa ilaha illallah”, dan paling rendah adalah menyingkirkan barang yang mengganggu di jalan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman. Di samping itu, para ulama mengatakan, suatu ibadah mempunyai 72 jurusan (baca: pintu). Tujuh puluh satu diantaranya terkandung dalam rasa malu kepada Allah, dan hanya satu dalam semua bentuk kebajikan.

Diriwayatkan oleh Imam Hakim dan Imam Tirmidzi, Rasulullah selalu memerintahkan kepada para sahabat agar selalu merasa malu kepada Sang Pencipta.  Ngendikan Beliau kepada sahabat, bagaimana malu terhadap Allah swt? Yakni orang yang selalu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya (pikiran yang tidak benar), menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya (makanan yang tidak halal), dan selalu mengingat akan kematian. Siapa saja yang menginginkan akhirat, hendaknya meninggalkan pengaruh kehidupan dunia. Maka siapa yang bisa melakukan itu semua, sungguh benar-benar malu terhadap Allah.

Dalam penjelasan lainnya, Imam Fudhail menyatakan, tanda seorang hamba yang celaka ada 5, diantaranya: kerasnya hati (tidak ada kemauan menerima nasihat), pekatnya mata (tidak mau melihat kebenaran), sedikit rasa malunya, cinta kemegahan dunia, dan panjang angan-angan. Sedangkan Imam as-Sari mengatakan, rasa akan malu dan legowo (qonaah) bisa menundukkan atau melunakkan hati. Apabila keduanya masuk ke dalam hati, dan di dalamnya terdapat rasa zuhud (mengalihkan sifat duniawi dan condong akan akhirat) dan wara (sifat kehati-hatian), maka hati menjadi tenang. Sebaliknya, tidak ditemukan sifat keduanya, zuhud dan wara’. Maka rasa malu dan legowo akan menyingkir.

Oleh karena itu, sudahkah kita benar-benar malu kepada Allah? Patuh menjalankan syariat-Nya dan menjauhi larangan-Nya, atau hanya sekedar pura-pura, menjalankan kewajiban bukan kebutuhan. Semoga kita selalu diberi kekuatan, kelapangan, maupun kemurahan hati dalam mengabdikan diri kepada Allah swt. Aamiin, Wallahu a'lam bishawab.

 

 

*) Disarikan dari pengajian KH. Ahmad Arif Yahya

Santri Gading  Pondok Gading  KH. Ahmad Arif Yahya 
Tim Redaksi

Tim redaksi website PPMH

Bagikan