Di Balik Layar Penciptaan
... dan sejak saat itu
‘hikayat pengampunan’ mengetahui sebab apa ia dibentuk Tuhan.
***
dilukis dari kisah sekumpulan hari magenta,
sekumpulan hari purba yang dibangun Putra Pertama
sejak ia diutus terjun dari eden menuju ke pangkuan gurun,
sejak kekasihnya—yang mengambil setubuh nyawa
dari potong tulang iga, terperdaya;
takluk oleh rayu ular lata
//
Tawasul-tawasul beterbangan di bentang gegana,
Putra Pertama melesatkannya tinggi
sembari menancapkan sepucuk ‘nama’
di setiap wasilah yang ia layangkan.
Di hari-hari magenta,
tawasul-tawasul melayang,
mengudara di atas pasir gurun
yang telah dibasahi doa penuh anggur.
tak ada lagi bahan paling mandraguna
untuk menyucikan najis yang ia dapat,
najis yang ia makan dari sepotong daging buah
selain sepotong ‘nama’ yang ia pilih.
Ia jadikan ‘nama’ itu sebagai air penyuci
dari pengkhianatan yang sebelumnya ia setubuhi.
//
“Wahai Zat Agung,
atas nama cintamu kepada Putra Abdullah,
izinkan kami memetik ampunan agung.”
pertanyaan itu turun,
menanggapi gema ayat-ayat yang dikirim
oleh pengembara pertama di gurun mayapada:
Putra Pertama, dari perigi mana engkau
menimba wujud ‘asma’ yang Kusayang?
kemudian menjawab pertanyaan
yang turun kepadanya itu dengan segelas cerita hangat,
dengan kisah Putra Pertama
yang ia dengar dari pengalaman hidupnya.
//
Tuhanku,
dahulu, sebelum Putra Pertama terkurung
di tembok-tembok waktu
yang berdiri di atas lantai gurun.
Ketika napas penciptaan baru
dihembuskan untuknya di altar firdaus.
Putra Pertama menatap percik singgasana luhur,
Arsy yang bertopang makhluk-makhluk cahaya,
makhluk berimbun sayap permata.
Putra Pertama menikmati pemandangan itu lamat-lamat,
menyaksikan pintu-pintu dan pilar-pilar agung
ramai menumbuhi lanskap astral tersebut dengan anggun.
//
Dan selama ia menatap singgasana luhur,
Puta Pertama bersaksi,
bahwa baik di seluruh pintu yang berdiri tinggi
atau di tiap pilar-pilar yang tegak-beterbangan rapi,
di seluruh bagian Arsy terukir sebuah lafaz persaksian
kepada asma Zat Agung,
dan kepada sebuah nama yang disejajarkan di sebelahnya:
Putra Abdullah yang agung.
***
Setelah Zat Agung mendengar kisah itu,
Ia kemudian sepakat,
merestui ayat-ayat yang sebelumnya datang melesat
dari kulit dunia, dari penghambaan nabi pertama.
//
Zat Agung mengampuni,
seraya tak lupa berkata kepada Putra Pertama:
Hai Adam, dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu.
Jika bukan karena dia, aku tidak akan menciptakanmu.
Tidak Ada Mukjizat di Hari Ini
Sebagaimana orang-orang percaya,
alam dapat leluasa menjadi
boneka di magi para nabi.
Maka ketika Sayid Ibrahim berpulang,
cakrawala menggelap—kelam,
mereka berkata:
Oh, gerhana ini simbol kesedihan
yang mulia rasul kami
Tapi Sang Rasul menepis.
Bagaimanapun, mirakel di hadapan orang-orang
tidak lahir atas nama nabi dan airmata.
Bola langit menghitam,
hanya karena sunnah Tuhan telah menyalibnya,
menggantungkannya di pilar-pilar hukum alam.
Rasul menyeru—
Berpikir dan beribadahlah,
Seperti Tan Malaka
yang mengesampingan logika mistika.
Membaca Lambang Utusan
Di mata Buhaira,
siang itu adalah siang yang lain,
siang yang tumbuh dari benih ramalan dan takdir.
Buhaira menyorot tajam,
memerhatikan apa yang dilihatnya
dari dalam dinding biara,
di seberang gurun—sekilas tampak
seperti biasa ia melihat segerombolan Quraisy
datang menyalami Bushra,
mereka datang ketika
musim Arabia memeluk cuaca yang dihujani
kilat-kilat kemarau. Dibasahi terik bola api yang meracau.
Selepas menyorotnya, bagi Buhaira,
segerombolan dagang itu adalah adalah segerombolan lain.
Mereka mendekat,
membawa sekantong tanda akhir zaman
yang diuapkan melalui segumpal awan,
yang ditumbuhkan dari sujud pokok dan banyak bebatuan.
Dan Buhaira mempersilakan seberinda Quraisy tersebut,
agar sejenak menyinggahinya.
Menyasau hidangan bersama-sama
lengkap dengan Muhammad belia.
Di sepanjang penjamuan tersebut,
Buhaira tak luput mengamati duaja
yang hendak ia baca.
Sampai simbol dan isyarat
itu datang dan kian merajut iman
bahwa selain membawa dagangan,
kafilah ini juga membawa utusan ilahi—benih nabi.
Tepat ketika Buhaira menangkap sepasang
stempel istimewa bertengger di atas pundak Muhammad.
Namun sebagaimana ia seorang rahib,
Buhaira tak serta-merta
membubuhkan klaim
sebelum ia musti mendalaminya,
mencoba bercakap, mengenali satu-satunya anak kecil di kafilah itu:
Nak, demi Lata dan Uzza aku akan bertanya kepadamu,
dan kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku
dengan hatimu.
Muhammad kecil mendengar itu, ia tersenyum, lalu membalasnya:
Demi Allah, jangan bertanya kepadaku
atas nama Lata dan Uzza.
***
Buhaira terhentak,
mengamini keyakinan dan wangsit itu dengan seribu khidmat.
(Gading, 2023)
Penulis adalah manusia seperti pada umumnya.