"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S. Al Taubah [9]: 103).
Perihal zakat terdapat beberapa permasalahan yang sering dihadapi umat Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
Permasalahan zakat yang terbesar adalah kurangnya kesadaran umat Islam untuk berzakat (mal). Fenomena ini tidak hanya terjadi pada akhir-akhir ini tetapi sudah sejak dahulu kala. Salah satu pelanggaran berat yang dilakukan oleh Qarun, umat nabi Musa AS., adalah tidak mau membayar zakat. Ketika Rasulullah SAW wafat, di antara pelanggaran yang dilakukan sebagian umat Islam adalah enggan membayar zakat. Jadi, keengganan membayar zakat bukanlah hal baru.
Baca juga : Arti dan Tujuan Zakat bagi Umat Islam
Pada akhir-akhir ini banyak lembaga atau sekelompok masyarakat yang membentuk kepanitiaan zakat fitrah dengan tanpa penunjukan atau pengesahan imam (pejabat yang berwenang). Kepanitiaan yang demikian tidak bisa disamakan dengan amil yang sah. Artinya, bahwa status mereka bukan sebagai amil yang sah yang berhak menerima bagian zakat atas nama amil. Agar status amil menjadi sah ada baiknya jika susunan panitia yang dibentuk oleh lembaga atau masyarakat tersebut dimintakan pengesahan kepada pejabat yang berwenang.
Pada beberapa dasawarsa terakhir ini sering terjadi penyimpangan penyaluran zakat. Pihak-pihak yang tidak berhak menerimanya ternyata meminta bagian. Dan, ada pihak yang berhak menerima ternyata memperoleh bagian yang sangat banyak sampai melebihi haknya. Di suatu daerah ada panitia zakat yang membagi perolehan zakat kepada tiga pihak dengan komposisi yang sama, yaitu sepertiga untuk fuqaraa’, sepertiga untuk masakin, dan sepertiga untuk ‘aamiliin (panitia). Pembagian dengan komposisi tersebut jelas tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Hak amil zakat adalah setara dengan upah pekerja kasar yang berlaku di wilayah zakat.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang pengertian sabilillah. Mayoritas mereka menafsiri fi sabilillah sebagai pihak (orang) yang berjuang di jalan Allah. Di dalam kitab Al Mizan Al Kubra dinyatakan bahwa para ulama’ empat madzhab bahwa tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat untuk membangun masjid atau mengkafani (merawat) orang mati. Inilah pendapat yang lebih berhati-hati, sebab dari delapan mustahiq zakat sebagaimana disebutkan di atas yang tujuh secara tegas mengacu orang (manusia) bukan sarana, seperti masjid dan madrasah. Ada pula ulama’ yang menafsiri fi sabilillah dengan sektor sosial apa saja di jalan Allah, termasuk untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Qoffal sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Munir dan Syekh Ali Al Maliki di dalam kitab Qurratul Ain. Jadi, menurut mereka, fi sabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain yang mengarah kepada kemaslahatan umat Islam.
Baca juga : Siapakah Para Mustahik Zakat ?
Tidak jarang mereka yang menjadi panitia itu tidak banyak tahu masalah zakat fitrah. Akibatnya, mereka mengumumkan kepada masyarakat bahwa pembayaran zakat fitrah bisa dilakukan dengan uang, bahkan ada pula yang dengan pemotongan gaji. Di dalam kitab Fathul Muin dikemukakan bahwa membayar zakat fitrah memakai uang tidaklah memenuhi syarat. Membayarnya dengan barang yang cacat, termasuk beras jatah atau raskin (beras untuk orang miskin) juga tidak memenuhi syarat.
Munculnya undang-undang zakat dan sejenisnya melahirkan banyak protes dari masyarakat yang intinya bahwa profesi tidak perlu dizakati. Bertolak dari keuntungan (pahala) yang sangat besar yang diperoleh oleh muzakki maka alangkah baiknya jika rezki apa saja yang halal dan diperoleh dari sektor apa saja yang halal semuanya dizakati. Sebab, kalaupun tidak wajib zakat maka harta yang dikeluarkan itu akan menjadi sedekah yang juga sangat banyak pahalanya (QS. Ar-Ruum [30]: 39).
Apakah orang yang sudah membayar pajak masih harus membayar zakat? Tentu jawabnya adalah Iya. Sebab, pajak bukanlah zakat. Namun, alangkah baiknya kalau pemerintah mengatur mekanisme yang bisa memadukan keduanya. Artinya orang Islam yang mempunyai bukti pembayaran zakat (2,5%) dari penghasilannya tidak perlu membayar pajak sampai 15% namun cukup 12,5% saja. Di Negara-negara barat, perusahaan yang mempunyai bukti setoran dana untuk kegiatan sosial tidak ditarik pajak secara penuh. Demikianlah beberapa hal menyangkut zakat permasalahannya, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Semoga momentum puasa dan zakat kali ini dapat kita gunakan sebaik-baiknya untuk bersama-sama membantu yang membutuhkan dan meningkatkan kecintaan kita pada Allah. Amin.
*Penulis adalah Dosen Sastra Arab Universitas Negeri Malang dan Staf Pengajar di Madrasah Diniyah Matholiul Huda, Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Penulis adalah staf pengajar di Madrasah Diniyah matholi’ul Huda dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Negeri Malang.