Sejarah mengabadikan kegemilangan intelektual islam berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah. Para cendekiawan mengagungkan kepemimpinan Khalifah ke 7 al-Makmun yang masyhur sebagai pecinta ilmu pengetahuan. Khalifah al-Makmun berhasil mentransformasi Baitul Hikmah yang digagas Khalifah Harun al-Rasyid menjadi pusat ilmu agama sekaligus pusat penerjemahan naskah-naskah karya para filsuf Yunani. Tak ayal, Dinasti Abbasiyah mencapai era keemasannya. Namun dibalik itu, gurat merah sejarah islam juga tergores.
Dr. Nadirsyah Hosen dalam artikelnya bertajuk “Politisasi Aqidah:Membedah Mihnah dan al-I’tiqad al-Qadiri” menyatakan bahwa Khalifah al-Makmun sebagai seorang rasionalis memiliki kecenderungan pada paham Mu’tazilah. Ini terbukti dari penetapan paham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara. Lebih dari itu, al-Makmun juga memaksa ulama-ulama menganut paham yang serupa dengannya. Maka lahirlah perintah mihnah, yakni semacam tes keagamaan dengan konsekuensi bagi mereka (ulama) yang tak sepaham dengan khalifah akan dipersekusi negara.
Imam Thabari dalam kitabnya Tarikh Thabari juz 8 menulis ulang surat Khalifah al-Makmun yang memerintahkan pengumpulan para ulama untuk diinterogasi perihal apakah al-Qur’an itu qadim atau makhluk. Barangsiapa menjawab makhluk (sebagaimana paham Mu’tazilah), maka amanlah dia. Bila menjawab qadim, habislah dia disiksa. Radikalisme atas nama agama ini tidak berhenti selepas al-Makmun wafat. Berturut-turut al-Mu’tashim dan al-Watsiq melanggengkan mihnah yang berarti semakin banyak ulama yang ditangkap dan siksa. Salah satunya adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (wafat 231 H/846 M).
Al-Buwaithi merupakan murid kinasih Imam Syafi’i di Mesir. Kepada segenap murid-muridnya, Imam Syafi’i berwasiat “Tidak ada yang lebih berhak atas majelisku selain al-Buwaithi”. Niscaya, selepas Sang Imam wafat, al-Buwaithi adalah kiblat madzhab Syafi’i yang menjadi rujukan umat. Namun siapa sangka, kemasyhuran beliau justru mengundang kedengkian tokoh Mu’tazilah Abu Laits al-Hanafi. Ia mengadukan al-Buwaithi kepada Khalifah al-Watsiq karena bersikukuh bahwa al-Quran itu qadim. Imam Al-Buwaithi menegaskan ”Pengikutku berjumlah ratusan ribu, sesatlah mereka jika aku berpura-pura hanya agar selamat dari siksa”. Lantas Abu Bakar Al-Asyam sebagai hakim tinggi kaum Mu’tazilah menyurati hakim agung Ahmad bin Abi Daud untuk menangkap Al-Buwaithi. Maka dibelenggulah Imam al-Buwaithi dan diringkus menuju penjara di Baghdad.
Ar-Robi’ bin Sulaiman yang juga murid Imam Syafi’I bersaksi bahwa ia melihat Imam al-Buwaithi dinaikkan ke bighal dengan leher menanggung belenggu seberat 40 pon. Tangan dan kaki Imam al-Buwaithi dililit dengan borgol dan di antara belenggu leher dan borgol terdapat rantai besi terurai seberat empat puluh pon. Sewaktu digelandang Imam al-Buwaithi berkata: “Allah ciptakan makhluknya dengan berfirman ‘kun’ maka terjadilah, seandainya firman ‘kun’ ini makhluk, berarti Kholiq menciptakan makhluk yang akan menciptakan makhluk (lagi). Seandainya aku bertemu Al-Watsiq, akan kusampaikan (hujjah) ini padanya”. Hakim Agung Ahmad bin Abi Daud kaget luar biasa tatkala menyadari kealiman Imam al-Buwaithi yang mampu merubah paham Mu’tazilah hanya dengan beberapa kalimat. Ia pun semakin menghalangi Imam al-Buwaithi untuk berjumpa Khalifah Al-Watsiq.
Selama 4 tahun, Imam al-Buwaithi didera siksa cambukan. Pedih penderitaan yang dialami tetap tidak menggoyahkan pendapat beliau ihwal ke-qadim-an al-Quran juga keistiqamahan beribadah. Dalam kemuraman sel bawah tanah, Imam al-Buwaithi tetap mendaras al-Quran, berdzikir, dan salat malam walau harus sembunyi-sembunyi dari sipir. Dikisahkan pula bahwa setiap Hari Jumat Imam al-Buwaithi selalu bersih diri, mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki dan wewangian. Beliau lantas bergegas menuju pintu penjara begitu mendengar kumandang adzan. Sipir penjaga lalu mencegahnya dan menyuruh kembali. Sang Imam lantas berujar “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan Engkau, tapi mereka (sipir) mencegahku”. Di tengah siksaan yang semakin menjadi-jadi Imam al-Buwaithi masih sempat berkirim kabar yang ditulis dengan darahnya di atas kain kumal kepada Imam Mesir Abu Bakar Al-Asham. Imam Abu Bakar kemudian membacakan isi surat (jika bisa disebut surat) itu di depan majelisnya yang berbunyi “Aku terhalang untuk bersuci dan beribadah, berdoalah agar Allah memberi karunia jalan terbaik bagi hamba lemah sepertiku.”
Berita wafat Imam al-Buwaithi tersiar pada Bulan Rojab 241 H/846 M. Kepulangan Sang Pejuang Kebenaran itu membuat ulama (terlebih ulama Mesir) merasakan kehilangan oase ilmu pengetahuan di tengah gurun radikalisme atas nama agama. Dan benarlah firasat Imam Syafi’i tentang murid-muridnya yang beliau ungkapkan ketika masih hidup. Suatu hari Imam Syafi’i berkata kepada muridnya Al-Muzanni dan Al-Buwaithi. Beliau melihat kepada Al-Muzanni dan berkata, “Engkau akan mati karena berdebat” dan kepada Al-Buwaithi “Engkau akan mati dalam penjara”.
Imam al-Buwaithi mewariskan Kitab Mukhtashar al-Buwaithi kepada umat islam. Kitab ini merupakan ringkasan kitab al-Umm karya Imam Syafi’i. Dikatakan juga bahwa Mukhtashar al-Buwaithi disusun berdasarkan pengajaran Imam Syafi’i atas Kitab al-Mukhtashar al-Kabir, al-Mukhtashar al-Shaghir dan al-Faraidh. Walaupun dianggap sebagai ringkasan Kitab al-Umm, dalam mukhtasharnya, Imam al-Buwaithi tidak hanya sekadar meringkas belaka, beliau juga menambahkan beberapa hasil ijtihadnya terhadap sejumlah masalah yang terkadang berbeda dengan ijtihad Imam al-Syafi’i. Kitab ini menjadi salah satu rujukan utama para ulama Syafi’iyah generasi berikutnya seperti al-Juwaini, al-Syairazi, al-Ghazali, al-Mawardi, al-Rafi’i, dan al-Nawawi, bahkan juga di kalangan para ulama mazhab lain.
Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)