27 Rajab, al-Quds, Khalifah Umar, dan Shalahuddin

Sabtu, 26 Feb 2022, 19:42 WIB
27 Rajab, al-Quds, Khalifah Umar, dan Shalahuddin
Masjidil Aqsha, al-Quds

Tanggal 27 Bulan Rajab menjadi hari sakral dalam kalender islam. Tak lain karena pada tanggal 27 Rajab tahun 10 kenabian, Rasulullah Muhammad saw. menerima titah ibadah paling mulia yaitu salat secara langsung dari Allah swt. dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Dalam peristiwa itu, Rasulullah melakukan rihlah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa sebelum kemudian naik ke Sidratul Muntaha usai melintasi lapisan langit sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Isra’ ayat pertama.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya memberikan penjelasan dengan menyebutkan sebuah riwayat yang diambilnya dari kitab Dala’il al-Nubuwwah karya al-Hafiz Abu Nu’aym al-Isbahani. Riwayat itu menyebutkan bahwa Rasulullah mengutus Dihyah bin Khalifah kepada Kaisar Heraklius dari kekaisaran Byzantium untuk mengabarkan risalah kenabian. Pada masa setelah terjadi perjanjian Hudaibiyah, keduanya bertemu di kota al-Quds (waktu itu masih bernama kota Iliya). Saat menerima Dihyah yang menyampaikan kepadanya surat dari Nabi saw., Kaisar Heraklius memerintahkan beberapa pasukannya untuk menghadirkan orang-orang Arab dari Hijaz yang kebetulan sedang berniaga di Syam. Di antara para pedagang yang dihadirkan adalah Abu Sufyan bin Harb yang saat itu belum masuk Islam.

Kaisar bertanya kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang telah diketahui luas dan terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Riwayat ini kemudian menyebutkan betapa Abu Sufyan berusaha keras untuk memberi kesan yang negatif tentang Nabi Muhammad. Abu Sufyan berkata: “Demi Allah, tidak ada satu hal pun yang menghalangi saya dari terus berkata-kata kepada Heraklius untuk membuatnya meremehkan Muhammad (saw.).” Tetapi Abu Sufyan tidak berani berdusta karena khawatir kepergok oleh Heraklius dengan konsekuensi tidak akan dipercaya lagi.

Kemudian Abu Sufyan berusaha membuat Heraklius ragu dengan menyebutkan peristiwa Isra’.

Abu Sufyan berkata, “Wahai Raja, saya akan memberitahukan kepada Anda (kejadian) yang akan membuat Anda tahu bahwa ia (Nabi Muhammad saw.) berdusta.”

Kaisar menanggapi, “Apa itu?”

Abu Sufyan menjawab, “Ia (Nabi Muhammad saw.) mengatakan bahwa ia telah keluar dari negeri kami, tanah Haram dalam satu malam, dan datang ke tempat suci Anda di Yerusalem ini, kemudian kembali lagi kepada kami pada malam yang sama, sebelum pagi menjelang.”

Kepala pendeta Yerusalem ketika itu ada di tempat itu, berdiri di samping Kaisar. Pendeta Yerusalem itu berkata, “Saya mengetahui malam itu.”

Kaisar melihat ke arahnya dan berkata, “Bagaimana engkau bisa mengetahui tentang hal ini?”

Lantas Sang Pendeta berkisah perihal kejadian yang ia alami, “Saya tidak pernah tidur di malam hari sehingga saya menutup pintu tempat suci (Masjid al-Aqsa). Pada malam itu, saya menutup semua pintu kecuali sebuah pintu, yang tidak bisa saya tutup. Saya memanggil para pekerja dan beberapa orang lainnya yang bersama saya untuk membantu menyelesaikan masalah ini, tetapi kami tetap tidak bisa menutupnya. Rasanya seperti memindahkan sebuah gunung. Maka saya memanggil para tukang kayu, dan mereka melihatnya serta berkata, ‘Ambang pintu dan beberapa bagian pintu ini telah jatuh ke atasnya. Kita tidak bisa menggerakkannya sampai pagi sehingga kita bisa melihat (dengan jelas) apa masalahnya.’ Maka saya pun kembali dan membiarkan pintu itu tetap terbuka. Pagi harinya saya kembali ke situ dan melihat bahwa batu yang ada di sudut tempat suci ada lubangnya, dan ada bekas hewan yang ditambatkan di situ. Saya berkata pada teman-teman saya, ‘Tidaklah pintu ini tidak bisa ditutup semalam melainkan untuk seorang Nabi, yang shalat semalam di tempat suci kita ini.’”

Dalam kisah tersebut, Abu Sufyan berusaha menimbulkan keraguan raja, tetapi kisah itu malah mendapat pembenaran dari pendeta penjaga tempat suci Yerussalem (Masjid al-Aqsa). Dalam riwayat tersebut  tidak dijelaskan lebih rinci perihal yang terjadi setelah itu dengan sang pendeta, apakah ia masuk Islam atau tetap pada agamanya.

Pertemuan Dihyah bin Khalifah dengan Kaisar Heraklius merupakan upaya islamisasi wilayah Syam yang dilakukan oleh Rasulullah saw disusul kemudian beberapa peperangan seperti Perang Mut’ah, Perang Tabuk, dan Ekspedisi Usamah bin Zaid. Barulah pada masa Kekhalifahan Amirul Mu’minin Umar bin Khattab, wilayah Syam dapat ditaklukkan umat muslim dari tangan Kerjaan Byzantium. Mengutip dari Encyclopedia Britanica, setelah pengepungan yang berlangsung lama tanpa diwarnai konflik berdarah, akhirnya Khalifah Umar menerima penyerahan Kota Suci al-Quds (Jerusalem) dari tangan Uskup Agung Saphronius pada 638 M/17 H.

Semasa Kekhalifahan Sayyidina Umar, al-Quds menjadi saksi kerukunan umat beragama Islam, Kristen, dan Yahudi.  Tidak lain karena Khalifah Umar menjamin keamanan beragama bagi seluruh warga al-Quds. Tatkala menaklukkan al-Quds beliau berujar ''Demi Allah!, jaminan keamanan bagi diri mereka, kekayaan, gereja, dan salib mereka, bagi yang sakit, bagi yang sehat, dan seluruh masyarakat beragama di Kota Suci itu. Bahwa gereja-gereja mereka tidak akan diduduki atau dihancurkan, takkan ada satu barang pun diambil dari mereka atau kediaman mereka, atau dari salib-salib maupun milik penghuni kota, bahwa para warga tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, bahwa tak seorang pun akan dicederai. Dan tak seorang Yahudi pun akan menghuni Aelia.'' Khalifah Umar mengatakan bahwa umat Yahudi tidak diperkenankan tinggal di Aelia (al-Quds) lantaran permintaan Uskup Agung Saphronius yang menyimpan dendam atas penghianatan umat Yahudi yang membantu Kekaisaran Persia. Namun dalam kenyataannya, Khalifah Umar tetap mempersilahkan umat Yahudi bermukim di al-Quds.

Pada era kekhalifahan Islam setelah Khulafa' ar-Rasyidin, Kota al-Quds jatuh dari Kekuasaan Bani Seljuk ke tangan Pasukan Salib pada tahun 1099 M/492 H. Selama puluhan tahun berikutnya, tidak ada satu pun kaum Muslimin yang berhasil merebut kembali kota al-Quds. Keadaan baru mulai berubah pada masa pemerintahan Nuruddin Zanki (w. 1174), yang kemudian dilanjutkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).

Shalahuddin al-Ayyubi merupakan salah satu emir terkuat pada masa itu. Ia melakukan konsolidasi di wilayah Suriah dan Mesopotamia yang tercerai berai untuk kemudian disatukan dengan Mesir (wilayah yang ia pimpin). Pada tahun 1180-an, wilayah kaum Muslimin dari Mesir hingga Iraq (Mesopotamia) mencapai puncak kesolidan dan kekuatannya di bawah kepemimpinan Shalahuddin. Pasukan Salib yang semakin merasa terancam akhirnya menghimpun pasukan besar di bawah kepemimpinan rajanya, Guy of Lusignan.

Pada bulan Juli 1187 M, pecah pertempuran hebat yang dikenal sebagai Perang Hattin. Bangsawan Kristen seperti Guy of Lusignan, Reynald of Chatillon, dan Ksatria Templar tertangkap dan menjadi tawanan. Usai menaklukkan kota-kota di Suriah, target Shalahuddin berikutnya adalah kota al-Quds. Pada hari Ahad, 20 September 1187 (15 Rajab 583 H), Shalahuddin tiba di depan Yerusalem tepatnya di sisi selatan kota dan melakukan pengepungan. Pasukan muslimin berkemah di selatan kota sebelum lima hari kemudian berpindah ke bagian utara karena lebih strategis.

Ketika itu kota al-Quds dihuni sekitar 60.000 penduduk baik dari Pasukan Salib, perempuan dan anak-anak mereka. Selama masa pengepungan, pertempuran yang sengit terjadi di antara kedua belah pihak. Ibn al-Athir dalam bukunya The Chronicle of Ibn al-Athir for the Crusading Period from al-Kamil fi’l-Ta’rikh jilid 2 menyatakan bahwa pengepungan Shalahuddin merupakan pertempuran paling sengit yang pernah disaksikan seseorang, karena masing-masing pihak yakin bahwa hal itu merupakan tugas agama dan sesuatu yang bersifat mengikat. Tidak diperlukan motivasi dari para pemimpin (untuk mengobarkan pertempuran).”

Pada akhirnya Kota al-Quds secara resmi diserahkan kepada kaum Muslimin pada hari Jum’at, 27 Rajab 583 H yang bertepatan dengan 2 Oktober 1187 M. Di balik itu, Hari Jum’at merupakan hari favorit Shalahuddin untuk memulai pertempuran sekaligus untuk meraih kemenangan. Tanggal kemenangan itu juga merupakan tanggal yang bersejarah. Ibn Shaddad dalam bukunya The Rare and Excellent History of Saladin or al-Nawadir al-Sultaniyya wa’l-Mahasin al-Yusufiyya menulis, “Sultan (Shalahuddin) menerima penyerahan kota itu (al-Quds) pada hari Jum’at 27 Rajab. Waktu itu bertepatan dengan (tanggal) Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an al-Karim.”

Umar bin Khattab  Tafsir Alquran  Shalahuddin al-Ayyubi  Rajab  Masjidil Aqsha  Kisah Ulama  Kisah Nabi  Kisah Lengkap Perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad  Isra' Mi'raj 
Mochammad Syaifulloh

Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)

Bagikan