Di dekat kota Merv, Turkmenistan, pada abad ke-2 Hijriah hiduplah seorang pemuda yang masa mudanya tenggelam dalam pesta pora dan gemar bersenang-senang. Hari-harinya dipenuhi dengan mabuk-mabukan dan kelalaian, hingga orang-orang melihatnya sebagai sosok berandal yang jauh dari nilai-nilai agama. Waktu pun membawanya ke Baghdad. Di sana ia sempat menekuni ilmu hadis, tetapi tak lama kemudian meninggalkan jalur itu. Ia memilih hidup mengembara, sering kelaparan, berpakaian lusuh, dan menapak bumi tanpa alas kaki. Justru dengan cara hidup inilah ia akhirnya dikenang, dihormati oleh ulama sekaliber Ahmad bin Hanbal, bahkan disegani oleh khalifah al-Ma’mun.
Ada satu kisah menarik tentang titik balik kehidupannya. Dikisahkan, suatu hari ketika sedang mabuk, ia berjalan sempoyongan di jalanan. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada selembar kertas bertuliskan basmalah. Rasa takzim seketika tumbuh dalam hatinya. Ia membeli minyak mawar, memerciki kertas itu, lalu menyimpannya dengan penuh kehati-hatian. Dari peristiwa sederhana itulah jalannya berubah dari seorang pemuda liar menjadi pribadi yang dikenal karena ketakwaan dan kezuhudannya. Nama sosok itu kelak harum dikenang sebagai Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-Hafi (Bisyr), sang “manusia berkaki telanjang”.
Pada suatu malam, seorang hamba saleh bermimpi. Dalam mimpinya ia diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan pesan kepada Bisyr: “Engkau telah mengharumkan nama-Ku, maka Aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka Aku pun telah memuliakan namamu. Engkau telah mensucikan nama-Ku, maka Aku pun telah mensucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya akan Kuharumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat”. Mendengar hal itu, orang saleh tersebut merasa ragu. Kemudian ia berpikir, “Bisyr hanyalah seorang pemuda berandal. Mungkin mimpiku keliru.” Lantaran hal itu, ia segera berwudhu, menunaikan shalat, lalu tidur kembali. Namun mimpi yang sama kembali menghampirinya. Ia ulangi hal yang sama hingga tiga kali, dan tetap saja mimpi itu terulang.
Keesokan harinya, orang saleh itu pun bertekad mencari Bisyr. Dari seorang yang ia temui, ia mendengar kabar bahwa Bisyr sedang menghadiri sebuah pesta anggur. Ia pun segera pergi ke rumah tempat pesta tersebut berlangsung. Sesampainya di sana, ia bertanya apakah Bisyr ada di dalam. Tuan rumah menjawab bahwa Bisyr memang ada, tetapi dalam keadaan mabuk dan tak berdaya. Orang saleh itu lalu berkata, “Katakan kepadanya ada pesan penting yang hendak kusampaikan”. Saat mendengar itu, Bisyr bertanya, “Pesan dari siapa?” Ia menjawab, “Dari Allah”.
Mendengar jawaban itu, Bisyr menangis tersedu. Dengan air mata bercucuran ia berkata, “Apakah pesan itu untuk mencela atau menghukumku? Tetapi tunggulah sebentar, aku akan berpamitan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatku.” Lalu ia berpaling kepada teman-teman minumnya dan berkata, “Aku dipanggil. Karena itu aku harus pergi. Selamat tinggal! Kalian tidak akan pernah melihatku lagi dalam keadaan seperti ini.” Sejak hari itu, Bisyr berubah total. Ia menempuh jalan pertobatan dan penyangkalan diri, hidup dengan penuh kesalehan hingga siapa pun yang mendengar namanya akan merasakan kedamaian ilahi menyentuh hati mereka.
Sejak saat pertobatannya, Bisyr tidak pernah lagi memakai alas kaki. Ketika ditanya alasan di balik kebiasaannya itu, ia menjawab, “Ketika aku berdamai dengan Allah, aku sedang dalam keadaan bertelanjang kaki. Sejak itu aku malu untuk mengenakan alas kaki. Bukankah Allah Yang Maha Besar telah berfirman: ‘Telah Kuciptakan bumi sebagai permadani untukmu’? Maka tidaklah pantas bagiku berjalan memakai sepatu di atas permadani Sang Raja”.
Kehidupan barunya membuat Bisyr sangat dihormati, bahkan oleh ulama besar Ahmad bin Hanbal. Sang imam sering mengunjunginya, hingga murid-muridnya bertanya-tanya, mengapa ia begitu dekat dengan seorang yang dulunya berandal. Mereka berkata, “Engkau adalah orang paling unggul di bidang hadis, hukum, teologi, dan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Tetapi mengapa engkau selalu menemani Bisyr? Layakkah itu?” Ahmad bin Hanbal pun menjawab, “Dalam hal ilmu yang kalian sebutkan, aku memang lebih tahu dari Bisyr. Tetapi dalam hal mengenal Allah, ia lebih tahu daripada aku.” Tak jarang pula Ahmad bin Hanbal meminta dengan rendah hati kepada Bisyr, “Ceritakanlah kepadaku perihal Tuhanku.”
Kisah Bisyr al-Hafi ini merupakan cerminan yang jernih tentang bagaimana Allah menuntun hambaNya melalui jalan yang tidak disangka-sangka. Seorang pemuda yang tenggelam dalam mabuk dan pesta pora, justru dipilih oleh Allah untuk dimuliakan. Hanya karena selembar kertas bertuliskan basmalah yang diperlakukan dengan hormat, Allah membalikkan hidupnya dan mengharumkan namanya di dunia hingga akhirat. Dari sini kita mengerti, betapa firman Allah benar adanya lantaran tidak ada batasan bagi kasih sayang dan petunjuk Allah terhadap hambaNya (QS. Al-Baqarah: 213). Allah. Bahkan dalam keadaan paling hina, pintu rahmat pun tetap terbuka. Bukankah Nabi ﷺ pernah bersabda bahwa Allah lebih gembira dengan taubat seorang hamba daripada kegembiraan seseorang yang menemukan kembali untanya yang hilang di padang pasir? (HR. Muslim). Maka siapa pun kita, betapapun suram masa lalu, tidak ada alasan untuk putus asa (QS. Yusuf: 87).
Jika kita bandingkan dengan kondisi manusia zaman ini, sesungguhnya mabuk tidak selalu berupa anggur. Banyak orang yang mabuk oleh harta, jabatan, popularitas, atau gawai di genggamannya. Kita melihat manusia berbondong-bondong mengejar gemerlap dunia, sibuk mengisi “pesta anggur” modern berupa hiburan tanpa batas, sementara jiwa mereka haus dan kosong. Allah telah mengingatkan dalam QS. Ar-Ra’d: 28, bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Namun, di dalam realitasnya, banyak hati yang justru mencari ketenteraman di luar ketentuan Allah, padahal semakin dikejar semakin jauh rasa damai itu. Maka, di sinilah refleksi dari perjalanan Bisyr menjadi penting. Sebagaimana ia berkata kepada kawan-kawan minumnya, “Aku dipanggil, maka aku harus pergi. Selamat tinggal, kalian takkan melihatku lagi dalam keadaan seperti ini.” — bahwa setiap manusia pun harus punya keberanian untuk berkata demikian kepada segala bentuk candu zaman, baik candu ambisi, candu materi, bahkan candu kesenangan yang menipu substansi.
Kisah Bisyr juga menyadarkan kita bahwa penghormatan kepada nama Allah saja bisa menjadi pintu perubahan besar. Bukankah Allah berfirman:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ ٣٢
Artinya: "Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu berasal dari ketakwaan hati." (QS. Al-Hajj: 32)
Selembar kertas dengan tulisan Bismillah dimuliakan oleh Bisyr, dan Allah pun memuliakan dirinya. Maka, bagaimana mungkin kita meremehkan ayat-ayat Allah, kitab-Nya, atau ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari? Dan renungan lain yang tak kalah mendalam ialah tentang sikap Bisyr bertelanjang kaki. Ketika ia ditanya, ia menjawab dengan kesadaran yang lembut, “Ketika aku berdamai dengan Allah, aku sedang berkaki telanjang. Maka aku malu mengenakan alas kaki. Bukankah Allah telah berfirman: ‘Telah Kuciptakan bumi sebagai permadani untukmu’? Maka tidak pantas bagiku berjalan dengan sepatu di atas permadani Sang Raja.” Jawaban ini adalah isyarat kerendahan hati, pengakuan bahwa hidup di bumi hanyalah berjalan di hadapan Allah.
Ulama-ulama besar pun menaruh hormat kepadanya. Imam Ahmad bin Hanbal yang agung dalam ilmu hadis dan fikih, justru berkata dengan rendah hati: “Dalam hal ilmu yang kalian sebutkan, aku memang lebih tahu dari Bisyr. Tetapi dalam hal mengenal Allah, ia lebih tahu daripada aku”. Ini adalah pelajaran bahwa hakikat kemuliaan bukanlah pada banyaknya pengetahuan, melainkan pada sejauh mana hati mengenal Tuhannya.
Akhirnya, setiap dari kita bisa bercermin pada diri sendiri ketika di tengah hiruk pikuk dunia modern, pesta anggur yang mungkin berbentuk gawai, media sosial, kompetisi duniawi, atau kesibukan tanpa henti. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita berani berkata kepada diri sendiri, “Aku dipanggil, maka aku harus pergi”? Bisyr telah melangkah bertelanjang kaki di jalan penyangkalan diri. Bagaimana dengan kita — beranikah kita menanggalkan sepatu kesombongan, lalu berjalan dengan rendah hati di permadani Sang Raja?
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang