Anatomi Republik “Akhir Zaman”

Kamis, 31 Jul 2025, 17:46 WIB
Anatomi Republik “Akhir Zaman”
Indonesia yang Islam beradab dalam tauhid bermartabat dalam keadilan

Konsep akhir zaman di dalam Islam menjadi bagian integral dari diskursus keimanan yang memiliki dimensi teologis, historis, sekaligus sosiologis secara simultan. Wacana tentang akhir zaman (asr al-nihayah) berlegitimasi melalui pelbagai riwayat sabda Nabi Muhammad SAW, yang secara implisit maupun eksplisit menarasikan degenerasi peradaban menjelang disolusi sejarah manusia. Di antara indikator yang paling signifikan, Nabi menyampaikan dalam sabdaNya bahwa, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh dengan tipuan, di mana pendusta diberikan kepercayaan dan orang yang jujur dikatakan berdusta...” (HR. Ibnu Majah, no. 4036).

Teks-teks kenabian semisal hadis tentang ruwaibidhah secara harfiah menuntut pendekatan hermeneutik untuk menafsirkan realitas sosial yang semakin kompleks. Di dalam korpus hadis lainnya, terdapat pula indikator penting berupa penyusutan dimensi waktu yang diumpamakan bagaikan jari telunjuk dan jari tengah Rasul yang dirapatkan, munculnya berbagai figur pseudo-mesianik, konflik antarkelompok muslim, serta siklus temporal yang memampatkan hari-hari menjadi sekadar fragmen kosong. Akumulasi dari tanda-tanda tersebut menunjukkan sebuah pola besar, bahwa ada kolapsnya struktur nilai yang selama ini menopang tatanan kemanusiaan.

Generasi yang hidup dalam lanskap akhir zaman ini kiranya layak disebut sebagai turbulensi peradaban yang ditandai oleh disorientasi nilai, fragmentasi spiritual, serta krisis identitas keagamaan. Perkembangan teknologi digital dan penetrasi globalisasi informasi mengakselerasi percepatan perubahan sosial, namun berlangsung dalam saat yang sama kekosongan orientasi teologis. Ketika iman kehilangan pijakan praksis dalam kehidupan sehari-hari, lahirlah masyarakat yang teralienasi dari nilai-nilai transenden dan terjebak dalam jebakan budaya konsumtif, hedonistik, serta orientasi hiperindividualistik yang membentuk lanskap moral generasi mutakhir.

Al-Qur’an memberikan penjelasan eksplisit terhadap fenomena kemerosotan eksistensial tersebut. Firman Allah dalam QS. Al-Hasyr [59]:19 menyatakan, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri”. Ayat ini mengindikasikan keterputusan antara manusia dan dimensi ketuhanan sebagai sebab utama terjadinya distorsi kesadaran diri, yang pada gilirannya menihilkan kapasitas reflektif terhadap realitas hidup, kematian, dan tanggung jawab metafisis.

Selain itu, sejumlah ayat lain mengafirmasi realitas kedekatan waktu hisab dan keruntuhan kosmik dalam kerangka akhir zaman. QS. Al-Anbiya’ [21]:1 menegaskan, “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (darinya)”. Keterangan ini menjadi pembacaan eksistensial terhadap kondisi umat yang larut dalam sikap apatis terhadap dimensi ukhrawi. QS. An-Nahl [16]:1 melanjutkan dengan pernyataan imperatif, “Ketetapan Allah pasti datang. Maka, janganlah kamu meminta agar dipercepat (kedatangan)-nya,” yang menegaskan kepastian kosmis atas dekonstruksi dunia ini sebagai bagian dari takdir ilahi.

Realitas tersebut diperkuat oleh QS. Al-Qamar [54]:1–2, yang menyebutkan, “Hari Kiamat makin dekat dan bulan terbelah... tetapi jika mereka melihat suatu tanda, mereka berpaling dan berkata: ‘(Ini adalah) sihir yang terus-menerus’”. Ayat ini semakin deskriptif terhadap fenomena mukjizat serta mencerminkan bentuk penolakan epistemologis oleh masyarakat terhadap kebenaran yang bersifat transendental. Pola ini berulang dalam sejarah, dan hari ini tercermin dalam resistensi terhadap nilai-nilai spiritual di tengah budaya saintistik dan sekularistik yang dominan. QS. Ar-Rahman [55]:26–27 mengingatkan bahwa “Semua yang ada di atas bumi akan binasa. (Akan tetapi,) wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.”; dan QS. Al-Ahzab [33]:63 menyampaikan, “Mereka bertanya kepadamu tentang Hari Kiamat. Katakanlah: pengetahuan tentang hal itu hanya di sisi Allah. Tahukah engkau, boleh jadi Hari Kiamat itu sudah dekat.” Narasi ini menekankan bahwa urgensi eskatologis bukan terletak pada kepastian waktu, melainkan pada kesadaran eksistensial bahwa segala bentuk penundaan terhadap kesiapan spiritual merupakan bentuk kelalaian paling fatal.

Menimpali berbagai dalil eskatologis yang telah diurai, terdapat suatu pembacaan reflektif di penghujung Kitab Ushfuriyah berkaitan tentang keseluruhan polemik yang seolah terangkum dalam satu hadis berikut:

 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

يَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أَقْوَامٌ وُجُوهُهُمْ وُجُوهُ الْآدَمِيِّينَ، وَقُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ، وَأَمْثَالُهُمْ كَأَمْثَالِ الذِّئَابِ الضَّوَارِي، لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ شَيْءٌ مِنَ الرَّحْمَةِ، سَفَّاكُونَ لِلدِّمَاءِ، لَا يَرْغَبُونَ عَنِ الْقَبِيحِ، إِنْ شَايَعْتَهُمْ قَرَّبُوكَ، وَإِنْ تَوَانَيْتَ عَنْهُمْ اغْتَابُوكَ، وَإِنْ أَمِنْتَهُمْ خَانُوكَ، صِبْيَانُهُمْ غَارِمُونَ، وَشُبَّانُهُمْ شَاطِرُونَ، وَشُيُوخُهُمْ فَاجِرُونَ، لَا يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَا يَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَالِاعْتِزَازُ بِهِمْ ذُلٌّ، وَطَلَبُ مَا فِي أَيْدِيهِمْ فَقْرٌ، وَالْحُكْمُ فِيهِمْ بِدْعَةٌ، وَالْبِدْعَةُ فِيهِمْ سُنَّةٌ، فَعِنْدَ ذَلِكَ يُسَلِّطُ اللهُ عَلَيْهِمْ شِرَارَهُمْ، ثُمَّ يَدْعُو خِيَارُهُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ دُعَاءٌ.

 

Artinya: Dari Ibn ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang wajahnya berwajah manusia namun hatinya berhati syaithan, mereka bagaikan serigala yang membahayakan, dalam hati mereka tidak ada rasa kasih sayang sedikitpun, mereka suka pertumpahan darah dan tidak pernah membenci terhadap kejelekan, apabila engkau mengiringinya, mereka akan mendekatimu, apabila engkau tertinggal darinya, mereka akan mencaci makimu, apabila engkau mempercayainya mereka akan menghianatimu, anak-anak kecilnya suka hutang, para pemudanya buruk perbuatannya, orang-orang tuanya hanyut dalam kema’shiyatan dan tidak pernah menyeru kepada kebaikan serta tidak pernah mencegah dari yang munkar, yang mulia mereka anggap hina, menuntut apa yang ada dalam genggaman mereka di anggap faqir, sunnah mereka anggap bid’ah dan bid’ah mereka anggap sunnah, ketika itu telah terjadi maka Allah akan menguasakan mereka kepada orang hina di antara mereka, kemudian orang-orang mulia di antara mereka berdo’a namun do’anya tidak dikabulkan”.

 

Hadis ini mengungkap lanskap sosial akhir zaman yang digerakkan oleh krisis kemanusiaan struktural. Wajah manusia masih digunakan sebagai representasi sosial, namun gerak batinnya menyerupai kultur kekuasaan yang haus dominasi. Kepalsuan menjadi norma, dan kekerasan beroperasi tanpa rasa bersalah. Relasi antarindividu berubah menjadi jejaring pengawasan, transaksi, dan eksploitasi. Setiap jeda empati tergerus oleh ambisi, dan setiap kepercayaan dipreteli hingga kehilangan daya sakral.

Di dalam konfigurasi ini, agama mengalami distorsi orientasi. Apa yang selama ini dikenali sebagai petunjuk hidup, justru dimanipulasi menjadi perangkat legitimasi kepentingan. Praktik-praktik yang lahir dari hawa nafsu bertransformasi menjadi kebiasaan kolektif, kemudian diwariskan sebagai tradisi. Transmisi nilai berhenti pada level simbolik, sementara esensinya menguap di tengah arus budaya sensasional. Fenomena tersebut bukan sekadar kerusakan moral, melainkan penanda disolusi spiritual yang menyelimuti masyarakat dengan kepalsuan yang terasa normal. Sebuah kondisi ketika doa tak lagi menembus langit, sebab kesadaran telah menjauh dari orientasi ilahiah yang seharusnya menjadi poros hidup.

Situasi semacam ini tercermin dalam dinamika sosial-politik Indonesia awal 2025. Inpres No. 1/2025 memerintahkan pemangkasan anggaran Rp306,7 triliun untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Gelombang protes mahasiswa dengan tajuk IndonesiaGelap muncul sebagai respons terhadap kebijakan ini. Meskipun wajah institusi tampil humanis, orientasinya justru mengabdi pada efisiensi kekuasaan, bukan keadilan sosial. Citra dan substansi saling bertolak belakang;

Gejala lain tampak dalam revisi Undang-Undang TNI yang memperluas peran militer ke dalam jabatan sipil strategis. Ini membuka kembali pintu otoritarianisme sipil-militer yang dulu mengakar. Wujud negara terkesan kuat dan stabil, namun di balik itu tersimpan dominasi mutlak atas kehidupan sipil. Militerisasi ruang sipil perlahan menciptakan atmosfer kecurigaan dan penaklukan batin masyarakat;

Kongres Forum Purnawirawan TNI menambah dimensi kuasa bayangan dalam struktur pemerintahan. Seruan pencopotan Wakil Presiden Gibran Rakabuming oleh ratusan purnawirawan bukan sekadar kritik, melainkan cermin dari residu kekuasaan yang masih aktif mengeksploitasi sistem. Di dalam kerangka ini, pengkhianatan menjadi bahasa relasi, dan struktur pemerintahan menjadi alat negosiasi kuasa;

Di dalam waktu bersamaan, sovereign wealth fund Danantara diluncurkan dengan pengelolaan aset negara bernilai miliaran dolar tanpa audit publik yang transparan. Di balik narasi pembangunan, tersimpan risiko pengelolaan negara sebagai alat kekuasaan oligarki. Ketika lembaga ekonomi tampil heroik, batinnya menyimpan konflik kepentingan dan kecenderungan korupsi sistemik;

Distorsi nilai pun tampak nyata dalam pembiayaan proyek-proyek tersebut. Pemangkasan drastis anggaran untuk pendidikan dasar (minus 24%), pendidikan tinggi (minus 39%), layanan kesehatan, dan infrastruktur (minus 73%) dilakukan demi menopang proyek ambisius Danantara dan program makan bergizi. Janji digunakan sebagai modal sosial, sementara struktur publik dibiarkan rapuh. Di sini, rakyat menjadi objek narasi, bukan subjek kebijakan;

Skandal pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun memperjelas realitas tersebut. Proyek ini diluncurkan tanpa kajian teknis yang matang dan kini diselidiki oleh Kejaksaan. Kebijakan pendidikan terjebak dalam birokrasi simbolik teknologi dan religi digital dipakai sebagai alat dominasi, bukan sebagai sarana pelayanan publik yang memerdekakan;

Dimensi kekuasaan juga terlihat dalam penangkapan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, oleh KPK atas dugaan korupsi. Proses hukum ini menimbulkan polemik karena dipandang sebagai bentuk tekanan politik terhadap oposisi. Religiusitas dan hukum, alih-alih menjadi penuntun moral, justru dijadikan alat untuk mengukuhkan hegemoni politik dan ekonomi;

Di sisi lain, kebebasan pers mengalami tekanan akut. Tindakan teror seperti pengiriman kepala babi ke kantor redaksi Tempo memperlihatkan betapa kebencian, intimidasi, dan kekerasan telah menjadi bahasa resmi yang digunakan terhadap suara-suara kritis. Agama dan hukum tak mampu lagi berdiri sebagai penyangga nilai; keduanya terpaksa tunduk pada simbolisme kuasa yang sinis;

Akhir-akhir ini, dampak kontrol struktural juga terasa dalam isu pemblokiran massal ribuan rekening oleh PPATK tanpa proses hukum yang terbuka. Banyak rekening milik aktivis, pelaku UMKM, dan warga biasa yang dituduh terafiliasi secara sepihak. Negara keuangan tak lagi mengenal keadilan etis, sedangkan hukum beroperasi sebagai perangkat represi;

Sejak Januari hingga Februari 2025, lebih dari 437 anak menjadi terlapor kasus pencurian, 460 anak lainnya terlibat pengeroyokan dan penganiayaan, ditambah 349 anak dalam kasus narkoba. Bahkan beberapa anak di bawah usia 12 tahun menjadi tersangka. Kasus ini memperlihatkan bahwa anak-anak—yang seharusnya tumbuh dalam keleluasaan pendidikan—justru terdorong ke dunia keterhutangan moral dan ekonomi sejak dini;

Masuk ke masa remaja, anak-anak tersebut mulai menyuntikkan kekerasan sebagai identitas. Pada pertengahan 2025, di Banjarbaru, dua kelompok remaja nyaris tawuran bersenjata tajam; di kasus lain, sindikat geng motor melakukan konvoi intimidatif dan aksi perampasan di Medan, bahkan menimbulkan korban jiwa. Kondisi ini menunjukkan pemain moral muda yang tenggelam dalam rapuhnya kebajikan publik;

Tingkat kekerasan di antara segmen remaja semakin mengkhawatirkan ketika sejumlah pelaku kekerasan seksual ditemukan berasal dari kelompok usia muda. Contoh tragis misalnya di Pasuruan, dua anak di bawah umur menjadi korban kekerasan oleh anggota perguruan silat. Bahkan di Palembang, korban pembunuhan adalah remaja belasan tahun yang mengalami perencanaan dan eksekusi oleh remaja lain;

Generasi tua, seharusnya menjadi teladan moral, justru tenggelam dalam maksiat level rumah tangga. Kasus incest di Simalungun, di mana seorang ayah memperkosa tiga anak kandungnya sendiri, baru terbongkar setelah anak tertua mencoba bunuh diri. Ini mencerminkan kematian nilai moral dalam keluarga inti;

Yang lebih mengerikan lagi, ekploitasi seksual terhadap anak menyebar melalui platform digital. Grup Facebook “Fantasi Sedarah” terungkap menyebarkan konten incest dengan lebih dari 32.000 anggota. Komnas Perempuan dan KPAI mengutuk keras praktik ini sebagai ekstrem penuh trauma terhadap anak dan perempuan;

Fenomena pelecehan seksual guru terhadap pelajar terjadi di ruang pendidikan formal. Data dari KemenPPPA menunjukkan sebanyak 8.000 kasus kekerasan terhadap remaja, sementara KPAI menerima 2.057 pengaduan, 954 di antaranya ditindaklanjuti. Pengawasan digital yang lemah memperparah akses konten pornografi oleh usia dini;

Keseluruhan pemetaan ini menunjukkan bahwa struktur sosial Indonesia kontemporer mulai dari unit terkecil seperti keluarga hingga persoalan negara telah mengalami keruntuhan nilai secara sistemik. Gejala ini mencerminkan disolusi spiritual kolektif yang paralel dengan gambaran akhir zaman dalam hadis di atas. Anak-anak terjebak dalam lingkar kekerasan dan keterlantaran pendidikan; remaja menjadikan kekerasan sebagai identitas sosial; orang dewasa, yang semestinya menjadi penjaga nilai, justru terlibat dalam berbagai bentuk maksiat kolektif.

Di dalam persoalan bernegara, praktik kekuasaan mengalami distorsi orientasi agama dan hukum yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, justru dimanfaatkan untuk melegitimasi dominasi. Program-program publik dijalankan dalam kemasan simbolik, tetapi substansinya melayani kepentingan oligarki. Di tengah krisis ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, kekuasaan justru memperluas kontrol melalui militerisasi, pembungkaman pers, serta manipulasi hukum dan keuangan. Negara tampak kuat secara formal, tetapi rapuh secara etis dan spiritual.

Situasi ini memperlihatkan bahwa wajah masyarakat tetap tampil manusiawi, namun gerak batinnya telah kehilangan poros ilahiah. Relasi sosial terjebak dalam skema transaksional, nilai-nilai diwariskan dalam bentuk simbol tanpa esensi, dan kesadaran keberagamaan bergeser dari pencerahan menuju pembenaran kekuasaan. Ketika kebenaran dikaburkan oleh citra; dan ketika empati digantikan oleh ambisi, masyarakat tidak lagi hidup. Masyarakat kecil hanya bertahan dalam kepalsuan yang dinormalisasi.

akhir zaman 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan