Meneladani Kegigihan Sulthonul Ulama Syaikh Izzudin bin Abdussalam dalam Menuntut Ilmu

Sabtu, 25 Jun 2022, 16:11 WIB
Meneladani Kegigihan Sulthonul Ulama Syaikh Izzudin bin Abdussalam dalam Menuntut Ilmu
Makam Sulthonul Ulama Syaikh Izzudin bin Abdissalama di Kairo, Mesir (Sumber: Sarkubmesir.net)

Tak ada batas usia bagi seorang pencari ilmu. Itulah kiranya ibrah dari kisah hidup Syaikh Izzudin bin Abdussalam. Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul Qosim bin Al-Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab As-Sulmi Al-Maghrobi Ad-Damasyqi Al-Mishri Asy-Syafi’i.

Nama asli Syaikh Izzudin adalah Abdul Aziz, Abu Muhammad adalah kunyah beliau sedangkan “Izuddin” adalah laqob (gelar) beliau. Pemberian gelar dengan tambahan  “ad-Din” (agama) sedang masyhur pada masa itu. Banyak para ulama’ dan para pemimpin menambahkan kata tersebut dalam gelar mereka. Sebut saja misalnya Sholahuddin Yusuf, Ruknuddin Adzdzohir Beibres, Tajuddin Abdul Wahab bin Bintul Al’A’aaz, dan lainnya. Namun, biasanya penyebutan nama beliau disingkat dengan “Al-‘Izz bin Abdussalam”.

Selain gelar Izzudin, beliau juga masyhur dengan gelar “Sulthonul Ulama” yang artinya raja dari para ulama’. Gelar ini dipopulerkan oleh murid beliau, Syaikh Ibnu Daqiq Al-‘Id. Kemungkinan gelar ini disematkan pada nama beliau lantaran beliau dikenal sebagai seorang ulama’ yang berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan ajaran agama, dan mendatangi para penguasa untuk menyampaikan hujjah-hujjah beliau di hadapan mereka.

Adapun nisbat “As-Sulmi” sebagaimana yang tertera pada lampiran pertama naskah kitab tafsir beliau, dan juga sebagaimana dikemukakan dalam beberapa sumber yang menjelaskan biografi beliau, mengarah pada satu kabilah yang bernama Bani Sulaim, salah satu kabilah yang masih dari kabilah-kabilah Mudhor. Daerah asal leluhur Syaikh Izzudin adalah daerah Maghrib (Maroko) karena itu terdapat kata “Al-Maghrobi” pada nisbatnya. Lantas leluhurnya pindah ke Damaskus, dan di situlah beliau dilahirkan. Oleh karenanya diberi nisbat “Ad-Damasyqi”. Sedangkan nisbat “Al-Mishri” dicantumkan karena beliau pindah ke negara Mesir dan menetap di sana. Adapun nisbat “As-Syafi’i” sudah maklum kiranya bahwa beliau merupakan pengikut madzhab Syafi’i meskipun dalam beberapa hal beliau memiliki pendapat yang berseberangan dengan madzhab Syafi’i.

Kelahiran dan Perkembangan

Semua sumber sejarah yang mencantumkan biografi beliau sepakat bahwa beliau dilahirkan di Damaskus, Syiria. Hanya saja terdapat dua pendapat berbeda mengenai tahun kelahirannya. Sebagian mengatakan beliau lahir pada tahun 557 H. dan sebagian yang lain mengatakan beliau lahir pada tahun 578 H.

Syaikh Izzudin Ibnu Abdis Salam dilahirkan dari keluarga miskin dan keturunan biasa, karena itulah sangat sedikit informasi yang bisa didapatkan mengenai masa kecil beliau dan sejarah nenek moyangnya, karena memang beliau bukanlah keturunan seorang ulama’, orang terpandang, atau pemimpin pemerintahan. Syaikh Ibnu As-Subki mengisahkan bahwa pada masa awal hidupnya, Syaikh Izzuddin sangatlah faqir, karena itu lah Syaikh Izzuddin baru menuntut ilmu pada usia tua.

Kegigihan dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Tajuddin bin Abdul Wahab as-Subki (wafat 771 H) pernah merekam masa kecil Syekh Izzuddin dalam kitab biografi miliknya yang berjudul Thabaqat as-Syafi’iyah Kubra. Dalam kitab tersebut As-Subki menggambarkan bagaimana perjuangan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam ketika mencari ilmu. Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, Syaikh Izzuddin baru bisa merasakan pendidikan di usia yang sudah tidak lagi muda. Ia pun setiap hari harus menginap di emperan Masjid Agung Umayah di Damaskus, karena tidak punya bekal yang cukup. Kendati demikian, beliau tetap menjalaninya dengan tekun dan sabar.

Meskipun beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua, namun beliau sangatlah bersemangat dalam menghafalkan kitab, sangat giat belajar, dan secara berkala mengaji pada para ulama’ besar pada masanya. Semua itu beliau lakukan demi menebus masa kecil beliau yang tidak sempat mengenyam pendidikan karena keaadaan keluarganya yang miskin. Ketekunan dan ketelatenan beliau bisa terlihat dari sikap beliau yang tak mau memutuskan pelajaran sebelum benar-benar menyelesaikannya. Dikisahkan bahwa suatu ketika, guru beliau berkata: “engkau sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi dariku”, namun Syaikh Izzuddin tetap saja mengaji dengan tekun kepada Sang Guru dan mengikuti pelajaran yang diampu hingga kajian kitab yang diajarkan tuntas. Ketekunan beliau juga sangat tampak dari kebiasaaan jarang tidur pada malam hari. Beliau pernah berkata bahwa selama 30 tahun, dirinya tidak akan tidur sebelum benar-benar memahami kitab yang sedang beliau pelajari. Selain itu, keberhasilan beliau juga didukung dari lingkungan beliau tinggal, yaitu Damaskus yang pada waktu itu menjadi kawasan pusat ulama’ dengan penguasaan berbagai disiplin ilmu..

Awal Futuh Syaikh Izzudin bin Abdussalam

Suatu ketika, pada malam yang sangat dingin, seperti biasa, Syaikh Izzudin menginap di emperan masjid. Rasa lelah yang begitu mendera, membuat ia lekas tertidur. Memasuki tengah malam ia mengalami mimpi basah (ihtilam). Beliau pun bergegas segera mandi di kolam masjid tersebut. Beliau sempat ragu, karena saat itu cuaca di Damaskus sangatlah dingin.   Pada saat yang bersamaan, terbersit di pikiran Syekh Izzuddin untuk menunda mandinya besok pagi. Namun cepat-cepat beliau putuskan untuk tetap mandi saat itu juga. Tak peduli seberapa dingin airnya. Setelahnya, beliau pun kembali tidur. Tanpa disangka, kejadian itu berulang hingga tiga kali dan beliau selalu memaksa dirinya untuk mandi yang membuatnya harus tidak sadarkan diri karena kedinginan. Pada saat itu pula, ia mendengar sebuah suara lirih, yang berbunyi:  

 يَا ابْنَ عَبْدِ السَّلَامِ أَتُرِيْدُ الْعِلْمَ أَمِ الْعَمَلَ  

Artinya, “Wahai Ibn Abdussalam, apa yang engkau kehendaki, ilmu atau amal?”

Mendengar pertanyaan yang tidak diketahui pengucapnya itu, spontan Syekh Izzuddin langsung menjawab, “Tentu saja ilmu, karena dengannya aku akan bisa beramal.”

Biidznillah, keesokan harinya Syekh Izzuddin seakan mendapat futuh (terbukanya pemahaman yang diraih tanpa belajar). Berkat kegigihannya malam itu, Allah memberikan hidayah. Hatinya terasa begitu lapang. Hal itu beliau buktikan dengan menghafal kitab at-Tanbih karya Syaikh asy-Syairazi dalam waktu yang relatif singkat. Ia pun terus menekuni ilmu. Ia mendatangi ulama-ulama besar di masanya seperti Syekh Syaifuddin al-Amid, Syaikh Fakhruddin Ibnu Asakir. Hingga akhirnya ia menjadi ulama besar di Damaskus. (As-Subki, Thabqatu asy-Syafi’iyah, 1413, juz VIII, h. 213).

Guru-guru Syaikh Izzuddin bin Abdussalam

Diantara guru-guru beliau adalah :

  1. Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harotsani
  2. Syaikh Saifuddin Al-Amudi
  3. Syaikh Fakhruddin bin ‘Asakir Abu Manshur
  4. Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir
  5. Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Syuyukh
  6. Syaikh Al-Khusyu’i
  7. Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
  8. Syaikh Umar bin Thobarzad

Ulama’ yang Produktif

Syaikh Izzuddin selain dikenal sebagai rajanya para ulama (shultanul ulama) dengan penguasaan ilmu yang sangat luas dan banyak, ia juga menjadi salah satu ulama yang sangat produktif. Untuk membuktikan bahwa Syekh Izzuddin bin Abdussalam sangat luas keilmuannya, ia telah memiliki banyak karya agung yang tidak henti-hentinya selalu dikaji oleh ulama pada masanya hingga saat ini. 

Dalam ilmu tafsir, beliau memiliki salah satu karya monumental yang dikenal dengan Tafsir al-Kabir li Ibn Abdissalam. Dalam ilmu fiqih, beliau memiliki banyak karya, misalnya al-Ilmam fi Adillatil Ahkam, Qawaidusy Syari’ah al-Fawaid, dan yang paling terkenal adalah kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam.   Kitab-kitab lain yang juga karya Syaikh Izzuddin di antaranya: al-Fatawa Syekh al-Izz, al-Ghayah fi Ikhtisharin Nihayah, al-Isyarah ilal Ijaz fi Ba’di Anwa’il Majaz, Masailuth Thariqah, al-Farqu Bainal Islam wal Iman, Maqashidur Ri’ayah, dan masih banyak lagi kitab lainnya.

Kisah di atas memberikan sebuah teladan bahwa sebelum mendapatkan futuh dari Allah SWT, Syekh Izzuddin sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk selalu belajar, sekali pun kondisi keluarga yang sangat terbatas perihal finansial tidak memberikan dukungan pada pertumbuhan intektualitasnya.   Kisah Syaikh Izzudin juga memberi pelajaran bahwa untuk menjadi orang alim tidak harus lahir dari keluarga alim dan berkecukupan. Syekh Izzuddin adalah contoh bahwa orang miskin juga mampu untuk tumbuh menjadi sosok orang alim yang keilmuannya diakui oleh para ulama.

Semangat dan keluhuran cita-cita Syaikh Izzuddin pada akhirnya menunjukkan kepakaran beliau dalam ilmu fiqih, hadits, ushul fiqih, balaghah, tafsir, dan lain-lain sebagai ulama yang disegani di Damaskus, Mesir, dan negara islam lainnya. Beberapa ulama pada masa itu menyebut bahwa Syaikh Izzuddin telah mencapai derajat mujtahid, mufassir, bahkan muhaddits.

Ulama Syafi'yah  Ulama Internasional  Ulama Fiqih  Ulama Dunia  Ulama  Syekh Izzudin bin ABdissalam  Kisah Ulama  Imam Syafi'i  Biografi Ulama 
Bagikan