"Inilah balasan bagi orang yang mencuri," pekik seorang utusan kota kepada orang-orang di pasar. Di sebelahnya seorang lelaki paruh baya yang sudah babak belur dan tidak lengkap lagi bagian tubuhnya. Tidak hanya luka di sekujur tubuhnya, dia pun kini merasakan sakit dipermalukan di hadapan khalayak ramai dengan dakwa aibnya. Walaupun kini dia tak lagi memiliki mata yang bisa melihat, dia bisa merasakan pandangan hina orang-orang pasar terhadapnya. "Tidak," katanya lirih kepada sang utusan kota, "jangan mengatakan seperti itu."
***
Malam sebelumnya seorang pencuri ketahuan menerobos masuk ke dalam rumah seseorang; bermaksud hendak mencuri. Beberapa warga yang melihat aksi si pencuri langsung berteriak dan mengejarnya. Pencuri itu pun segera berlari menyelamatkan diri dari kejaran warga.
Beruntungnya, pencuri tersebut melihat sebuah masjid di hadapannya. Tanpa pikir panjang dia masuk ke masjid untuk bersembunyi. Sialnya, masjid itu adalah satu-satunya tempat yang mungkin untuk dijadikan persembunyian. Tidak ada tempat lain yang nampaknya bisa digunakan untuk sembunyi di sekitar situ. Tentu saja warga segera mengetahui bahwa pencuri tadi bersembunyi di dalam masjid.
Warga segera melihat sosok pria paruh baya yang sedang berdiri menghadap ke arah kiblat. Dia pikir dengan berpura-pura shalat bisa menipu kami? pikir warga saat itu. Warga yang sudah kadung geram dibuat berlari mengejarnya, segera meringkus pria paruh baya itu hingga tak berdaya.
Pagi harinya, setelah pria itu mendapat sanksi rimba dari warga kota, dia masih harus dibawa menghadap Walikota untuk menerima sanksi secara hukum. Walikota kemudian memerintahkan hukuman potong tangan dan congkel mata kepada pria paruh baya itu. Dan setelahnya, dia akan diarak hingga ke tengah-tengah pasar kota untuk memberikan peringatan kepada pencuri-pencuri lain di kota itu agar tidak ada yang mencuri lagi.
***
Ada seorang syekh yang cukup terkenal di salah satu wilayah di tanah Arab. Dia tinggal di rumah bersama ibunya. Suatu hari dia bermaksud berangkat ziarah ke kota Makkah lagi untuk kesekian kalinya. Tetapi, ibunya saat itu benar-benar tidak mau ditinggal seorang diri di rumah.
Berkali-kali sang Syekh meyakinkan ibunya bahwa semuanya akan baik-baik saja selama kepergian dia ke Kota Makkah; tidak akan terjadi apa-apa baik kepada diri ibunya maupun kepada dirinya. Ini bukan pertama kalinya dia akan berangkat ke Kota Makkah. Dan selama beberapa kali kepergiannya semuanya selalu berakhir dengan baik-baik saja. Namun, kali ini ibunya bersikeras. Dia meyakinkan sang Syekh bahwa tidak berangkat pun ke Kota Mekkah, semuanya juga baik-baik saja. Sang Ibu lebih menginginkan anaknya tetap di rumah saja saat itu.
Perdebatan itu sepertinya tidak akan menemui akhir. Melihat situasi seperti itu, sang Syekh akhirnya memutuskan untuk berangkat secara sembunyi-sembunyi tanpa berpamitan kepada ibunya. Walhasil, dia berhasil meninggalkan rumahnya untuk berangkat menuju ke Kota Makkah. Sang ibu yang mengetahui telah ditinggal pergi anaknya secara sembunyi-sembunyi merintih kepada Tuhannya, "Ya Allah, hatiku telah terbakar oleh api perpisahan dengan anakku. Dan dia sendirilah yang menyulut apinya."
Di tengah perjalanan, sang Syekh berhenti di sebuah masjid. Malam sudah terlalu larut untuk melanjutkan perjalanan. Malam itu dia bermaksud mendirikan shalat terlebih dahulu dan beristirahat kemudian baru melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Dia pun segera mengambil air wudhu dan setelahnya berdiri di tengah-tengah masjid untuk mendirikan shalat.
Di luar dugaan, sekelompok warga setempat tiba-tiba meringkusnya dari belakang. Dia tidak sempat berkata sepatah kata pun di tengah hujaman pukulan warga. Lelah setelah menempuh perjalanan ditambah dengan menerima pukulan dari warga, dia tak sadarkan diri.
Ketika siuman pada pagi harinya, dia sudah berada dalam perjalanan menghadap walikota. Walikota kemudian memerintahkan hukuman potong tangan dan congkel mata kepadanya. Algojo yang berbadan lebih besar darinya pun seperti tuli pada kata-kata pembelaannya.
Tidak cukup di situ. Dengan beberapa utusan Walikota, dia kemudian diarak menuju ke pasar kota. Di tengah tengah pasar, sang utusan berteriak kepada khalayak, "Inilah balasan bagi orang yang mencuri."
Walaupun kini dia tak lagi memiliki mata yang bisa melihat, dia bisa merasakan pandangan hina orang-orang pasar terhadapnya. "Tidak, jangan mengatakan seperti itu," katanya lirih kepada sang utusan kota, "Ini adalah hukuman karena aku bermaksud pergi untuk thawaf di Makkah tanpa restu dari ibuku."
*) Disarikan dari pengajian kitab Durratun Nasihin oleh KH. Baidhowi Muslih
Tim redaksi website PPMH