Puisi-puisi Abdul: Riwayat Pitarah dan Puisi Lainnya

Sabtu, 10 Ags 2024, 16:57 WIB
Puisi-puisi Abdul: Riwayat Pitarah dan Puisi Lainnya
Lukisan Adam dan Hawa di Surga (commons.wikimedia.org/Johann Wenzel Peter)

Riwayat Pitarah

 

Sebelum turun,

Selamanya ia dituntun

oleh rasa sepinya,

suatu perasaan yang nun

 

menggema di Arasy, suatu

kesendirian mula, tiada tara.

Lalu ia rasa jengah; ia pinta

penguasa jagat supaya diberikan

kawan—sebuah tanda kebersamaan.

 

Dan riwayat mengatakan, bahwa

mesti ada hal yang dikurban, entah iman

atau raga, kemudian ia serahkan iganya sendiri

di hadapan ilahi, sebagai azimat

supaya selamanya ia terbelah dua, dan kembali

dalam keadaan mula: utuh dan esa.

 

Dan Tuhan mengijabi, tetapi

musti dibenam dalam kepala.

Bahwa buah mariyana dalam itu sorga,

tak boleh dimakan maupun didekati.

 

Tetapi takdir berkata liyan,

ia kunyah buah itu sebab hasutan.

Dan getarlah mayapada; Tuhan turut gegar

: tersingkapnya daun ara yang menutupi

kejengahan Adam—serta Iganya.

“Ya, Rabi, ampunilah kami.”

Akan kuaminkan doa kalian, tetapi dengan satu

ikrar: makzul-lah ke mayapada—tempat iblis

dan mala akan menguji kembali imanmu,

untuk kembali kepadaku, gema suara.

 

Dan kisah ini kemudian selalu diceritakan

melalui kitab suci, melalui panas api; risalah

ini sudah membumi, sebagai kutuk

 

bahwasanya bani Adam mesti menepati

janji poyang mereka.

 

Warung Sari. 26 September 2023

 

 

 

Orang Asing

 

Berlaga di tengah sahara

Menjadi nyiur menjadi merpati

Air di penggilingan merangkak sunyi

Sebab panas menggenapi udara

 

Beberapa kota menunduk

Zamin yang kian ambruk

Sedang manusia mencari kawanan

Yang sanggup mengatasinya

 

Seperlunya ke puisi

Menikmatinya dan mendaya

Air putih melepas dahaga

 

Seperlunya prosa

Menjauhi keonaran zaman ini

Aku tampak asing sendiri

 

2024

 

 

 

Memilih Lajur Hayat

 

Tak ada yang seru

waktu itu. sebab mataku lugu

menyunting kata dari tempatnya

: puisi yang wagu.

 

ketika manusia ini saling mendekat

mereka hangat matahari

yang melihat, yang memberi

sinar pada sesiapa binal:

 

—aku pilih ilmu, sebab ia adalah mula,

yang lain memilih sastra. Sebab, mula adalah kata.

Yang utama meminang olahraga, sebab

selepas raga sisa rasa.

 

Tetapi, lenganku

bergetar hanya untuk menyukai seorang

yang tak pernah aku temui.

 

Serupa coblosan, aku gamang

menimang-nimang:

“Mana yang lebih bagus, bila semua merupa

sebagai komoditas yang paling aus?”

 

Namun, hukum telah ditetapkan.

Hukum yang menyemai sesiapa yang cedera

: tidak memilih adalah sebuah keterputusan

―dan mesti dilawan.

 

Di pungkasan itu akhirnya

aku mencoblos! Ya, meski

aku hanya memilih ceritanya

untuk tugas puisi.

 

Landungsari 27 September 2023

 

 

 

Ketika Tuhan Berseru

 

Wahai, kau orang yang diberi firman

Bangkitlah dan sampaikan peringatan

Segeralah datang, aku titipkan ampun

pada helai lidahmu, dan pahala sebesar tuwung.

 

Namun, ia geram, ia tanggalkan perintahNya.

Lalu pergi dari Niwine yang kehilangan mandat.

Kita tahu, Yunus selalu saja tak percaya,

dia adalah yang paling tegak membawa warta.

 

(Tapi ia begitu keras, semacam gamang

dan selalu saja gagal menafsirkan)

 

Maka Tuhan, akan senantiasa pemurah,

dititahlah lodan untuk membawa lelaki yang sayu itu

ke palung kesepian, menuju samudera kesunyian.

Ia teringat Musa, lelaki ini teringat pula

Ayub yang didera kuyup perjudian.

 

(Dan ia diampuni begitu lekas, saat nafsunya sama

sekali belum puas)

 

Tuhan, memang senantiasa pemurah,

lelaki itu pun naik, membawa risalah

menuju Niwine, berkabar: bahwa taubat

kudu dihelat, agar negeri ini tak diintip mala.

 

Maka, tak pernah terjadi ungkai badai

sirna pula segala bencana.

Negeri itu subur sagu

warganya terhindar katastrofi.

 

Tetapi, sekali lagi, Nabi kita itu

merasa geram dan terbalut amarah

: ia inginkan keadilan dan bukannya ampunan.

 

Barangkali, pada masa itu

utusan ilah hanya memafhumi seputar kekerasan

dan ancaman. Sehingga terlemparlah dia

ke perut paus sebab ketidakcukupan cinta.

 

Tuhan begitu pemurah bukan?

Dibolehkannya kita menulis peringatan

dengan cara yang sama sekali liyan.

Kita tahu, Tuhan tidak berseru.

 

2024

Sastra  Puisi 
Abdul Khodir Al-Jailani

Abdul Khodir Al Jailani, kerap disapa Bedul. Mahasiswa sastra Universitas Negeri Malang. Saat ini tengah menempuh jalan kepenulisannya dengan mengikuti berbagai komunitas sastra. Kecintaannya pada kata membuatnya ingin menjadi penulis puisi dan esai. Seka

Bagikan