Membaca berbagai kanal berita belakangan ini menghadirkan perasaan duka sekaligus kegelisahan massal. Tragedi wafatnya 67 santri akibat reruntuhan di Pesantren Al Khoziny tampak berubah menjadi arena perdebatan publik yang sarat dengan bias dan sentimen antipesantren. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana ruang duka dapat direduksi menjadi instrumen wacana kekuasaan dan kebencian terhadap lembaga keagamaan tradisional.
Padahal, secara esensial, dunia pesantren yang berakar pada tradisi sufisme dibangun atas dasar penyerahan diri dan ketundukan spiritual kepada Sang Pencipta, termasuk dalam menghadapi musibah. Dalam hal ini, pemaknaan takdir sebagaimana yang dituturkan oleh KH Abdus Salam Mujib mengandung nilai etis bahwa tanggung jawab moral dan sosial tetap harus diutamakan di tengah kesadaran teologis terhadap ketentuan Ilahi. Pernyataan beliau, “Ini takdir, semuanya harus sabar. Semoga Allah berikan ganti yang terbaik,” sering kali disalahpahami sebagai bentuk ketidakpedulian, padahal justru merepresentasikan kedalaman spiritual dalam menerima ujian maupun musibah.
Jika ditelaah secara rasional, tidak terdapat indikasi bahwa peristiwa tersebut merupakan hasil dari unsur kesengajaan. Mustahil seorang pengasuh pesantren menginginkan kemudaratan bagi para santrinya. Maka, tragedi ini semestinya dibaca sebagai ruang refleksi kolektif mengenai tanggung jawab, sistem keamanan, dan cara publik membingkai pesantren dalam diskursus sosial keagamaan kontemporer.
Genealogi pemikiran ini dapat ditelusuri melalui perspektif hukum syariat, yang memberikan landasan normatif bagi dinamika konsep kemandirian dalam dunia pesantren. Gagasan kemandirian oleh Gus Dur terhadap wacana kepesantrenan, dalam konteks modern, tampaknya mengalami pergeseran orientasi dari akar tradisionalnya menuju bentuk adaptasi baru yang lebih kontekstual. Membaca pandangan Gus Ebied (Komisi Fatwa MUI Jatim) sebagaimana catatan Munji, memberikan pemahaman bahwa kemandirian pesantren yang telah bertahan selama berabad-abad semestinya tidak hanya diperlakukan sebagai romantisisasi historis atau bahkan pendawaman ideologi, melainkan sebagai simbol kematangan intelektual dan kemajuan berpikir.
Berbicara soal hal tersebut, tradisi roan dalam lingkungan pesantren dapat dimaknai sebagai instrumen sosial yang mengandung nilai profesionalitas, kedisiplinan, serta etos kerja kolektif. Tradisi ini, jika diinterpretasikan secara progresif, dapat dijadikan pijakan bagi penguatan tata kelola pesantren yang lebih modern dan akuntabel. Demikian pula, dalam aspek kurikulum misalnya, pesantren perlu memperluas horizon keilmuannya dengan mengintegrasikan pendekatan tradisional dan modern agar mampu menghasilkan sumber daya manusia yang adaptif terhadap perubahan sosial, tanpa kehilangan nilai spiritual yang menjadi identitasnya.
Di sisi lain, kelompok yang secara gegabah menyalahkan pernyataan tawakal seorang kiai tampak menampilkan sikap retoris yang frontal dan berlebihan. Pola berpikir mereka lebih berorientasi pada pencarian kesalahan naratif daripada pada upaya memahami konteks teologis dan etis di balik pernyataan tersebut. Kritik yang muncul sering kali bersifat subjektif, tidak disertai argumentasi epistemologis yang memadai, dan justru memperlihatkan bias ideologis media dalam membingkai peristiwa.
Beberapa judul berita seperti “Kecerobohan Berlabel Takdir yang Harus Diadili,” “Kiai Sebut Tragedi Al Khoziny sebagai Takdir, Wali Santri Protes,” hingga “Santri Dihukum Ngecor Jika Tak Ikut Kegiatan” merupakan representasi framing yang menegaskan dominasi logika sensasional ketimbang analisis substantif. Bahkan pandangan Gus Nadir yang menyatakan bahwa “Kita sering berlindung di balik kalimat ‘sudah takdir’, seolah-olah Tuhan disalahkan atas kecerobohan kita” menunjukkan pergeseran wacana dari tafsir spiritual menuju kritik moral terhadap tanggung jawab manusia.
Secara generatif, hakikat kematian tetap merupakan bagian dari ketetapan Ilahi (qadha dan qadar), sedangkan kesalahan teknis atau kelalaian manusia merupakan bentuk kecerobohan yang menuntut akuntabilitas etis. Maka, seharusnya relasi antara takdir dan tanggung jawab seharusnya dipahami secara dialektis, bahwa keimanan terhadap takdir tidak meniadakan keharusan manusia untuk bertindak bijak dan bertanggung jawab atas setiap konsekuensi dari perbuatannya.
Berbagai pertanyaan krusial patut diajukan sebagai dasar refleksi hukum dan etika atas peristiwa tersebut. Mengapa bangunan yang secara struktural berpotensi membahayakan tetap difungsikan? Mengapa santri, yang seharusnya berada dalam posisi sebagai subjek pendidikan, justru dilibatkan dalam aktivitas fisik berisiko tinggi tanpa perlindungan keselamatan yang memadai? Jika izin mendirikan bangunan (IMB) tidak dimiliki, maka otoritas mana yang lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan?
Rangkaian pertanyaan tersebut menyingkap adanya pola manajemen yang abai terhadap prinsip keselamatan dan akuntabilitas. Keselamatan santri tampak dikorbankan atas nama efisiensi birokratis atau pertimbangan ekonomis yang keliru. Ketika menimpali hal demikian, menempatkan “takdir” sebagai justifikasi atas kelalaian manusia merupakan bentuk distorsi teologis sekaligus pengingkaran terhadap prinsip rasionalitas dan amanah moral dalam pendidikan. Dengan kata lain, memaknai musibah semata sebagai takdir tanpa menelaah unsur tanggung jawab manusia di dalamnya berarti menafikan peran akal sehat serta mengkhianati nilai dasar kependidikan yang berorientasi pada perlindungan dan keselamatan peserta didik.
Surah At-Taubah ayat 51 dapat dipahami sebagai pengalaman spiritual yang mengarahkan manusia untuk menerima kemutlakan takdir dengan ketundukan hati dan kesadaran teologis. Ayat tersebut mengajarkan bahwa segala peristiwa terjadi dalam bingkai kehendak Ilahi, sehingga respons manusia seharusnya berpijak pada sikap sabar, reflektif, dan berimbang, bukan pada ledakan emosional yang destruktif. Apabila kritik dan hujatan dilontarkan semata sebagai ekspresi kemarahan, kekecewaan, atau pelampiasan frustrasi, maka substansi moral dari peristiwa itu akan tereduksi menjadi ajang konflik emosional. Sikap demikian justru berpotensi memperdalam luka psikologis para korban serta menambah beban moral bagi pihak-pihak yang terlibat.
Tragedi Al Khoziny menyisakan luka yang menuntut pembacaan lebih jujur terhadap cara kita mengelola kehidupan bersama. Di balik reruntuhan bangunan itu tersimpan runtuhnya kesadaran publik tentang arti tanggung jawab. Kita terlalu cepat bersuara, terlalu bernafsu menilai, sementara hal yang paling mendasar, sebut saja dengan memberikan perlindungan terhadap manusia justru terlewat. Rasa empati digantikan oleh dorongan untuk mencari pihak yang salah, seolah kesalahan bisa menebus kehilangan. Ruang duka berubah menjadi arena ego dan citra, tempat orang berbicara tidak untuk memahami, melainkan untuk membuktikan diri paling benar.
Dalam suasana seperti ini, kemanusiaan kehilangan pijakan. Keheningan yang seharusnya menuntun kita pada refleksi malah tergantikan oleh riuh opini. Kita hidup di tengah masyarakat yang rajin berdebat soal moral, namun enggan menjalankan etika paling sederhana, yakni dengan menjaga hidup dan memuliakan sesama. Dari sinilah tampak betapa lemahnya struktur sosial yang kita bangun layaknya pendidikan yang dijalankan dengan semangat keikhlasan tanpa fondasi keselamatan dan tanggung jawab publik yang kukuh.
Tragedi itu seakan menjadi cermin besar yang menyorot wajah kita sendiri. Di dalamnya ada kepatuhan yang tanpa kesadaran, keikhlasan yang tanpa sistem, doa yang kehilangan arah kerja. Setiap reruntuhan menyimpan pesan yang sama bahwa iman tanpa tanggung jawab hanya menghasilkan kepasrahan kosong. Pada akhirnya, selama nalar publik terus terjebak pada sensasi, penderitaan akan berulang tanpa pernah mengubah apa pun. Alfaatihah.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang