Air mata-Air mata Taubat

Jumat, 16 Nov 2018, 23:53 WIB
Air mata-Air mata Taubat
KH. Shohibul Kahfi (Dok. PPMH)

Taubat tidak bisa terlepas dari penyesalan, dan salah satu tanda bahwa seseorang telah menyesal adalah air mata. Bagi seseorang yang benar-benar merasa dirinya penuh salah, maka air mata akan keluar dengan sendirinya tanpa harus dipaksa. Banyak sekali kisah-kisah dari ulama salaf yang menunjukkan betapa mereka telah melakukan taubat yang dipenuhi tetes-tetes air mata. Beberapa diantara telah kami rangkum dari kitab Irsyadul Ibad dalam pengajian sunnah yang diasuh oleh KH. M. Shohibul Kahfi.

Kisah yang pertama berasal dari Syekh Mujahid. beliau bercerita: Suatu waktu, Nabi Daud diberi sebuah wadah, dua pertiga dari wadah itu berisi air. Ketika Nabi Daud memegang wadah itu seketika Beliau melihat kesalahan-kesalahannya. Maka ketika Nabi Daud As. meletakkan wadah itu di bibirnya lantas meluberlah isi dari wadah itu karena air mata Nabi Daud As.

Selanjutnya Sahabat Abdullah bin Amr berkata; “Nabi Yahya bin Zakaria As. menangis sehingga terbelah kedua pipinya dan terlihat beberapa giginya. Lalu berkata ibu Nabi Yahya; “kalau engkau izinkan hei anak ku, akan aku ambilkan untuk mu dua potong kain yang mampu menutupi  gigimu dari orang-orang yang akan melihatnya”. Setelah Nabi Yahya mengizinkannya, maka sang ibu pun menaruh dua potong kain itu, beberapa saat kemudian kain itu telah basah karena air mata Nabi Yahya. Sang ibu datang lagi untuk membetulkan letak kedua kain itu dan saking derasanya, air mata Nabi Yahya juga mengalir di atas baju ibunya.”

Dalam kitab shohih bukhari.  Sayyidah Aisyah berkata: Sayyidina Abu Bakar adalah seorang lelaki yang banyak menangis. Dia tak mampu menguasai air matanya (menetes secara naluri) ketika beliau membaca al-Qur’an.

Berkata Sayyid Abdullah bin Isa: ada dua garis hitam di wajah Syayidina Umar karena terlalu banyak menangis.

Syekh Abdurrahman bin Yazid bin Jabir berkata: Aku bertanya kepada Syekh zaid bin mursyid: Kenapa aku melihat mata anda selalu basah? Zaid bin Mursyid bertanya: sesungguhnya apa maksud pertanyaan mu? Maka aku berkata: Seandainya aku mengerti perihalmu aku berharap Allah akan memberi manfaat melalui hal itu. Berkatalah Zaid bin Mursyid: sesungguhnya Allah benar-benar telah mengancam ku. Jika aku bermaksiat kepada Allah maka aku akan dipenjara di neraka. Jika Allah tidak mengancam seperti itu, misalnya hanya memenjarakanku di kamar mandi maka tak akan basah air mata ku ini.

Kemudian Syekh Abdurrahman bin Yazid bertanya lagi: Apa yang anda lakukan ketika sedang menyendiri. Lantas Syekh Zaid bin Mursyid berkata: sesungguhnya apa maksud pertanyaanmu? Maka aku berkata: Seandainya aku mengerti perihalmu aku berharap Allah akan memberi manfaat melalui hal itu. Kemudian Syekh Zain bin Mursyid menjawab: Sesungguhnya basah pada mata ku ini akan menjadi basah lagi ketika aku bertemu dengan istri ku, sehingga aku tidak jadi mendatangi istri ku sebab air mata telah menjadi penghalang antara aku dan istriku. Suatu saat istriku menghidangkan makanan, tiba-tiba mataku menjadi basah lagi. Sehingga air mata itu menjadi penghalang antara aku dan makananku. Maka menangislah istriku dan anak-anakku, mereka tidak tau mengapa aku menangis.

Dari Sayyidina Umar: telah berkata Syekh Kihmis: Hei Abu Salamah, aku memiliki satu dosa. Aku telah menangis selama empat puluh tahun karena dosa itu. Sayyidina Umar bertanya: Dosa apakah itu? Menjawablah Syekh Kihmis: suatau hari saudaraku berkunjung ke rumah, lalu aku membelikan ikan dengan harga seperenam dirham. Ketika saudaraku makan, aku berdiri (bersandar) di tembok tetangga ku, saat itu aku mengambil secuil tanah, lalu ku berikan kepada saudara ku agar dijadikan alat untuk membasuh tangannya.

Kisah-kisah diatas menunjukkan bahwa orang-orang sholih zaman dahulu sering sekali merasa bersalah kemudian menangis karena perasaan itu. Padahal perbuatan yang mereka lakukan tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan perbuatan tercela dan dosa yang telah kita lakukan. Lantas apakah kita kuasa untuk menangisi kesalahan-kesalahan itu, atau paling tidak sekedar menyesalinya? (hy)

Kitab Irsyadul Ibad  Kisah Ulama  KH. Shohibul Kahfi, M.Pd 
Muhammad Hilmi

Penulis adalah santri PP.Miftahul Huda, Gading Kasri Malang.

Bagikan