Malam Pertiwi
Ibu
Kini tak ada anakmu
berahim gembur melainkan terus
ditanami gedung-gedung.
Ibu
Tak ada anakmu berarteri, dengan arus ganas
dari puncak perigi, melainkan ia
menjerit anemia dan dehidrasi.
Ibu
Tak ada anakmu berkulit zamrud lagi,
melainkan kanker-kanker lekas meragut
keji, klorofil telah hitam jelaga dan melayang—menari.
Ibu
Tak ada paru-paru anakmu membelai
wangi petrikor subuh pagi, melainkan telah asma;
dijejali karbon-karbon neraka dan emisi.
Dan ibu telah pergi,
Dirajam hari-hari hingga lebur, remuk: hancur.
Lalu Bumi berganti sisi ibu dengan hitam-legam abadi.
Gerhana Bumi untuk seluruh urat nadi.
Eigendom
“Kembalikan unta-unta itu!”
Hanya kalimat itu yang selalu diingat
menjadi ayat-ayat gugatan
di seluruh memoar telinga-telinga kota.
Sebelum akhirnya terup-terup
bergading yang berdatangan
dari negeri seberang runtuh-berlubang,
seperti reptil-reptil yang membusuk
ditusuk batu-batu langit
dari atap Cretaceous[1] yang terbakar.
Mereka pasukan berlubang,
laskar yang tumbang dari sijjil
yang dihujankan Ababil.
***
Bagi Abrahah,
ia tak melihat penaklukan Himyar
sebagai piala.
Belum.
Sebelum kemegahan Sana’a
menaklukkan Mekkah.
Sebelum al-Qullays mengungguli kakbah,
atau sebelum tentarannya menginjaknya remuk
menyisakan tangisan-tangisan debu.
Dan hari-hari itu ia masih saja membeku.
Tak ada piala.
Tak ada hari-hari Sana’a dan Qullays
berhasil memegang trofi sebagai tanah berbintang.
Maka hanya ada satu jalan yang terbesit
di pikiran Sang Raja,
naluri yang bercokol
nisan-nisan zulmat:
Kakbah yang berdiri di atas tanah,
harus pula menemui tidurnya di remukan tanah.
Lalu setelah ia tiba
di bibir kota,
dengan berbondong-bondong pasukan,
pikiran Sang Raja tetap lah
seperti pada umumnya adat yang ada:
sebuah penaklukan hanya akan menjadi sup hambar
jika tak ada bumbu penjarahan yang mewarnainya.
Maka tak salah jika di hari itu juga,
sebuah kota berjantung bangunan kakbah
dilucuti dari segala ternak yang ada
seperti tanpa dosa.
Kemudian datang lah seorang pria,
dengan ikat imamah dan jubah lusuhnya
yang sesekali disibak debu sahara.
Seorang paruh baya
dengan membawa wibawa seorang tetua kota.
Ia temui Sang Raja,
dan menggugatnya tuk mengembalikan
ternak-ternak hasil rampasan
Tapi Sang Raja hanya perih-tertawa,
sembari berkelakar kepada Sang Tetua:
Ini hanya ternak, mengapa kau tak hadapkan saja
kekhawatiran itu kepada bangunan
dengan sejarahnya yang megah di sana:
Kakbah tua yang hendak kujadikan sampah?
Dan Abdul Muthalib membalasnya ringan:
Aku hanya pemilik unta-unta yang kini kaubawa,
Sedang kakbah bukan milikku, Tuhan telah memilikinya.
Sekali lagi, kembalikan ternakku!
[1] Zaman Kapur (era Mesozoikum).
Penulis adalah manusia seperti pada umumnya.