Puisi-puisi Arif Rahman: Di Balik Layar Penciptaan

Ahad, 20 Ags 2023, 06:45 WIB
Puisi-puisi Arif Rahman: Di Balik Layar Penciptaan
Di Balik Layar penciptaan

Di Balik Layar Penciptaan

 

... dan sejak saat itu

‘hikayat pengampunan’ mengetahui sebab apa ia dibentuk Tuhan.

 ***

  1. Mula-mula, riwayat awal ‘penebusan’

dilukis dari kisah sekumpulan hari magenta,

sekumpulan hari purba yang dibangun Putra Pertama

sejak ia diutus terjun dari eden menuju ke pangkuan gurun,

sejak kekasihnya—yang mengambil setubuh nyawa

dari potong tulang iga, terperdaya; 

takluk oleh rayu ular lata

//

Tawasul-tawasul beterbangan di bentang gegana,

Putra Pertama melesatkannya tinggi

sembari menancapkan sepucuk ‘nama’

di setiap wasilah yang ia layangkan.

Di hari-hari magenta,

tawasul-tawasul melayang,

mengudara di atas pasir gurun

yang telah dibasahi doa penuh anggur.

 

  1. Bagi Putra Pertama,

tak ada lagi bahan paling mandraguna

untuk menyucikan najis yang ia dapat,

najis yang ia makan dari sepotong daging buah

selain sepotong ‘nama’ yang ia pilih.

Ia jadikan ‘nama’ itu sebagai air penyuci

dari pengkhianatan yang sebelumnya ia setubuhi.

//

Wahai Zat Agung,

atas nama cintamu kepada Putra Abdullah,

izinkan kami memetik ampunan agung.”

 

  1. Dan setelah waktu merambat panjang sejauh empat puluh tahun,

pertanyaan itu turun,

menanggapi gema ayat-ayat yang dikirim

oleh pengembara pertama di gurun mayapada:

Putra Pertama, dari perigi mana engkau

menimba wujud ‘asma’ yang Kusayang?

 

  1. Dan Adam mendengarnya,

kemudian menjawab pertanyaan

yang turun kepadanya itu dengan segelas cerita hangat,

dengan kisah Putra Pertama

yang ia dengar dari pengalaman hidupnya.

//

Tuhanku,

dahulu, sebelum Putra Pertama terkurung

di tembok-tembok waktu

yang berdiri di atas lantai gurun.

Ketika napas penciptaan baru

dihembuskan untuknya di altar firdaus.

Putra Pertama menatap percik singgasana luhur,

Arsy yang bertopang makhluk-makhluk cahaya,

makhluk berimbun sayap permata.

Putra Pertama menikmati pemandangan itu lamat-lamat,

menyaksikan pintu-pintu dan pilar-pilar agung

ramai menumbuhi lanskap astral tersebut dengan anggun.

              //

Dan selama ia menatap singgasana luhur,

Puta Pertama bersaksi,

bahwa baik di seluruh pintu yang berdiri tinggi

atau di tiap pilar-pilar yang tegak-beterbangan rapi,

di seluruh bagian Arsy terukir sebuah lafaz persaksian

kepada asma Zat Agung,

dan kepada sebuah nama yang disejajarkan di sebelahnya:

Putra Abdullah yang agung.

***

Setelah Zat Agung mendengar kisah itu,

Ia kemudian sepakat,

merestui ayat-ayat yang sebelumnya datang melesat

dari kulit dunia, dari penghambaan nabi pertama.

//

Zat Agung mengampuni,

seraya tak lupa berkata kepada Putra Pertama:

Hai Adam, dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu.

Jika bukan karena dia, aku tidak akan menciptakanmu.

 

 

 

Tidak Ada Mukjizat di Hari Ini

 

Sebagaimana orang-orang percaya,

alam dapat leluasa menjadi

boneka di magi para nabi.

 

Maka ketika Sayid Ibrahim berpulang,

cakrawala menggelap—kelam,

mereka berkata:

    Oh, gerhana ini simbol kesedihan

    yang mulia rasul kami

 

Tapi Sang Rasul menepis.

Bagaimanapun, mirakel di hadapan orang-orang

tidak lahir atas nama nabi dan airmata.

Bola langit menghitam,

hanya karena sunnah Tuhan telah menyalibnya,

menggantungkannya di pilar-pilar hukum alam.

 

Rasul menyeru—

 

Berpikir dan beribadahlah,

    Seperti Tan Malaka

    yang mengesampingan logika mistika.

 

 

 

Membaca Lambang Utusan

 

Di mata Buhaira,

siang itu adalah siang yang lain,

siang yang tumbuh dari benih ramalan dan takdir.

 

Buhaira menyorot tajam,

memerhatikan apa yang dilihatnya

dari dalam dinding biara,

di seberang gurun—sekilas tampak

seperti biasa ia melihat segerombolan Quraisy

datang menyalami Bushra,

mereka datang ketika

musim Arabia memeluk cuaca yang dihujani

kilat-kilat kemarau. Dibasahi terik bola api yang meracau.

 

Selepas menyorotnya, bagi Buhaira,

segerombolan dagang itu adalah adalah segerombolan lain.

Mereka mendekat,

membawa sekantong tanda akhir zaman

yang diuapkan melalui segumpal awan,

yang ditumbuhkan dari sujud pokok dan banyak bebatuan.

 

Dan Buhaira mempersilakan seberinda Quraisy tersebut,

agar sejenak menyinggahinya.

Menyasau hidangan bersama-sama

lengkap dengan Muhammad belia.

 

Di sepanjang penjamuan tersebut,

Buhaira tak luput mengamati duaja

yang hendak ia baca.

 

Sampai simbol dan isyarat  

itu datang dan kian merajut iman

bahwa selain membawa dagangan,

kafilah ini juga membawa utusan ilahi—benih nabi.

Tepat ketika Buhaira menangkap sepasang

stempel istimewa bertengger di atas pundak Muhammad.

 

Namun sebagaimana ia seorang rahib,

Buhaira tak serta-merta

membubuhkan klaim

sebelum ia musti mendalaminya,

mencoba bercakap, mengenali satu-satunya anak kecil di kafilah itu:

Nak, demi Lata dan Uzza aku akan bertanya kepadamu,

dan kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku

dengan hatimu.

 

Muhammad kecil mendengar itu, ia tersenyum, lalu membalasnya:

Demi Allah, jangan bertanya kepadaku

atas nama Lata dan Uzza.

***

Buhaira terhentak,

mengamini keyakinan dan wangsit itu dengan seribu khidmat.

 

(Gading, 2023)

 

Sastra pesantren  Sastra  Santri Pesantren Gading Malang  Santri Gading  Puisi Santri  Puisi  #puisi #gadingpesantren38 #sastra #sajak 
M. Arif Rahman Hakim

Penulis adalah manusia seperti pada umumnya.

Bagikan