Di teduhnya sore menuju senja, Habibana Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad berjalan di antara pemukiman warga menuju surau untuk menunaikan sholat berjamaah dan berdakwah. Beliau selalu datang lebih awal sebelum adzan magrib berkumandang, begitu juga dengan sholat fardhu lainnya. Tak pernah sekalipun alunan merdu Hayya ‘alasholah terkumandang kecuali beliau Habibana Ahmad sudah berdiri di merahnya sajadah pengimaman. Disiplin waktu dalam hal beribadah selalu beliau tegakkan dan tekankan. Habib Ahmad menjadi sosok yang penuh keteladanan dengan figur yang anti toleran terhadap kata disiplin, terutama dalam hal beribadah.
Penduduk muslim maupun non muslim di pemukiman setempat, selalu menanti-nanti waktu shalat fardhu tiba. Mereka tahu, pada waktu itu Habib Ahmad akan berjalan di depan rumah mereka untuk menuju ke surau. Bahkan di tengah teriknya wilayah Zanzibar, Afrika. Penduduk sudah berjajar di depan rumah guna memandang wajah yang penuh senyum pesona.
“ Hei Kino, ada apa mereka berdiri berjajar di teriknya matahari sepeerti ini?” tanya salah satu pengembara pada penduduk setempat, ketika hendak bepergian melewati wilayah Zanzibar.
“Memang, siang ini matahari sangat terik tuan, oleh karena itu kami sedang menunggu sebuah keteduhan.” Jawab Kino dengan yakin takkan terkecewakan.
“Bagaimana kalian akan mendapatkan keteduhan jika di siang yang sangat terik ini kalian malah berdiri di depan rumah?” si pengembara bertanya dengan senyum yang merendahkan.
“sesungguhnya aku tidak bisa menjelaskan alasan kami melakukan hal ini tuan, namun awan pun rela menahan air hujan karena yakin bahwa hujan menyimpan pelangi yang menawan”. Begitulah keyakinan penduduk wilayah zanzibar yang selalu dilanda keteduhan, ketentraman jiwa takala memandang Habibana Ahmad. Bagaikan datuk beliau, Rasulullah SAW yang wajahnya selalu tersenyum sejuk penuh kasih sayang, demikian juga dengan Habibana Ahmad yang selalu mengingatkan kepada Allah meski hanya dengan memandang wajahnya.
***
Di lain waktu, saat memasuki dhuha, terlihat dua orang laki-laki saling mencaci maki dengan kata yang panas di telinga. Tak hentinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain hingga kontak fisik tak dapat dihindari lagi. Tak ada satu pun warga yang mencoba melerai karena mereka berdua memang terkenal suka membuat onar di lingkungan sekitar. Tatkala perkelahian semakin memuncak, terlihatlah Habibana Ahmad datang menghampiri perkelahian kedua orang tersebut. Namun, belum sekata terucap dari mulut habibana, melainkan hanya dengan hadirnya Habibana Ahmad di dekat mereka, maka seketika itu mereka berdua duduk tersipu di depan Habibana. Seketika itu juga, hati yang awalnya terbakar membara, dengan senyum beliau Habibana Ahmad, maka padamlah api yang membakar hati mereka.
Setelah itu, dengan santun dan lembut Sang Habibana menegur sapa mereka, maka lenyaplah permasalahan di antara mereka berdua. Semakin lama mereka merasakan keteduhan di samping Habibana, maka luluhlah hati mereka hingga kalimat syahadat pun terlantun dari bibir mereka berdua. Habibana selalu mengutamakan kelembutan, kesantunan serta kasih sayang sebagai ujung tombak dakwahnya. Beliau selalu istiqomah dan selalu berjuang dhohir maupun batin demi menyeru umat ke jalan yang diridhai Allah.
***
Dalam kisah yang lain, suatu hari di pagi buta ketika embun masih sangat pekat, Habibana Ahmad berjalan untuk melanjutkan dakwahnya.
“Ya habib, kita sudah berjalan amat jauh. Tak ada lagi jalan yang dapat dilewati, hanya hutan belantara yang terlihat di depan kita.” begitu keluh kesah salah satu murid yang mendampingi beliau berdakwah.
“Muridku, kita akan tetap melewati hutan belantara itu.” Jawab sang habibana.
“Tapi habib, kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kita melewati hutan belantara itu? Si murid sudah mulai gelisah.
“ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha Melindungi siapapun yang berjalan mencari Ridha-Nya.” Sang habibana mengembalikan semangat juang muridnya yang juga ikut andil dalam berdakwah.
Hari demi hari berganti, mulai matahari terbit hingga terbenam di kala senja. Namun, semangat dakwah sang Habibana tak juga terbenam seperti matahari, karena beliau yakin, bahwa langkahnya akan melahirkan senja yang mempesona di tanah Afrika. Gurun membentang pun tak menggoyahkan hatinya untuk melanjutkan dakwahnya ke daerah-daerah terpencil di sudut-sudut Afrika. Hingga suatu hari beliau singgah di satu daerah Timur Afrika. Ketika sampai di daerah tersebut, Habib Ahmad tidak begitu saja lelahan di tempat. Beliau rela mempelajari bahasa Shawili yang digunakan masyarakat setempat. Tidak cukup sampai disitu, beliau mengorbankan harta benda untuk membangun masjid dan membiayai madrasah guna memfasilitasi pendidikan dan ibadah di Bumi Afrika. Seiring berjalannya waktu, kegigihan, kesabaran, serta keihklasan Habibana Ahmad berhasil mengislamkan sekitar 300.000 warga Afrika Timur. Suatu hal yang menjadi salah satu keistimewaan Habibana Ahmad Mansyur adalah ketika beliau bertanya kepada mereka, mengapa mereka memeluk agama Islam? Maka sebagian mereka menjawab, “kami masuk Islam lantaran memandang wajah anda yang penuh kasih sayang.” (fhn)